Dinamika

Kuasa Hukum Petani Pundenrejo: Tanah Sengketa Milik Warga, Bukan Korporasi

Kamis, 24 Juli 2025 | 11:00 WIB

Kuasa Hukum Petani Pundenrejo: Tanah Sengketa Milik Warga, Bukan Korporasi

Konferensi pers Kuasa hukum petani Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Nimerodi Gulo di kantor Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) Teratai, Rabu (23/7/2025).

Pati, NU Online Jateng

Kuasa hukum petani Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Nimerodi Gulo, menegaskan bahwa sengketa lahan antara warga dengan korporasi menunjukkan kegagalan negara dalam mewujudkan amanat konstitusi untuk menyejahterakan petani.


Ia menyebutkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Agraria secara tegas mengamanatkan agar negara menyediakan lahan garapan bagi petani miskin yang tidak memiliki tanah.


"Itu legal dan dijamin secara konstitusional. Tetapi sampai saat ini ternyata negara gagal mewujudkan ide dasar yang ada di dalam UUD 45. Karena kegagalan itulah maka rakyat Pundenrejo berusaha keras secara bersama-sama untuk mengingatkan kembali negara sebagai pemegang kekuasaan agar mereka diberikan hak-haknya, yaitu hak lahan garap yang kebetulan tanah itu saat ini dalam penguasaan PT LPI (Laju Perdana Indah/Pabrik Gula Pakis)," jelas Gulo saat konferensi pers di kantor Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) Teratai, Rabu (23/7/2025).


Gulo menambahkan bahwa tanah yang saat ini dalam penguasaan korporasi sejatinya merupakan milik warga secara turun-temurun. Namun, karena kekuasaan yang tidak terkendali sejak masa Orde Baru, lahan tersebut berpindah ke tangan pengusaha.


"Tanah itu sekarang sudah habis masa HGU-nya sejak September 2024. Secara hukum tanah itu harus kembali di bawah penguasaan negara. Penguasaan itu bukan berarti memiliki, tapi dimaknai bahwa negara berkewajiban mengambil alih tanah-tanah yang terlantar untuk dibagikan kepada warga negaranya yang berprofesi sebagai petani dalam menjamin hak warga. Petani wajib diberikan lahan oleh negara terutama bagi mereka yang tidak mampu," tegas Gulo.


Ia juga menyampaikan bahwa beberapa bulan lalu, PT LPI yang secara hukum sudah tidak lagi memiliki hak atas tanah di Pundenrejo, justru melakukan kekerasan fisik berupa perusakan rumah milik warga.


Laporan perusakan itu telah diajukan oleh warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun) ke Polresta Pati. Namun, menurut Gulo, laporan tersebut belum ditangani secara serius.


"Polresta Pati justru menanggapi laporan LPI terhadap warga yang katanya melakukan pengrusakan terhadap tanaman tebu. Padahal tanaman itu ilegal dan berada di atas tanah yang bukan milik PT LPI. Ini sangat menyedihkan," lanjutnya.


Sebagaimana diketahui, baik Germapun maupun PT LPI sama-sama telah mengajukan laporan ke pihak kepolisian. Germapun melaporkan dugaan perusakan rumah, sementara PT LPI melaporkan warga atas tuduhan perusakan tanaman tebu.


Germapun meyakini bahwa lahan tersebut merupakan milik warga secara turun-temurun dan harus dikembalikan kepada mereka, terlebih hak guna usaha (HGU) yang sempat dimiliki PT LPI telah habis masa berlakunya.


Sementara itu, pihak PT LPI mengklaim masih memiliki hak kelola atas lahan yang disengketakan. Mereka menyatakan telah memiliki dokumen sah atas kepemilikan lahan tersebut.


"Perusahaan dulu membeli tanah tersebut dengan akta jual beli yang sah dari PT BAPPIPUNDIP pada 16 Februari 2001,” ujar Pramono Sidiq, perwakilan PT LPI, Sabtu (10/5/2025) lalu.


Menanggapi polemik ini, Kapolresta Pati AKBP Jaka Wahyudi memastikan bahwa proses hukum akan tetap berjalan. Ia menyampaikan bahwa Polresta menindaklanjuti laporan dari kedua belah pihak sesuai prosedur yang berlaku. Namun, peluang penyelesaian melalui mekanisme restorative justice tetap terbuka.