Manusia hidup di muka bumi mendapatkan tugas sebagai khalifah fil ard, artinya pemimpin di muka bumi. Tentu tugas kewajiban dan tanggung jawab itu diamanahkan kepada setiap pribadi. Bukan sembarang tugas yang mudah, karena di setiap langkahnya manusia, memiliki wewenang agar menjaga kedaulatan tempat tinggal, kelompok, serta lingkungan sekitar. Dengan begitu maka manusia butuh yang namanya kekuasaan. Lantas, kekuasaan yang seperti apa? agar tidak membelit pada pihak-pihak lainnya dan tidak otoriter?
Dalam pengertian sederhana, naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu rangsangan tertentu yang tidak dipelajari tetapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup dan diperoleh secara turun-temurun. Sedangkan Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai oleh penyerahan kekuasaan. Ini kontras dengan individualisme dan demokrasi. Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin. Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu tanpa melihat derajat kebebasan individu.
Lantas, bagaimana dengan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah fil ard, di dalam Al-Qur'an telah tertuang dalam surah Al-Baqarah ayat 30, Allah SWT berfirman:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ - ٣٠
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 30)
Ayat di atas berdasarkan tafsir ringkas Kemenag menjelaskan, setelah pada ayat-ayat terdahulu Allah menjelaskan adanya kelompok manusia yang ingkar atau kafir kepada-Nya, maka pada ayat ini Allah menjelaskan asal muasal manusia sehingga menjadi kafir, yaitu kejadian pada masa Nabi Adam. Dan ingatlah, wahai Rasul, satu kisah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah, yakni manusia yang akan menjadi pemimpin dan penguasa, di bumi". Khalifah itu akan terus berganti dari satu generasi ke generasi sampai hari Kiamat nanti dalam rangka melestarikan bumi ini dan melaksanakan titah Allah yang berupa amanah atau tugas-tugas keagamaan.
Para malaikat dengan serentak mengajukan pertanyaan kepada Allah, untuk mengetahui lebih jauh tentang maksud Allah. Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang memiliki kehendak atau ikhtiar dalam melakukan satu pekerjaan sehingga berpotensi merusak dan menumpahkan darah di sana dengan saling membunuh, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?"
Malaikat menganggap bahwa diri merekalah yang patut untuk menjadi khalifah karena mereka adalah hamba Allah SWT yang sangat patuh, selalu bertasbih, memuji Allah, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Menanggapi pertanyaan malaikat tersebut, Allah SWT berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Penciptaan manusia adalah rencana besar Allah SWT di dunia ini. Allah, Maha tahu bahwa pada diri manusia terdapat hal-hal negatif sebagaimana yang dikhawatirkan oleh malaikat, tetapi aspek positifnya jauh lebih banyak. Dari sini bisa diambil pelajaran bahwa sebuah rencana besar yang mempunyai kemaslahatan yang besar jangan sampai gagal hanya karena kekhawatiran adanya unsur negatif yang lebih kecil pada rencana besar tersebut.
Sigmund Freud adalah seorang psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi. Freud berpendapat bahwa kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar, prasadar, dan tak-sadar. Freud memposisikan ego sebagai penahan ketegangan hingga ketegangan itu dapat diredahkan. Hal ini berlawanan dengan ekspresi dari id yang berdasarkan kesenangan. Dengan kata lain ego adalah pengontrol dari prinsip kesenangan dengan kenyataan. Dari antara id dan ego dapat kita lihat antara fantasi dan realistis. Hal ini yang terjadi dalam diri manusia ketika berada pada sebuah ambang fantasi dengan realita maka akan diperlukan pereda ketegangan yakni ego.
Freud menjelaskan bahwa prinsip kenyataan diladeni oleh proses sekunder. Ketika proses ini berlangsung, maka akan terjadi pemecahan soal atau pemikiran. Kebanyakan orang memposisikan ego sebagai hasrat subyektif dalam dirinya dengan hasrat yang ada pada diri orang lain yang saling berhubungan. Ego juga memiliki proses primer seperti id yakni fantasi namun fantasi dari ego hanya bersifat terkait hal yang menyenangkan. Tidak heran jika seseorang melamun tentang kesenangan pribadi pada kesempatan itulah ego meninggalkan sejenak tentang realitas. Susunan kepribadian yang lain adalah Superego, adalah cabang moril atau cabang keadilan dari kepribadian. Superego mewakili alam ideal daripada alam nyata superego itu menuju ke arah kesempurnan dari pada kearah kenyataan atau kesenangan (dikutip dari Buku Calvin Hall 2017:42).
Calvin Hall menjelaskan superego berkembang daripada kearah kenyataan atau kesenangan, Superego berkembang dari ego sebagai akibat dari perpaduan yang dialami sesorang anak ukuran-ukuran orang tuanya mengenai apa yang baik dan saleh, yang buruk, dan batil. Di sini bisa dilihat bahwa superego merupakan hasil konstruksi yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak dalam hal ini individu mengenai berbagai hal yakni yang baik dan yang buruk dan tentang perilaku dan lain sebagainya. Superego menjadi dinding pemisah dalam diri manusia mengenai yang dimaksud pilihan dalam psikoanalisis. Naluri dan nurani merupakan hasil konstruksi yang mtelah terdoktrin sejak individu mengenal dunia.
Freud menganalisis superego sebagai kata hati nurani dan super ego tersebut merupakan hasil sosialisasi dari lingkungan sosial tempat individu tersebut hidup. Konstruksi terhadap keadaan yang membentuk superego mengalami kecenderungan mendominasi pada tindakan manusia yang tak mampu secara prinsip melampiaskan susunan kepribadian yang lain. Superego merupakan hasil yang tampak dari berbagai susunan kepribadian yang membawa dampak untuk individu yang lainnya saling mempengaruhi. Hal ini akan berdampak pada proses sosialisasi akan sesuatu hal bergantung pada superego seseorang.
Dengan begitu, maka kita sebagai manusia yang sedang mengemban amanah kekuasaan atau kewenangan. Seyogyanya mampu menjalankan kekuasaannya dengan baik dan adil terhadap bawahan yang dipimpinnya. Tujuannya untuk menjadikan sebuah tataran dinamis dan lingkungan yang heterogen bebas dari kekuasaan yang bersifat otoriter hanya mementingkan kepentingan dirinya saja. Wallahu A’lam Bisshawab
A’isy Hanif Firdaus, mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang, Sekretaris Umum IKAF Babakan-Tegal, Sekretaris PR IPNU Dukuh Kedawon, Lembaga Pers dan Penerbitan PAC IPNU Larangan, Kabupaten Brebes
Terpopuler
1
LDNU Rembang Gelar Lomba Dai-Daiyah Perdana, Berikut Daftar Pemenangnya
2
PWNU Jateng Desak Pemerintah Tinjau Kembali Kebijakan Full Day School
3
Pemprov Jateng Hapus Tunggakan Pajak Kendaraan dan Denda Mulai 8 April
4
Safari Ramadhan Terakhir GP Ansor Margasari di Bukasari, Meriah dengan Khotmil Qur'an dan Ceramah Dai Gemoy
5
Ansor Borong Takjil, Inovasi Berbagi di Pringapus untuk Bantu Pedagang Kecil
6
Kapan Nikah? Bukan Soal Cepat atau Lambat, Ini Jawabannya
Terkini
Lihat Semua