• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 26 April 2024

Opini

Kalam Cinta KH Zainal Arifin untuk Santrinya

Kalam Cinta KH Zainal Arifin untuk Santrinya
Almaghfurlah KH Zainal Arifin (Foto: Dok)
Almaghfurlah KH Zainal Arifin (Foto: Dok)

Berbicara tentang cinta sepertinya tidak akan pernah ada habisnya, cinta sejati adalah cinta yang tetap istiqamah, cinta yang tanpa pandang bulu, cinta yang terjalin tanpa terikat ruang dan waktu. Dalam konteks tulisan ini, penulis akan mengungkap sekelumit cinta seorang guru kepada santrinya, 

 

Cinta abah (penggilan akrab almaghfurlah KH Zaenal Arifin Pengasuh Pesantren Al-Arifiyah Kebulen, Kota Pekalongan) terhadap santrinya tidak akan lekang oleh ruang dan waktu. Walaupun jauh di mata namun tetap lekat dalam lantunan doa, karena kasihnya tidak terhalang sempitnya ruang dan waktu. Baginya santri adalah dirinya sendiri, jika santrinya sakit maka beliau juga merasa sakit, jika santri bahagia maka beliau juga bahagia, jika santrinya sukses maka beliau adalah orang yang pertama kali tersenyum. 

 

Kasih cinta beliau tidak bertepuk sebelah tangan, santri yang jauh di mata sejatinya tidak ada yang jauh, karena santri Al-Arifiyah adalah beliau dalam wujud lain, ruh penggerak dalam jiwa santrinya bersumber dari ruhnya yang ditranfer saat santri duduk dengan khusu mendengar segala nasihatnya. Batinnya santri tersusun dari setiap lantunan doa yang beliau panjatkan khususnya untuk anak didiknya, doa yang diaamiini oleh semua santrinya yang bersatu dengan aamiin para malaikat yang khusus diciptakan untuk meneropong orang yang berdzikir.

 

Haliyah sang guru mulia yang bersumber dari akhlaknya sang manusia pembawa syariat. Semua inti ilmu yang dimiliknya diterjemahkan lewat akhlak dalam kehidupan kesehariannya, semua tampak jelas mulai dari sikap mengutamakan santrinya dari pada dirinya, karena perhatianya dicurahkan untuk santrinya. Malam harinya diabdikan untuk bermunajat kepada Allah, tidak lain untuk berdoa agar santrinya mendapat ilmu yang bermanfaat dan selamat dunia akhirat, siang harinya berpuasa sebagai langkah tirakat akan kesuksesan santrinya. Kesabaran dalam mengajar santrinya membentang tanpa ujung, seluas alam jagat raya. Pintu maafnya terbuka lebar walaupun kadang kesalahan santrinya menggunung laksana Gunung Jayawijaya. 

 

Cintanya yang menyamudra, siap menampung luapan ungkapan rindu santrinya, cinta yang suci mampu membersihkan kotoran cinta mitasi santrinya, cintanya yang jujur dan kokoh, tidak hanya ditebarkan lewat riyadah batiniyahnya semata, juga dalam jalur dzahiriyahnya, beliau juga selalu  mengutarakan kalam-kalam cintanya lewat nasehat-nasehat indahnya yang diambil dari intisari sumber hujah syariat Islam. Dalam kalam cintanya, beliau selalu mengingatkan akan pentingnya amalan-amalan yang mengantarkan keridhaan Allah Tuhan semesta alam jagat raya. Berikut penulis paparkan sepucuk dari jutaan hektar ukiran kalam cintanya:

 

Istiqamah dalam ketauhidan. Istiqamah dalam berdzikir kepada Allah. Dalam hal ini untuk mengambil berkahnya Al-Qur’an beliau membacakan ayat Al-Qur’an dalam surat Fusliat ayat 30:

 

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالَوْا رَبُّنَااللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَـتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَئِكَةُ اَلاَّ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنَوْا وَاَبْشِرُوْا بِالجَنَّةِ الَّتِى كُنْتُمْ تَوْعَدُوْنَ

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka meneguhkan iman mereka maka akan turun kepada mereka malaikat-malaikat (dengan berkata) janganlah kamu merasa takut dan jangan kamu bersedih hati dan bergembiralah dengan (memperoleh) suarga yang kamu telah dijanjikannya”. (QS Fusilat 30).

 

Keistiqamahan yang beliau ajarkan kepada santrinya tidak hanya berupa kata-kata yang hilang bersama melapuknya ruang dan masa, semua itu beliau amaliyah dalam laku keseharianya, membudaya dalam terdisi sebagaimana para pendahulunya, shalat malam yang tidak pernah tertinggal walupun terhimpit jadwal yang padat, membaca shalawat selalu mengiringi setiap hembus nafasnya, Al-Qur’an selalu ada dalam setiap benak dan amaliyahnya, ssdekah menjadi aktivitas yang mengalir mengikuti setiap objek yang membutuhkanya. Kalam cinta yang lahir dari kata mutiara beliau selalu menusuk ke dalam sanubari santri dan muhibinnya, karena sudah diawali dengan amaliyah yang ikhlas karena Allah semata.

 

Beristighfar, sebagai langkah penyucian diri dari dosa yang bersemayam dalam dalam diri, beliau seringkali mengutip surat Nuh ayat 11-13:

 

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ اِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُّرْسِلِ السَّمَٓاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا. وَيُمْدِدْكُمْ بِاَمْوَالٍ وَّبَنِيْنَ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ جَنّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا.

 

Artinya: “Maka aku berkata (kepada meraka) mohonlah ampunan (kepada) tuhanmu sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia anak menurunkan kepadamu hujan yang lebat. Dan Dia memperbanyak untukmu harta dan anak-anak dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan untukmu sungai-sungai”. (QS Nuh 11-13).

 

Istighfar tak lekang dari setiap langkah beliau, prinsip yang tumbuh, bercabang dan berbuah dalam jiwa dan raganya, menjadi inspirasi yang tergambar dalam setiap langkah dan ucapanya, tidaka ada sedikitpun rasa dendam dan rasa untuk menyembunyikan pintu maaf kepada semua manusia yang pernah melukainya. 
 

Membaca Al-Qur’an, sebagai bukti kecintaan hamba kepada tuhannya, karena Al-Qur’an adalah firman-Nya. Dalam konteks ini beliau sering mengutip surat Al-Isra ayat 82:

 

وَنُنَزِلُ مِنَّ القُرْاَنِ مَاهُوَ شِفَٓاءٌ وَرَحْمَةُ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَيَزِيْدُ الظَّلِمِيْنَ اِلاَّ خَسَارًا

 

"Dan kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang (menjadi) penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan tidaklah (Al-Qur’an itu) menambah bagi orang yang zalim selain kerugian. (QS Al-Isra 82).

 

Tidak hanya kata yang membuktikan kecintaan beliau terhadap Al-Qur’an, semua telah terbukti dari masa silam saat beliau masih berstatus sebagai santri mampu menghatamkan Al-Qur’an dalam satu minggu dua kali, bahkan beliau sering ngendiko 'nek maca Qur’ane fasih sesuai karo mahraj lan tajwide, Insyaallah diparingi gampang anggone maca kitab kuning (alim fil kitab)' (jika dalam membaca Al-Qur’an dengan tartil mengikuti kaifiyah makhraj dan tajwid, maka akan dimudahkan dalam memahami kitab kuning).

 

Infak di kala lapang atau sempit sebagai pembuka rezeki. Dalam hal ini beliau sering mengambil referensi dari surat Ali Imron ayat 133-134:

 

وَسَارِعُوٓا اِلَى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَاءِ وَ الضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الغَيْظَ وَالعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ المُحْسِنِيْنَ.

 

“Dan bersegeralah kamu (mencari) ampunan dari tuhanmu dan (mendapatkan) surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang berinfak baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”. (QS Ali Imron 133-134).

 

Sedekah menjadi satu amaliyah yang membudaya dalam kehidupan beliau, tidak ada kata untuk tidak bersedekah walaupun kondisi perekonomian beliau sedang sempit, beliau bersedakah tidak pernah pilih-pilih orang, dalam prinsip sedekahnya beliau, ‘siapa yang membutuhkan, maka akan di bantu'.

 

Mengikuti Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang mengikuti aliran teologinya Imam Al-Asy'ari dan Imam Al-Maturidi, mengikuti madzhab fiqih yang empat (Madzhab Hanafi, Madhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hambali), juga mengikuti madzhab tasawufnya Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali At-Thusi dan Imam Qosim Junaid Al-Baghdadi. Ini semua beliau tendensikan dengan kalam dari pendiri NU (Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari) 'Siapa yang mau mengurusi NU, aku anggap santriku, siapa yang jadi santriku, maka aku doakan husnul khatimah beserta keluarganya.

 

Beliau sering ngendika 'santriku nek melu organisai kudu melu Nahdlatul Ulama, nek melu selain Nahdlatul Ulama, ora tak anggep santriku' (semua santri saya harus iku Nahdlatul Ulama, bagi yang tidak mengikuti Nahdlatul Ulama, tidak saya anggap santri saya).


 

Fatkhuri as-Sobri, Pengajar di Pesantren Salaf Al-Fitroh Sawangan Paninggaran


Opini Terbaru