Opini

Polemik Nasab Ba'alawi dalam Perspektif Aswaja

Selasa, 17 Juni 2025 | 12:00 WIB

Polemik Nasab Ba'alawi dalam Perspektif Aswaja

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

​​​​​​Oleh: Mufid Rahmat

Jagad dunia maya beberapa tahun terakhir ini diramaikan polemik kesinambungan Ba'alawi atau habaib dengan nasab Rasulullah Muhammad Saw. Semakin lama semakin melebar polemiknya, dari yang semula berbasis ilmiah/ tesis berubah menjadi harakah/gerakan, bahkan menyeret jam'iyah Diniyyah ijtimaiyah Nahdlatul ulama ( NU ) secara struktural dan kultural.


Polemik tersebut tentunya ada sebabnya, ada trigernya, ada reaseningnya dan tentunya pula ada solusinya, ada model problem solvingnya. Trigger dan problem solvingnya harus nyambung, harus dalam koridor teks dan konteks dan berbasis ilmu, bukan berbasis nafsu. Dan tidak kalah pentingnya didasarkan pada kejujuran/obyektivitas.


Segala bentuk pemikiran dan harakah yang berbasis nafsu, akan melahirkan konsekuensi destruktif. Seseorang akan kehilangan rasionalitas nya ketika dililit nafsu, tanpa pandang bulu. Karena itu agar tetap dalam koridor rasionalitas, diperlukan pemikiran/perspektif cerdas untuk menghindari mafsadah sosial yang lebih besar dalam konteks polemik nasab.


Sikap bijak dan cerdas

Adalah PCNU kabupaten Klaten, - yang menurut saya sangat cerdas dalam menyikapi polemik nasab ba'alawi. Dia tidak larut dalam uforia tabuhan genderang pro - kontra yang dimeriahkan dengan narasi agitatif - provokatif dan demonstratif, tetapi menyampaikan perspektif cerdas dengan menerbitkan sebuah buku yang  isinya terdapat polemik tersebut yang dibingkai dalam manhaj Aswaja.


Buku yang berjudul Risalah ahlussunah wal jamaah an nahdliyyah definisi  sejarah dan implementasi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini, antara lain  berisi tentang polemik nasab ba'alawi ( hal. 69). 


Dalam buku yang ditulis oleh tim lima orang ini memberikan 17 poin  dari hasil pembahasan dengan perspektif Aswaja dan manhajul fikr ( rawassuth, tawazun, i'tidal, tasamuh, amar makruf nahi mungkar) untuk menghindarkan umat, khususnya Nahdliyyin dari polarisasi yang tidak bertepi.


Dari 17 poin tersebut, diantaranya, pertama, perlunya nasehat dalam upaya terwujudnya kebaikan dan keselamatan bagi semua pihak. Dasar naqliyahnya QS Al 'Ashr : 1-3, HR Muslim dan lainnya. Kedua, dalam memberikan nasehat atau amar makruf harus mengedepankan hal hal yang makruf/ baik. 


"Man Amara bil makrufi falyakun amruhu bil makrufi" artinya, barang siapa yang mengajak kebaikan, maka hendaklah dengan cara yang baik.


Ketiga, perlu disikapi dengan sikap tasamuh ( toleransi) dengan saling menghargai dan menghormati, bukan saling memutlakkan diri. Keempat, penisbatan hubungan nasab seseorang pada leluhurnya segoyanya dilakukan dengan kejujuran, sesuai HR Bukhari Muslim. 


Kelima, membanggakan nasab, mencela dan mencemooh nasab termasuk budaya kaum jahiliah. Dalam perspektif Islam, kemuliaan seseorang bukan berdasarkan kedudukan dan nasab, tetapi kepada ketakwaan kepada Allah SWT, sebagaimana HR. Ahmad.


Keenam,  pada dasarnya nasab seseorang tidak ada korelasinya dengan nasibnya di akhirat, sebagaimana tercermin dalam HR. Bukhari, Muslim dan QS Al mukminun :101. Ketujuh, menghindarkan diri dari Al isti'mam ( generalisasi), sebagaimana tercermin dalam HR. Bukhari Muslim, HR. Ahmad, at Tirmidzi dan lainnya.


Kedelapan, pentingnya sesama muslim saling menyayangi, mencintai, menolong, membantu dan peduli, sebagaimana HR. Muslim, HR. Tirmidzi dan QS. Alhamdulillah hujarat : 11. Kesembilan,  memperhatikan dan mengikuti sikap penghormatan dari para muassis dan ulama sepuh NU terhadap kalangan ba'alawi sebagaimana tradisi pesantren dengan mengedepankan husnudzan.


Banyak catatan sejarah NU mulai dari KH. Hasyim Asy'ari sampai pada para ulama dan tokoh NU sekarang ini memiliki hubungan baik serta saling menghormati dengan tokoh ba'alawi. Kesepuluh, mengedepankan sikap menghormati kepada siapapun dari warga Nahdliyyin yang berbeda pendapat. Perlu disadari bahwa perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan, namun menghindari kemungkinan perpecahan adalah kewajiban. Karena itu perlu dihindari narasi dan diksi yang tidak pantas, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al hujarat: 11.


Kesebelas, menyadari dan mewaspadai adanya upaya-upaya adu domba antara NU dengan elemen atau ormas lainnya, bahkan adu domba antarsesama Nahdliyyin. NU dengan pandangan moderatnya memiliki peran penting terhadap berdirinya NKRI sekaligus setia menjadi pendukung dan penjaga NKRI sampai kapan pun. Ada pihak yang menginginkan NU tidak menjadi besar dan kuat, karena adanya kepentingan tertentu baik politik maupun ideologi aliran keagamaan. 


Kedua belas, merespon positif dan mendukung instruksi PBNU terhadap pelurusan sejarah berdirinya NU dengan membuat kebijakan menarik semua buku pelajaran Aswaja ke NU an yang terindikasi adanya narasi penyimpangan dan pembelokan sejarah.


Mencintai dan Menghormati


Disadari atau tidak, secara direct atau indirect, NU telah terseret gelombang polemik nasab ba'alawi. "Virus" polemik tidak saja menjalar ke lini kultural ( basis massa), tetapi menjangkau sebagian lini struktural ( basis struktural). Bahkan, ada sejumlah basis struktural NU merespons secara legal organisasi dengan mendirikan entitas baru sebagai wasilah perlawanan.


Menyikapi "fenomena" atau case seperti itu, PBNU mengambil langkah bijak, tegas dan konstitusional. Surat instruksi PBNU kepada PWNU, PCNU, pengurus cabang istimewa dan pimpinan pusat Banom se Indonesia, tanggal 2 Juni 2025 menjadi solusi bernas mengobati "virus" polemik yang tidak konklusif.


Ditegaskan, perbedaan pendapat yang terjadi hendaknya disikapi bijaksana penuh kearifan dan menghindarkan semangat permusuhan serta tetap mengedepankan adab dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ahli ahlinya.


Setiap fungsionaris pengurus dan kader NU berkewajiban mencegah perpecahan (iftiroq ) dan mendamaikan perdamaian ( islah dzatil bain ) serta melepaskan diri dari keterlibatan dalam pertentangan mengenai nasab, baik dalam keikutsertaan dalam perkumpulan dan atau organisasi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan permusuhan terkait masalah nasab, seperti PWI - LS maupun organisasi yang berseberangan dengan PWI - LS.


Penegasan tersebut sangat penting, karena muncul narasi yang intinya ber NU tidak harus tunduk/linier/koheren dengan PBNU. BerNU selamanya dan mengikuti PBNU seperlunya serta narasi semakna lainnya.


Membangun narasi seperti itu berpotensi destruktif, karena secara lambat laun akan mengikis dan membuat keropos bangunan struktural. Pada saat bersamaan juga berpotensi mendegradasi warwah dan garis struktural jam'iyah. Sebab, NU sebuah jam'iyah yang memutlakkan adanya struktur jam'iyah .


Perlu disadari jam'iyah NU dilahirkan, dikembangkan dan dilestarikan dengan pendekatan struktural. Melemahkan struktural jam'iyah sama maknanya dengan melemahkan jam'iyah. Karena itu mencintai NU mesti dibarengi dengan menghormati struktural NU.


Mukadimah qonun asasi NU secara jelas memerintahkan kepada semuanya supaya inimasuk jam'iyah NU dengan cinta, suka cita, kasih sayang, persatuan dengan ikatan jiwa raga ( udkhuluha bil mahabbati, wal Widadi, wal ulfati, wal ittihadi bil ittisholi arwahin wa ajsadin).


Mari kita resapi dan amalkan perintah muassis NU, KH Hasyim Asy'ari itu.
 

Mufid Rahmat: kader NU,  penulis buku "Semua Akan NU pada Waktunya".