Membumikan Logika, Mengikis Mistika: Tugas Kita dalam Mengedukasi Masyarakat
Jumat, 6 Juni 2025 | 08:00 WIB
Husna Mahmudah
Kolomnis
NU Online Jateng -
Satu perbincangan ringan seusai kuliah menyisakan pertanyaan yang menggugah: Mengapa di era yang serba digital dan serba terhubung seperti sekarang, masyarakat kita masih banyak yang meyakini kekuatan mistis lebih daripada kerja keras dan proses ilmiah? Pertanyaan itu tidak muncul dari ruang hampa. Ia mencerminkan fenomena sosial yang nyata: masih mengakarnya cara berpikir supranatural di tengah masyarakat yang seharusnya sudah melek informasi dan teknologi.
Beberapa waktu sebelumnya, saya juga membaca unggahan singkat di Instagram, berisi keluhan serupa: tentang banyaknya orang yang lebih tertarik membagikan kisah gaib atau kesaktian-kesaktian misterius, ketimbang kisah inspiratif tentang perjuangan, kerja keras, atau inovasi. Unggahan itu menyiratkan keprihatinan: bahwa nalar sering kali kalah saing di ruang publik, bahkan dari hal-hal yang tak bisa dibuktikan kebenarannya.
Fenomena ini bisa jadi merupakan cerminan dari satu masalah besar: kurang kuatnya suara rasionalitas di tengah masyarakat. Kita—para pendidik, tokoh agama, pegiat literasi, akademisi, aktivis sosial, dan siapa pun yang memiliki akses terhadap publik—belum cukup intens membagikan narasi-narasi logis yang membangun kesadaran.
Akibatnya, masyarakat dibiarkan mengonsumsi kisah-kisah mistik tanpa tandingan yang bermutu. Padahal, ruang berpikir publik tak akan pernah kosong; jika tidak diisi oleh rasionalitas, maka ia akan dipenuhi oleh irasionalitas.
Jika kita tengok kembali pemikiran Tan Malaka dalam Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), ia menggarisbawahi bahwa logika mistik adalah penghambat utama kemajuan bangsa. Menurutnya, mistisisme mematikan kemampuan berpikir kritis dan menyuburkan sikap fatalistik. Jika kita jujur menilai kondisi hari ini, benarlah yang ia katakan.
Masih banyak masyarakat yang lebih percaya pada “air doa” daripada hasil diagnosis medis. Lebih sibuk mencari “jimat pembawa hoki” daripada menyusun strategi bisnis yang rasional. Saat terkena musibah, alih-alih mencari solusi ilmiah, sebagian lebih memilih jalur paranormal.
Masalah utama bukanlah kepercayaan personal—karena setiap individu berhak memiliki keyakinannya—tetapi ketika keyakinan yang bersifat spiritual itu menutup akal sehat dan logika publik. Di sinilah letak krisisnya. Masyarakat kita mulai kehilangan daya kritis. Mereka tak lagi bertanya, tak lagi menganalisis, dan tak jarang berhenti berpikir.
Dalam keadaan seperti ini, kita perlu menyatakan dengan jujur dan tegas: cerita-cerita mistik bukanlah solusi. Ia tidak bisa dijadikan teladan, apalagi diwariskan sebagai nilai hidup generasi mendatang.
Sebagai insan yang dipercaya masyarakat—baik karena posisi sosial, profesi, ataupun keilmuan—kita memikul tanggung jawab moral dan sosial untuk mengisi ruang publik dengan narasi-narasi yang sehat. Kita harus menyuarakan bahwa keberhasilan adalah buah dari proses panjang, bukan hasil dari praktik-praktik gaib.
Kita perlu menyadarkan bahwa perubahan lahir dari pengetahuan, keterampilan, dan ketekunan, bukan dari “jalan pintas” supranatural yang tidak bisa diverifikasi.
Ajarkan kepada anak-anak didik kita bahwa kesuksesan adalah hasil proses. Ceritakan bagaimana Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari rela menempuh perjalanan panjang untuk mencari ilmu—dari pesantren satu ke pesantren lain, dari pelosok Nusantara hingga ke tanah suci Makkah. Semua itu bukan karena karomah semata, melainkan karena semangat belajar yang luar biasa.
Jelaskan bahwa sejarah para ilmuwan Muslim—seperti Al-Biruni dengan riset astronominya, Al-Kindi dengan filsafat dan matematika, hingga B.J. Habibie dengan teknologi penerbangannya—semua dibangun di atas fondasi riset, eksperimen, dan dedikasi tinggi, bukan karunia mistik.
Islam sendiri menempatkan akal sebagai instrumen penting dalam memahami wahyu. Al-Qur’an berkali-kali menantang manusia untuk berpikir:
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tidakkah kamu berpikir?”
أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu mau merenung?”
Ayat-ayat semacam ini menegaskan bahwa iman dan akal bukan dua hal yang saling menegasikan, melainkan saling menguatkan. Islam tidak mengajarkan fatalisme, tapi justru menekankan pentingnya usaha yang konsisten—dalam istilah ulama, dikenal pepatah hikmah:
الاستقامة خير من ألف كرامة
“Istiqamah (konsistensi) lebih baik dari seribu karomah (keajaiban).”
Artinya, Islam menempatkan kerja keras dan konsistensi di atas pencapaian instan yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.
Kita perlu menyodorkan narasi-narasi yang bisa ditiru. Ceritakan perjuangan seorang ibu tunggal yang menyekolahkan anaknya sampai sarjana, walau harus bekerja serabutan.
Ceritakan tentang petani yang belajar teknologi dari YouTube dan berhasil menggandakan hasil panennya. Atau kisah pemuda desa yang belajar pemrograman secara otodidak lalu bekerja untuk perusahaan luar negeri dari kampung halamannya.
Semua kisah itu nyata. Bisa ditelusuri, dipelajari, dan ditiru. Itu yang dibutuhkan generasi hari ini: inspirasi yang membumi, bukan mitos yang membingungkan.
Saat ini, kita tidak sedang berhadapan dengan makhluk gaib. Tantangan kita jauh lebih nyata: cara berpikir yang tidak rasional, fatalistik, dan tidak ilmiah.
Kita tak perlu mencari kambing hitam. Yang kita perlukan adalah keberanian untuk mengambil peran. Peran untuk menyuarakan nalar, menyebarkan pendidikan yang mencerahkan, dan menghidupkan budaya berpikir kritis di ruang-ruang publik.
Karena sejatinya, bangsa yang besar bukan dibentuk dari dongeng-dongeng klenik. Ia tumbuh dari semangat belajar, kekuatan berpikir, dan tekad untuk berubah. Dan tugas itulah yang kini ada di tangan kita semua.
Terpopuler
1
Inilah Lokasi Sholat Idul Adha Jumat 6 Juni 2025 Wilayah Semarang Jawa Tengah yang Dilansir LD PCNU Kota Semarang
2
Gandeng Ulama, Juleha Demak Gencarkan Edukasi Kurban Sesuai Syariat
3
Gus Ipul Letakkan Batu Pertama RSNU Yasyfina Wonosobo: Rumah Sakit Ini Milik NU, tapi untuk Semua
4
Amalan Gus Baha di Hari Arafah
5
Khutbah Idul Adha: Meneladani Kunci Kesuksesan Nabi Ibrahim
6
Kurban Kambing Lebih Utama dari Sapi? Ini Alasannya!
Terkini
Lihat Semua