• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 18 April 2024

Opini

Menyoal Monoloyalitas NU

Menyoal Monoloyalitas NU
Foto: Ilustrasi (istimewa)
Foto: Ilustrasi (istimewa)

Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah jamiyah diniyah yang sangat besar, tapi bukan super body, sangat kuat, tapi bukan superior dan heterogen warganya. Dia dinisbatkan lautan atau samudera yang nan luas dan dalam (bahrun 'amiqun), di atasnya banyak perahu dan kapal yang berlayar. Juga dianalogkan sebuah kebun raya yang sangat mempesona, yang dihinggapi kubu dan kumbang. 


Jamiyah diniyah NU yang masa lahirnya memiliki prioritas, dakwah, pendidikan, ekonomi dan kesehatan, sekarang ini memiliki puluhan lembaga, badan otonom dan lajnah sebagai instrumen taktis maupun strategis. Namun demikian, menurut KH Mustofa Bisri (Gus Mus) NU terdiri dari dua dimensi, yaitu jamaah dan jamiyah. Jamaah sebagai isi sedangkan jamiyah sebagai wadah. Hampir senada dengan Gus Mus, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan, NU terdiri dari kultural dan struktural. Tugas struktural, antara lain menjamiyahkan kultural. 


Jika berangkat dari penisbatan tersebut, dalam eksistensinya sebagai jamiyah NU merupakan organisasi terbuka dan memberi keleluasaan bagi warganya, tentunya selama tidak keluar dari khittah nahdliyah. Perahu dan kapal di laut atau samodera diperbolehkan berlayar ke mana saja untuk mencari ikan. Karena laut sebagai wahana atau medan. Demikian pula, tanaman di kebun raya bisa ditanam di mana saja, karena kebun raya sebagai lahan utama. Demikian pula NU, memberikan keleluasaan kepada warganya dalam banyak hal, karena NU tidak menghegemoni, tidak memonopoli dan tidak represif terhadap warganya. Kondisi obyektif seperti itu melahirkan jargon 'NU ada di mana-mana'. 


Meski NU memiliki lembaga pendidikan di semua jenis dan semua jenjang, dia memberikan toleransi kepada warganya untuk menempuh pendidikan di mana saja. Karena itu banyak anak NU yang belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah dan non Islam, bahkan di pusat kekuasaan Wahabi, mereka juga tidak dikenakan sanksi organisasi. Meski NU memiliki lembaga kesehatan, tidak mewajibkan warganya berobat di lembaganya. Tidak sedikit warga NU yang berobat di lembaga kesehatan non NU. Merekapun juga tidak didemo dan dikucilkan. Dalam dunia usaha, NU bermitra dan bertransaksi dengan lembaga atau badan non NU. Bahkan, bagi mereka yang nyata nyata bertransaksi dan bermitra dengan non NU pun tidak diisolasi oleh jamiyah. Salah satu yang terkesan menyimpang dari jatidiri NU saja dibiarkan, praktis tanpa mendapat sanksi seperti banyaknya warga NU yang sholat tarawih delapan rakaat. 


Monoloyalitas NU


Berangkat dari paparan tersebut, NU dalam kapasitasnya sebagai jamiyyah diniyah tidak mengenal istilah monoloyalitas. Karena khittah NU tidak mengenal monoloyalitas. Secara simpel, monoloyalitas adalah kesetiaan yang tidak terbagi, kesetiaan tunggal. Dalam konteks Indonesia, monoloyalitas adalah sebuah konsep dan kebijakan politik pada periode pemerintahan orde baru yang diterapkan kepada pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pada lembaga daerah dan pusat serta badan badan milik negara. Bagi mereka yang melawan monoloyalitas konsekuensinya sangat jelas dan tegas. Konsep monoloyalitas bertentangan dengan spirit pendiri NU serta maqosid al-ulya jamiyah. Dalam Qonun Asasi disebutkan 'fahalummu kullukum wa man tabiakum jamian minal fuqoroi wal aghniyai wal dluafai wal aqwiyai ila hadzihi jamiyati al-mubarokati al-mausumati bi jam'iyati nahdlatil ulama wadzkhuluha bil mahabbati wal widadi wal ulfati wal ittihadi wal ittisholi bi arwahin wa ajsadin, fainnaha jam'iyatu 'adlin wa amanin wa ishlahin wa ihsanin... Ila akhirihi'.


Warga NU (nahdliyin) melabuhkan khidmahnya karena adanya keberkahan, adanya keadilan, jaminan keamanan, dan kebaikan tanpa mengenal strata sosial dan dikotomi struktural non struktural. Karena itu mereka berbondong bondong menjadi nahdliyin dengan penuh cinta, suka cita, dan semangat persatuan. Dan dalam konteks politikpun, NU memberikan kebebasan. Persoalan afiliasi politik diserahkan kepada individu warga. Karena itu nahdliyin berada di hampir semua partai politik tanpa adanya konfrontasi fisik. Bahkan, parpol yang membuat organ dengan embel-embel NU pun tidak dilabrak juga tidak dibubarkan. 


Persoalan Alumni


Belum lama ini kita dihebohkan adanya insiden yang tidak seharusnya terjadi, bahkan sangat ironis sekali. Sekelompok nahdliyin yang mengadakan acara halal bihalal sekaligus membentuk komunitas mantan pimpinan dan mantan kader Ansor diduga dibubarkan oleh sekelompok orang yang diduga pimpinan dan kader Ansor-Banser dengan cara yang demonstratif dan atraktif. Dilihat dari berbagai aspek, alumni atau mantan Ansor membuat komunitas, membentuk perserikatan tidak merupakan bentuk pelanggaran atau pengingkaran atau pembangkangan terhadap NU, lebih spesifik terhadap PBNU, apalagi terhadap GP Ansor. 


Dari aspek institusional, komunitas atau perserikatan para mantan atau alumni pengurus Ansor tidak sebagai bentuk subordinasi. Dia tetap berkiblat terhadap haluan dan khittah nahdliyah, mengakui struktur kepengurusan NU di semua level dan program yang dilakukan lebih bersifat pengukuhan/penguatan/keberagaman yang satu gelombang dengan mainstream jamiyah. Hal-hal teknis operasional yang berkaitan dengan AD/ART atau PD/PRT disusun sejiwa dan sejalan dengan mainstream jamiyah secara mujmal.  Tentu AD/ART NU atau PD/PRT Ansor tidak mengenal istilah komunitas atau perserikatan alumni. Tetapi juga perlu dipahami bahwa tidak ada klausul atau pasal yang mengatur tentang larangan perserikatan alumni. Juga tidak ada peraturan dan atau pedoman organisasi tentang larangan alumni. 


Dari aspek fikrah nahdliyah atau aspek afal al khomsah, berdirinya komunitas atau perserikatan alumni, tidak ada hal yang diperselisihi. Bahkan jika dilihat dari fikrah nahdliyah progresif, apa yang dilakukan para alumni merupakan sesuatu yang realistis seiring dengan dinamika sosial keagamaan yang sangat dinamis. Dari aspek konstitusional, apa yang dilakukan para alumni tidak melanggar haluan negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, karena mereka adalah nahdliyin yang hubbul wathan. Mereka adalah para kader yang telah lulus dan teruji loyalitasnya terhadap bangsa, negara, dan jamiyah NU. 


Berdasar dari tiga aspek tersebut, menyematkan kalimat ilegal kepada mereka merupakan 'qaul sayyiat' yang cenderung intimidatif. Pemilihan diksi ilegal dari aspek hukum normatif merupakan diksi yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebab, sebuah keputusan hukum atau tindakan penghakiman harus melalui prosedur panjang yang tahapannya harus dilalui dibarengi dengan bukti dan deliknya. Jika penghakiman ilegal atas dasar subyektivitas, apalagi emosional, sangat menyelisihi konstitusi juga tradisi NU yang sama sama kita junjung tinggi. 


Demikian pula mengatakan tidak ada alumni Ansor dan jangan karena gengsi lalu membuat alumni, sebagaimana dikatakan oleh Kiai Muzamil juga terlihat lucu. Apalagi dikatakan, seusai Ansor bisa berkhidmah di NU walau di tingkat ranting dan sebagainya. Kalau itu Kiai Muzamil mengatakannya sepenuh hati, beliau terkesan kurang informasi dan referensi. Mestinya beliau melihatnya secara obyektif, komprehensip dan cool. Sebab, dalam kapasitasnya sebagai ulama cara melihatnya perlu berdasarkan alladzina yandlurunya ila ummah bi aini rahmah la bi aini amarah. 


Perlu diketahui bahwa persoalan alumni tidak ada hubungannya dengan masalah gengsi, juga bukan karena tidak menjadi pengurus NU. Sifat kepengurusan NU itu kondisional, situasional, temporary karena dibatasi waktu/periode. Artinya, mereka yang menjadi pengurus sekarang ini bakal menjadi mantan pengurus pada masa mendatang, sebaliknya yang belum menjadi pengurus berpeluang menjadi pengurus. Dalam konteks NU menjadi pengurus sejatinya amanah yang harus dipertanggungjawabkan, merupakan pengkhidmatan. Karena itu tidak perlu dibanggakan, apalagi untuk kesombongan. Menjadi pengurus belum tentu pahalanya jauh lebih besar dari warga, demikian pula sebaliknya.

 
Menurut subyektivitas saya, mereka yang membuat komunitas atau perserikatan alumni mayoritas pengurus aktif NU dari level Ranting sampai PBNU. Dari mereka banyak yang menjadi Ketua, Sekretaris dan pengurus Ranting, MWC, Cabang dan Wilayah NU tersebar di seluruh Indonesia. Karena itu pada forum PWNU atau forum PBNU kiai Muzamil akan bertemu dengan para mantan dan alumni Ansor. Jangan ragukan dedikasi dan loyalitas mereka. Insyaallah mereka ashli (pakai shod) nahdliyin seratus persen. Mereka ber NU tidak ujug-ujug,  tetapi melalui masa yang panjang, dari IPNU, PMII, Ansor, dan atau lembaga dan lajnah. 


Al-ittihad adalah salah satu kata kunci ber NU. Qaul ma'ruf, nahi bil ma'ruf dan at-ta'awun adalah nilai yang dijunjung tinggi NU. Karena itu apa yang terjadi di Surabaya dan statemen yang tidak 'muqtadlal khal' merupakan pelajaran yang tidak terulang. Tidak perlu ada yang diperebutkan dalam NU, kecuali kebaikan dan keberkahan, karena pada saatnya akan terlewatkan. Wallahu alam bissawab. 


H Mufid Rahmat, mantan pengurus PMII, PW GP Ansor Jawa tengah dan sekarang masih menjadi pengurus NU


Opini Terbaru