Islam dan Ujaran Kebencian: Refleksi dari Kasus Akun Fufufafa
Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:00 WIB
Muhammad Raif Al Abrar
Kontributor
Akhir-akhir ini, fenomena viral akun “Fufufafa” di media sosial menjadi pusat perhatian masyarakat. Akun tersebut sering membagikan kritik tajam, bahkan ujaran kebencian yang ditujukan kepada tokoh politik seperti Prabowo Subianto. Fenomena ini mengundang diskusi mengenai sikap yang seharusnya diambil oleh seorang Muslim ketika menyampaikan pendapat, terutama di lingkungan digital yang menawarkan kebebasan berekspresi.
Dalam ajaran Islam, kata-kata atau lisan memiliki peran yang sangat penting. Islam sangat menekankan etika berbicara, baik secara langsung maupun di ruang digital seperti media sosial, karena lisan bisa menjadi sarana untuk menyebarkan kebaikan atau justru keburukan.
Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:
وَقُلْ لِّعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا ٥٣
"Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (QS. Al-Isra: 53)
Ayat ini menegaskan bahwa perkataan yang diucapkan oleh seorang Muslim harus membawa manfaat dan tidak memicu konflik atau perselisihan. Di media sosial, ujaran kebencian yang sering disebarkan melalui akun anonim seperti "Fufufafa" menunjukkan bagaimana kata-kata dapat merusak hubungan sosial, menumbuhkan kebencian, dan memicu perpecahan di tengah masyarakat.
Menurut Ibnu Katsir, Allah swt memerintahkan umat-Nya untuk menggunakan perkataan yang baik dalam berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Jika tidak, setan akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menimbulkan perselisihan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pertengkaran dan permusuhan. (Ismail bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidâ, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir (Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992), Jilid. 3, h. 59).
Imam Qurthubi juga menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengajarkan umatnya agar senantiasa menggunakan kata-kata yang baik ketika berbicara atau memberikan nasihat kepada orang lain. (Muhammad bin Yazid bin Jarir bin Khalid at-Thabari Abu Ja’far, Tafsir al Qurthubi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), juz. 15, h. 180).
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa berbicara dengan baik adalah perintah Allah SWT, yang sekaligus mencerminkan tingkat keimanan seseorang. Semakin kuat keimanan seseorang, semakin ia berusaha untuk selalu berkata dan berbuat baik, termasuk dalam cara berkomunikasi.
Ujaran Kebencian dalam Perspektif Islam
Secara hukum, ujaran kebencian mencakup segala bentuk perkataan, tindakan, tulisan, atau pertunjukan yang dilarang karena berpotensi memicu kekerasan atau menimbulkan prasangka buruk terhadap individu atau kelompok. Tindakan semacam ini bisa berdampak negatif, baik bagi pelaku maupun korban. Di dunia maya, fenomena ini sering disebut sebagai Hate Site, yaitu situs yang menyebarkan kebencian. (Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009, hlm. 38).
Menurut Al-Ghazali, ujaran kebencian adalah tindakan yang merusak reputasi atau merendahkan seseorang di hadapan publik, baik melalui ucapan maupun tulisan yang bertujuan menghina orang lain secara terbuka. (Abdul Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Ciputat: Lentera Hati, 2003, hlm. 379).
Ujaran kebencian atau hate speech sering kali melibatkan penggunaan kata-kata yang menghina, merendahkan, atau menyebarkan fitnah terhadap individu atau kelompok tertentu. Dalam kasus akun "Fufufafa", beberapa unggahannya berisi hinaan serta kritik yang disampaikan tanpa etika terhadap tokoh tertentu. Islam sangat melarang segala bentuk penghinaan, fitnah, maupun tindakan adu domba, karena dapat merusak hubungan antar sesama dan memicu konflik di masyarakat. Prinsip ini menegaskan pentingnya menjaga adab dalam berbicara dan berinteraksi, baik secara langsung maupun di dunia digital.
Al-Qur'an menegaskan larangan berbicara buruk tentang orang lain dalam QS. Al-Hujurat: 12:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ١٢
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini dengan jelas mengajarkan bahwa menggunjing atau membicarakan keburukan orang lain sama dengan memakan daging saudaranya sendiri. Ujaran kebencian sering kali muncul dari rasa benci yang diikuti oleh prasangka buruk, dan Islam menganjurkan untuk menjauhi hal-hal ini demi menjaga keharmonisan sosial.
Fitnah dan Ghibah di Media Sosial
Fitnah dan ghibah adalah dua hal yang sangat dilarang dalam Islam. Di era digital, fitnah sering muncul dalam bentuk penyebaran informasi yang belum pasti kebenarannya atau dengan maksud merusak reputasi seseorang. Sementara itu, ghibah, yakni membicarakan keburukan orang lain, juga marak terjadi di media sosial, terutama melalui platform anonim seperti yang digunakan oleh akun "Fufufafa." Islam mengajarkan untuk menghindari perilaku semacam ini karena dapat menimbulkan kerusakan dalam hubungan sosial dan moral masyarakat.
Rasulullah saw pernah ditanya mengenai apa itu ghibah, beliau menjawab:
"Engkau menyebutkan sesuatu tentang saudaramu yang tidak ia sukai." Seseorang bertanya, "Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar adanya?" Beliau menjawab, "Jika apa yang engkau katakan itu benar, maka engkau telah melakukan ghibah, dan jika tidak benar, maka engkau telah melakukan fitnah" (HR. Muslim).
Dalam media sosial, kebenaran suatu informasi sering kali diabaikan, dan banyak orang dengan mudah menyebarkan sesuatu tanpa memverifikasi kebenarannya. Ini bisa merusak reputasi orang lain dan menciptakan fitnah yang dampaknya sangat merugikan, baik bagi korban maupun bagi pelaku.
Refleksi dari Kasus Akun Fufufafa
Kasus akun “Fufufafa” memberikan banyak pelajaran berharga bagi kita, terutama sebagai umat Muslim, tentang bagaimana seharusnya kita berperilaku di dunia digital. Akun ini dikenal karena sering melontarkan kritik yang tajam dan bahkan tidak beradab kepada tokoh-tokoh politik. Meskipun kebebasan berpendapat di media sosial sangat luas, Islam memberikan panduan yang jelas tentang batasan dalam berbicara dan bertindak.
Pertama, dalam Islam, kritik itu diperbolehkan, tetapi harus dilakukan dengan adab dan niat yang baik. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa amar ma'ruf nahi munkar, atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, adalah salah satu tugas seorang Muslim. Namun, cara menyampaikan kritik haruslah tetap menjaga martabat dan kehormatan orang lain. Kritik yang disampaikan dengan ujaran kebencian, penghinaan, atau adu domba tidak hanya merusak reputasi orang yang dikritik, tetapi juga membawa dampak buruk bagi masyarakat secara keseluruhan.
Kedua, Islam menekankan pentingnya menjaga kehormatan orang lain. Menghina atau merendahkan orang lain, apalagi di depan publik atau di media sosial yang memiliki jangkauan luas, adalah tindakan yang sangat tercela. Akun Fufufafa memberikan contoh bagaimana kritik yang tidak etis justru dapat memicu perpecahan dan memperburuk suasana sosial.
Tanggung Jawab Muslim di Media Sosial
Dunia digital menawarkan kebebasan yang sangat besar untuk berbicara, tetapi kebebasan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab. Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, termasuk apa yang kita katakan atau tulis di media sosial. Dalam QS. Qaf: 18, Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ ١٨
"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaf: 18)
Setiap perkataan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, akan dicatat dan diperhitungkan. Oleh karena itu, seorang Muslim harus selalu berhati-hati dalam berbicara, memastikan bahwa apa yang disampaikannya tidak melanggar hukum syariat dan tidak menyakiti orang lain.
Kasus akun “Fufufafa” yang viral memberikan kita pelajaran penting tentang bagaimana kita seharusnya bersikap di media sosial. Ujaran kebencian, fitnah, dan ghibah merupakan tindakan yang sangat dilarang dalam Islam, dan umat Muslim harus menjaga lisannya agar selalu berkata yang baik atau memilih untuk diam.
Islam memberikan panduan yang sangat jelas dalam berbicara dan berperilaku, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kritik harus disampaikan dengan cara yang baik dan penuh adab, bukan dengan penghinaan atau ujaran kebencian. Sebagai umat Muslim, kita memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keharmonisan sosial, baik dalam ucapan maupun dalam tindakan. Media sosial, meskipun menawarkan kebebasan berbicara yang luas, harus tetap diimbangi dengan akhlak Islami dan tanggung jawab moral.
Terpopuler
1
Promosi Doktor H M Faojin: Strategi Implementasi Kebijakan PAI di Sekolah Non-Muslim untuk Moderasi Pendidikan Agama di Indonesia
2
Menghidupkan Warisan Ulama Nusantara, Ma’had Aly Amtsilati Gelar Seminar Manuskrip dan Pelatihan Tahqiq Bersama Nahdhatut Turats
3
PAC GP Ansor Margasari Adakan Rapat Kerja Perdana Masa Khidmat 2024-2027
4
Khasiat Doa Akhir Bulan Rajab dan Puasa Menurut KH Achmad Chalwani
5
Program Makan Bergizi Gratis Mulai Berjalan di Pati Meskipun Sempat Terlambat
6
Peringatan Harlah Ke-102 NU, PCNU Banjarnegara Tekankan Kebersamaan demi Harmoni Masyarakat
Terkini
Lihat Semua