Aghitsna Waliyaz Zulfa
Kolomnis
Oleh: Aghitsna Waliyaz Zulfa
لقمان الحكيم قَالَ لِابْنِهِ: «يَا بُنَيَّ، جَالِسِ الْعُلَمَاءَ وَزَاحِمْهُمْ بِرُكْبَتَيْكَ؛ فَإِنَّ اللَّهَ يُحْيِي الْقُلُوبَ الْمَيْتَةَ بِالْحِكْمَةِ كَمَا يُحْيِي الْأَرْضَ الْمَيْتَةَ بِوَابِلِ السَّمَاءِ»
"Luqman al-Hakim berkata kepada anaknya: 'Wahai anakku, duduklah bersama ulama dan dekati mereka dengan kedua lututmu. Sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang mati dengan hujan dari langit.'"(Jāmi' Bayān al-'Ilm wa Fadlihi, Ibn 'Abd al-Barr, 1:438)
Pesan Luqman al-Hakim kepada anaknya, sebagaimana dikutip oleh Ibn 'Abd al-Barr, sangat relevan dalam menggambarkan nilai utama yang membedakan pesantren dari lembaga pendidikan lainnya. Pesantren adalah lembaga yang merancang sistem pendidikan Islam dengan ciri khas suhbah ma’al ustadz—pendampingan intensif antara murid dan guru, yang tak sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai adab dan akhlakul karimah.
Konsep suhbah ma’al ustadz ini telah menjadi karakteristik khas pesantren sejak dahulu. Murid membersamai ustadz, meniru perilaku keseharian beliau, serta menjadikan gurunya sebagai panutan, sebagaimana para sahabat meneladani Rasulullah SAW, para tabi'in meneladani sahabat, dan seterusnya hingga lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i.
Namun, di era digital yang ditandai dengan derasnya arus informasi di media sosial, tradisi mujalasatul ulama dan suhbah ma’al ustadz kerap disalahpahami. Beberapa pihak menilai bahwa tradisi ini mematikan daya kritis, seolah santri hanya diminta untuk patuh tanpa berpikir. Tuduhan ini melahirkan stigma bahwa pesantren bersifat feodal, kolot, dan tidak membuka ruang diskusi. Padahal, realitasnya pesantren justru mengajarkan keseimbangan antara adab dan berpikir kritis.
Mengacu pada definisi berpikir kritis menurut Ennis, yakni “evaluasi ide yang benar dan pemikiran reflektif tentang apa yang kita yakini dan lakukan,” maka apa yang dilakukan para santri dalam kajian kitab kuning sejatinya adalah praktik berpikir kritis. Mereka menganalisis teks-teks klasik (kutub al-turats), mengaitkan dengan konteks kekinian, dan menilai keabsahan istidlal (argumentasi) ulama dengan pendekatan keilmuan yang sahih.
Hal ini sejalan dengan pernyataan al-Allamah al-Syekh Muhammad Awwamah dalam Ma’alim Irsyadiyyah:
لكن ينبغي للشيخ المربي لطلابه على الملكة النقدية : أن يربيهم على خلق آخر معها هو : الأدب...
"Seharusnya, guru selain mendidik murid agar berkarakter kritis, juga mengajarkan mereka satu karakter lain yang mendampingi, yaitu: adab... Jika sisi kritis lebih besar dari adab, murid bisa tergelincir dan melampaui batas. Jika adab lebih dominan dan menutup ruang kritis, maka kebenaran ilmu akan sulit teruji."
Sejarah telah mencatat bagaimana para ulama besar tetap mampu mengkritisi hadis atau pandangan ulama lain dengan bahasa yang santun dan tetap menjaga adab. Para huffadz seperti az-Zayla’i, Ibn al-Katsir, al-Iraqi, Ibn al-Mulaqqin, dan Ibn Hajar adalah teladan bagaimana kritik ilmiah berjalan beriringan dengan adab yang tinggi.
Di pesantren saat ini, praktik serupa tetap hidup. Para guru membuka ruang bagi santri untuk berdiskusi dan mempertanyakan penjelasan, terutama dalam forum bahtsul masail. Seperti diungkapkan Gus Rumail Abbas melalui salah satu cuitannya:
"Sama kiai tetep cium tangan. Tapi kalau sudah di bahtsul masa’il misalnya, tidak jarang kiai didebat. Debat panas tak segan."
Hal ini menunjukkan bahwa mempertahankan nilai syariat yang dibawa Rasulullah SAW tidak cukup hanya dengan adab, tetapi juga membutuhkan daya kritis. Adab dan kritik adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi bagi pencari ilmu.
Akhirnya, mereka yang menilai bahwa pesantren mematikan daya kritis sesungguhnya hanya menilai dari permukaan. Sebab, seorang santri, apalagi dalam forum bahtsul masail, tidak akan berbicara kecuali dengan dalil yang kuat dan teruji.
Lantas, siapa yang benar-benar kritis? Atau, lebih tepatnya, siapa yang hanya kritis tanpa analisis?
Oleh: Aghitsna Waliyaz Zulfa (Mahasiswa Universitas al-Ahgaff Tarim)
Terpopuler
1
Wagub Jateng Tegaskan Proyek Giant Sea Wall Diperpanjang hingga 20 KM
2
Polemik Nasab Ba'alawi dalam Perspektif Aswaja
3
Dari Barak Militer hingga Kabur Aja Dulu, Santri Bahas Isu Kekinian di FMPP 43 Jawa-Madura
4
Ketua Lesbumi PCNU Pati Terbitkan Buku 'Jabrik', Kritik Sosial Dibungkus Cerita Jenaka
5
Sekjen Kemenkes RI Resmikan RSI NU Cakra Medika Mayong
6
Fatayat NU Wonogiri Dorong Zero Stunting Lewat Program S3B: Sambang Simbok Sambang Bocah
Terkini
Lihat Semua