• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Usia Remaja Rawan Kekerasan Simbolik Verbal

Usia Remaja Rawan Kekerasan Simbolik Verbal
Remaja rawan kekerasan verbal (Foto: Ilustrasi nu online jateng)
Remaja rawan kekerasan verbal (Foto: Ilustrasi nu online jateng)

'Bisa karena biasa' Begitulah kiranya kondisi saat ini di dunia pergaulan remaja dalam lingkungan pendidikan. Bukan kebaikan yang mereka bisa tiru melainkan keburukan dan akhirnya menjadi kebiasaan. Ya, keburukan itu berupa kekerasan simbolik verbal.


Fenomena ini terjadi di lingkungan pendidikan, baik itu di sekolah maupun masyarakat bahkan merambah ke lingkungan virtual media sosial (medsos). Pada lingkungan itu banyak terjadi kekerasan simbolik dalam penggunaan bahasa yang entah disengaja atau tidak disengaja oleh para remaja (pelajar).


Konsep kekerasan simbolik ini dikemukakan oleh Pierre Bourdieu seorang sosiolog asal Perancis. Bourdieu menjelaskan itu bermula dari mekanisme yang digunakan kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk ‘memaksakan’ ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya dampaknya kepada kelompok kelas bawah yang didominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut juga sebagai habitus.


Dampaknya masyarakat kelas bawah dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikkan, dan mengakui habitus kelas di atas merupakan habitus yang pantas bagi mereka (kelas bawah), di sisi lain menganggap habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah seharusnya dimusnahkan. Banyak cara yang digunakan kelompok atas untuk memaksakan habitusnya, salah satu di antaranya melalui lembaga pendidikan.


Cara sosialisasi habitus kelompok atas ini pun dapat ditemui dalam berbagai rupa. Kita dapat menyaksikan bagaimana anak-anak di sekolah diwajibkan memakai sepatu, seragam, serta berbagai atribut atau cara berpakaian kelompok kelas atas yang juga harus dilakukan kelompok kelas bawah, ini berarti ada pemaksaan dalam berbusana.


Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik bermakna kekerasan non-fisik yang menggunakan simbol. Kekerasan simbolik merupakan cara tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Ada beberapa faktor penyebab perilaku kekerasan simbolik yaitu faktor eksternal yang berasal dari luar diri pribadi anak yang mempengaruhi kondisi anak di antaranya meliputi pengetahuan, penggunaan bahasa, media informasi, keadaan ekonomi, dan pergaulan bebas.


Penggunaan bahasa kini disalahartikan ketika menjadi sebuah percakapan/candaan (guyon). Beberapa kata yang mengandung unsur kekerasan simbolik dalam bahasa yang digunakan pelajar sebagai bahasa gaul dalam lingkungan sekolah. Pertama, bodoh, tolol, bego (ego), sebutan orang yang kecerdasannya di bawah rata-rata. Sebutan ini berdampak buruk bagi perkembangan psikologis. Julukan atau label bernada bodoh atau tolol atau ego mampu merendahkan kadar intelektualitas orang lain tersebut termasuk bentuk kekerasan verbal. Dampak pemberian ejekan, julukan atau label negatif dapat meruntuhkan dunia seseorang. Efeknya bisa jauh lebih buruk bagi anak-anak dan remaja.


Kedua, binatang, anjay, anjing, bangsat, penyebutan binatang menjadi istilah baru dan panggilan yang paling sering disebutkan. Bahkan memanggil rekannya dengan sebutan tersebut menjadi hal yang sudah biasa. Hal ini mampu merusak perilaku moral karena menyamakan kedudukan manusia dengan hewan seperti nama anjing.


Ketiga, kafir istilah ini adalah sebutan kepada siswa yang dianggap munafik dan pura-pura suci. Alasan menyebut ini disebabkan oleh rasa tidak suka melihat orang lain berperilaku baik dan mengejek dengan panggilan kafir.


Keempat, anak haram gambaran kekerasan verbal dalam dunia remaja, istilah ini muncul untuk mengejek tanpa alasan. Banyak istilah baru yang tercipta dalam mengartikan bahasa di lingkungan sekolah salah satunya adalah sebutan anak haram yang dianggap lumrah oleh siswa untuk memanggil temannya sambil mengejek.


Kelima, setan panggilan atau ejekan untuk membulli dalam bahasa. Penggunaan kata ini dipandang biasa dalam lingkungan pertemanan. Hal ini menjadi pertanda terjadi pergeseran makna bahasa yang sesungguhnya di kalangan remaja. Keenam dan masih banyak lagi, lagi, dan lagi semoga tidak bertambah dan dibiasakan.


Pergeseran makna penggunaan bahasa dipergaulan remaja berdampak negatif secara psikologis dan sosial. Di sekolah kekerasan simbolik verbal menjadi permasalahan yang berakibat hilangnya pembentukan moral dalam berperilaku dan berkomunikasi. Tidak berhenti di situ, dampak kekerasan simbolik verbal pada korbannya juga berakibat pertama, merusak kepercayaan diri, merendahkan atau menyebut orang lain dengan nada negatif mampu menggerogoti harga diri seseorang. Apalagi jika dilakukan berulang. Bayangkan seseorang memanggil orang lain bodoh, gendut, jerawatan, anjing dan lain-lain. Lama-kelamaan pemberian label citra diri pada seseorang ini merusak kepercayaan diri.


Kedua, krisis identitas, saat seseorang disebut bodoh secara eksplisit pelakunya juga mengendalikan cara orang lain melihat sang korban. Hal itu nampak saat seseorang menyebut orang lain bodoh di depan umum, ruang publik, atau media sosial. Panggilan bodoh itu memicu orang lain ikut memanggilnya bodoh. Sehingga, banyak orang mengamini sebutan bodoh itu, korban perlahan introspeksi diri (apa iya aku bodoh?).


Ketiga, minder dan menarik diri dari sekitar, rasa malu yang berlebih mampu merubah perilaku seseorang. Salah satu dampak langsungnya, seseorang bisa saja menangis seketika ketika diejek. Akhirnya, minder dan menarik diri dari lingkungan sekitar karena merasa tidak puas pada lingkungannya.


Melihat itu semua, lalu bagaimana kita sesama manusia merespons? Salah satunya semua kita dapat memulai mendidik anak di lingkungan keluarga dengan membiasakan menggunakan bahasa yang baik dan benar pada anak juga menanamkan prinsip bahwa merendahkan manusia sama saja merendahkan sang pencipta alam semesta. Ini sebagai bekal anak maupun remaja mengarungi lingkungan sekolah, masyarakat terlebih lagi lingkungan virtual medsos (tiktok, instagram, facebook, dan teman-temannya) dengan berperilaku yang baik dan benar selayaknya manusia istimewa bukan binatang dan makhluk halus.


Sementara itu merujuk pada redaksi hadits
 

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَــــيْرًا أَوْ لِيَـصـــمُــتْ


“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR Bukhari]


Nilai penting dari pesan hadits ini lisan merupakan bagian vital yang jika disalahgunakan efeknya bisa lebih mengerikan daripada pedang. Karenanya, Nabi mewanti-wanti soal urgensi menjaga lisan dan menyodorkan dua pilihan saja: berkatalah yang baik atau diam saja. Sebagai pelajar maka mulailah bersama sadari dan ubah dari penggunaan bahasa yang mengandung kekerasan simbolik verbal ke bahasa yang baik dan benar. Mari bersama biasakan kebiasaan baik guna mengcounter kebiasaan buruk! Wallahu a'lam bis shawab



Singgih Aji Purnomo, Dosen STAI Muslim Asia Afrika Tangerang, Pengurus Bidang Kajian dan Riset Lakpesdam NU Jakarta Selatan


Opini Terbaru