• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 25 April 2024

Opini

Mengintip Perkembangan NU di Jatim

Mengintip Perkembangan NU di Jatim
Gedung PWNU Jawa Timur (Foto: Istimewa)
Gedung PWNU Jawa Timur (Foto: Istimewa)

Dilihat dari aspek historis, minimal ada dua hal penting dalam proses kelahiran dan perkembangan Nahdlatul Ulama ( NU) yang terkait relasi Jatim dan Jateng. Pertama, meski NU lahir di Surabaya (Jatim), tidak sedikit ulama asal Jateng dan ulama Jateng yang terlibat proses tersebut sekaligus sebagai aktor. Mereka antara lain KHR Asnawi, lahir di kampung Damaran, Kudus, tahun 1281 H. Beliau putra H Abdullah Husnin yang memiliki nasab pada KH Mutamakin, Kajen Pati. Beliau salah seorang pendiri NU dan menjadi anggota mustasyar kepengurusan yang pertama bersama KH Ridwan, Semarang. Juga KH Bisri Syansuri lahir di Tayu, Pati, 18 September 1886 M dan KH Maksum. Kedua, Jateng bisa dikatakan setara dengan Jatim dalam konteks pelaku sejarah. Juga sebagai daerah basis kedua dalam konteks basis massa nahdliyin. 


Dalam sejarah (panjang) berikutnya, pada masalah kepemimpinan hanya beberapa ulama yang berhasil tampil sebagai top leader struktural, baik Syuriyah maupun Tanfidziyah. Dari 11 top leader Tanfidziyah mulai KH Hasan Gipo (1926 - 1929) sampai KH Yahya Cholil Staquf (2022 - 2027), baru pada masa khidmah sekarang top leader PBNU dijabat ulama dari Jateng. Sementara dalam rentang waktu pergantian Rois Aam, ulama Jateng berhasil sebagai orang nomor wahid yaitu KH Sahal Mahfufz dan KH Mustofa Bisri. Lainnya dipegang oleh ulama asal Jatim, Jabar, DIY, dan DKI.
 

Provinsi Kembar


Jatim dan Jateng secara apple to apple memiliki potensi dan perkembangan yang relatif sama. Minimal dilihat dari aspek sumberdaya manusia (SDM), geografis, dan demografis serta basis massa ( warga). Secara kualitatif dan kuantitatif, Jatim dan Jateng bisa dikatagorikan sebagai lumbung ulama dan santri. Jumlah pesantren dan lembaga pendidikan formal yang dimiliki sekaligus diselenggarakan oleh NU tersebar di seluruh daerah masing masing. Keduanya memiliki ponpes yang memiliki kualifikasi plus yang menjadi rujukan primer. Tentunya, tanpa menafikan keunggulan atau spesifikasi masing masing. 


Dari berbagai lembaga pendidikan formal dan nonformal tersebut, terlahir para kandidat pemimpin dan pemimpin di semua level kepengurusan. Di antara para kandidat pemimpin tersebut banyak yang menambah ilmunya belajar di luar negeri, termasuk ilmu nonagama, sehingga memiliki dua kualifikasi ilmu 'ekstrim', yaitu ilmu yang berbasis kitab kuning dan ilmu pengetahuan yang berbasis sekuler. Memang, pada masa perintisan dan pertumbuhan, banyak top leader NU yang belajar di Saudi Arabia, Mesir, Irak, dan Yaman, tetapi era sekarang ini banyak alumni pesantren dan non pesantren  yang studi di Amerika, Eropa, Afrika dan Asia dengan disiplin ilmu yang beragam.


Jateng memiliki luas daerah yang hampir sama dg Jatim. Karena itu memiliki pengurus cabang yang hampir sama jumlahnya, jika berbeda terpautnya tidak signifikan. Demikian pula daerah katagori surplus hampir sama banyaknya. Untuk jateng, yang bisa dimasukan katagori 'kering' hanya Solo Raya. Itupun sekarang beberapa cabang diantaranya mengalami kemajuan. Terkait dengan jumlah PCNU, maka Jatim dan Jateng memiliki basis massa yang melimpah. Diperkirakan populasi warga NU di dua propinsi ini 50 persen dari total populasi warga NU. 


Dilihat dari berbagai aspek, melimpahnya warga tersebut bisa berkorelasi positif terhadap eksistensi dan kemajuan serta kemandirian jamiyah. Dari perspektif bisnis, ada market yang sangat potensial, sekaligus bisa mengakibatkan efek domino yang super dahsyat. Demikian pula di bidang kesehatan, pendidikan, pertanian dan dakwah. Dengan kata lain, bermodal seperti itu, NU Jatim dan Jateng bisa melakukan sesuatu yang strategis dan spektakuler. Apa yang saya ungkapan tersebut bukan isapan jempol, apalagi utopia. 


Dalam rangka menyongsong 100 tahun, PWNU Jatim merancang lima gerakan strategis. Yaitu, mendirikan 100 rumah sakit/fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh Jatim, sebagaimana diungkapkan Wakil Ketua PWNU Jatim H Ma'ruf Syah. Pendataan anggota dan aset, ekonomi, pendidikan dan literasi. Mendirikan 100 baitul maal wa tamwil ( BMT) Syariah dan 100 studio digital. Sekarang ini, setidaknya sudah terbangun 33 rumah sakit dan 60 poliklinik. 


PWNU Jatim, sekarang ini juga membangun gedung Grha 2 Rumah Sakit Islam Surabaya, di bawah naungan yayasan Yarsis. Menurut Ketua yayasan Yarsis, Prof HM Nuh, gedung tersebut terdiri 13 lantai, yang diintegrasikan dengan Unusu graduated school program dokter spesialis. Pembangunan spektakuler lainnya adalah gedung baru PWNU Jatim, yang disebut Tower 17 atau Menara 17. 


Menurut Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar, gedung 17 lantai tersebut dibuat dengan desain yang diadopsi dari tiga pilar NU: Nahdlatul Wathon, Tashwirul Afkar, dan Nahdlatut Tujjar. Sedangkan bentuk belakang dilengkapi tiga menara. Saya belum lama melihat proyek tersebut. Pengerjaan fisik baru fondasi basemen dengan melibatkan alat berat. Lokasinya sangat strategis, di sebelah kanan kantor PWNU yang sudah ada, di kawasan masjid Akbar yang megah. Melengkapi berbagai pembangunan fisik yang strategis tersebut, juga dibangun NU Center di Gresik, yang dilengkapi bangunan masjid raya, Islamic Tower dan lainnya. Semua pembangunan tersebut dimaksudkan sebagai living monument. 


Jika Jatim dan Jateng menjadi provinsi atau PWNU kembar, maka PWNU Jateng tentunya juga bisa seperti PWNU Jatim. Dan jika itu terjadi, maka dimungkinkan akan menjadi semacam role model pembangunan NU dalam tataran nasional. 


Momentum Bagus


Sekarang adalah momentum bagus bagi Jateng untuk 'berfastabiqul khairat' dengan Jatim, tentunya dalam koridor khidmah jamiyah yang berorientasi maslahah al-ammah. Ketua Umum PBNU masa khidmah sekarang ini adalah putra Jateng dan anak kandung tokoh NU Jateng. Bahkan kalau kita cermati komposisi pengurus PBNU, lembaga, dan sebagainya, kader atau tokoh Jateng tampak dominan. Secara teori, ada korelasi yang positif antara para tokoh/pengurus tersebut dengan  PWNU Jateng. Juga ada kontribusi riil dari mereka, karena mereka memiliki ikatan emosional sekaligus kebanggaan dengan Jateng. Tentu diperlukan formula yang efektif dan komunikatif dalam membangun komunikasi sekaligus menarik atensi dan kontribusi riil mereka. Diperlukan kemauan kuat dan political will yang komprehenship. Tidak ketinggalan diperlukan leadership yang terbuka juga. 


Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf bertekat akan mendistribukan program jamiyah kepada daerah. PBNU memiliki kerja sama strategis dengan pemerintah dan swasta dengan jumlah yang sangat banyak. Tentunya Jateng bisa mengambil inisiatif dini sekaligus meminta prioritas dengan pertimbangan obyektif dan subyektif. Semua yakin, semua keinginan akan terwujud jika disertai ihtiar dan optimisme. Tapi semua juga sadar, bahwa masing-masing memiliki kemampuan dan ihtiar yang berbeda. Wallahu a'lam bis shawab


H Mufid Rahmat, mantan Ketua PW GP Ansor Jawa tengah, warga NU tinggal di Boyolali
 


Opini Terbaru