Opini

Refleksi Harlah NU ke 102

Sabtu, 18 Januari 2025 | 08:00 WIB

Oleh: Munib Abd Muchith

Tentunya sebagai warga Nahdlatul Ulama yang kewargaannya bukan naturalisasi merupakan kebahagiaan tersendiri bagi penulis dikenalkan tokoh Ulama sekedar lewat cerita para pejuang tegaknya ajaran Ahlussunnah wal Jamaah an nahdliyah dengan berbagai macam  kehebatan karomah yang di miliki atau pun kehebatan ilmu keulamaannya, kegamuman itu mengispirasi penulis. 


Untuk menuangkan uneg uneg sekedar stresing semata bukan gagasan yang muluk muluk yang terkesan dipaksakan atau emplentasinya kosong atau bahkan kadang kadang sekedar program yang disepakati dalam musyawarah komisi program kerja lalu di sepakati dan dituangkan lewat keputusan dalam diktat, hal ini yang membuat menjadikan organisasi stagnan layamutu wala yahya (ora mutu ngentekno biaya). 


Nahdlatul Ulama adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, bukan organisasi politik yang berentasi pada kekuasaan, tetapi lebih luas cakupan kinerja dan perhatiannya terhadap warga yang tergabung dalam bingkai besar Nahdliyin, urusan yang ditangani dan di perhatian poleh pengurus struktural sangat diharapkan oleh warganya sebagai bukti nidzom (mengkoordinasi, mengkonsolidasi) nya.


Warga nahdliyin yang lebih banyak di dominasi  kaum yang berada di pedesaan yang umumnya petani penggarap sawah dan para peternak kecil sangat membutuhkan perhatian serius, untuk peningkatan kesejahteraan, sebagai bukti keberpihakan elit Nahdlatul Ulama terhadap warganya dengan bentuk advokasi, pendampingan terhadap para petani, maka keberadaan LPPNU harus menjadi prioritas utama para elit, ini yang disebut dengan program kerja dari bawah untuk di laksanakan dan diperhatikan. 


Warga Nahdlatul Ulama yang berada dipesisir yang kemudian kita sebut dengan nelayan pencari ikan di laut, sangat membutuhkan perhatian husus sebab sampai saat ini Nahdlatul Ulama (pengurus) menganggap sebelah mata pembelaan terhadap para nelayan. Laut yang terbentang luas dan Indonesia sebagai negara kepulauan berapa juta warga Nahdliyin yang menggantungkan kehidupannya pada lautan. 


Transformasi global dengan beralihnya teknologi dan Industrialisasi warga Nahdlatul Ulama yang tidak sedikit bertransformasi dari masyarakat agraris yang kehidupan nya bercocok tanam, mengikuti pola kehidupan pabrikan, berapa ribu Nahdliyin yang menggantungkan hidupnya menjadi karyawan, yang separo hidupnya dihabiskan waktunya di pabrik, elit Nahdlutul Ulama tidak tinggal diam maka perlu adanya Wadah sebagai keluk kesah buruh pabrik, agar warga Nahdliyin tidak sekedar di eksploitasi tenaganya diforsir untuk memperkaya investor, yang ekplorasi sumberdaya alam Indonesia. 
 

Pentingnya bottom-up program kerja Nahdlatul Ulama, bukan sekedar memutuskan hukum halal -haram tetapi menjadi warga Nahdlatul Ulama sebuah solusi hidup dunia akherat.
 

Kemandirian organisasi
 

Kemandirian sudah harus di gaungkan bahkan menjadi prioritas pembicaraan yang harus selalu didiskusikan agar elit Nahdlatul Ulama tidak sekedar menjadi sub-koordinat terhadap kebijakan pemerintah yang berorientasi pada anggaran budgeting semata, yang mendorong pada kekuatan warga menjadi kepiawaian membuat proposal. 


Para elit yang mengabaikan kemandirian sangat terkesan menjadi EO event organizer pada program pemerintah, lebih kasar disebut sekedar menjadi agent. Kebijakan yang menjadi prioritas para elit dengan gaya agent justru tidak menunjukan kewibawaan atau martabat Nahdlatul Ulama, dan akan di lirik dengan kacamata mata yang sangat rendah karena gerak nya hanya mengandalkan santunan dan suntik vitamin.


Kelemahan yang sangat menyakitkan ketika pelaporan tidak sesuai dengan peraturan dan tidak bisa dipertanggung jawabkan akuntabelitasnya akan menjadi sandra pada Nahdlatul Ulama dengan sebutan koroptor. Namun demikian kemandirian bukan berarti anti apati tetapi menggali potensi warga, mendorong terhadap warga merasa anderbeni terhadap Nahdlatul Ulama ini yang pantas disebut bermartabat.


Nahdlatul Ulama yang berdiri sejak 102 tahun yang lalu sudah selayaknya mampu mengurus dirinya sendiri sebagai kekuatan civil society, yang menjadi pilar tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan sekedar menghitung warga yang banyak tetapi tidak mampu mendedikasikan dirinya memajukan negara. 


Para elit yang hanya sekedar bangga dengan kuantitas pengikut tetapi tidak berpikir bagaimana mengkoordinasi dengan tulus dan sungguh sungguh maka akan mendorong nafsu politik, dan mengekploitasi warga nya dan akan terjebak rutinitas 5 tahunan yaitu sekedar dijadikan tunggangan politik elektoral belaka, maka layak disebut Makelar politik semata. 


Somoga Harlah 102 ini NU selalu jaya. 


Penulis: Munib Abd Muchith (Wakil Katib Syuriyah PWNU Jateng)