• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 16 Mei 2024

Opini

Budaya 'Bodo Ketuwin' yang Masih Dilestarikan Masyarakat Kaliwungu Kendal

Budaya 'Bodo Ketuwin' yang Masih Dilestarikan Masyarakat Kaliwungu Kendal
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Ketuwin menjadi hari istimewa bagi masyarakat Kaliwungu, Kabupaten Kendal. Ketuwin merupakan tradisi lokal yang berlangsung setahun sekali yang jatuh pada bulan Maulud atau Rabiul Awwal. Ketuwen atau ketuwinan dirayakan dalam rangka menyambut hari kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Robiul Awal. Dalam memeriahkan ketuwinan, masyarakat Kaliwungu mempunyai tradisi berzanji, weh–wehan dan memasang teng–tengan (lampion) di depan rumah.

 

Untuk berzanji di mulai sejak Rabo pungkasan, yakni Rabo terakhir di bulan Safar. Adapun weh–wehan dilaksanakan seminggu sekali setiap Kamis sore dan puncaknya yakni pada malam kedua belas Rabiul Awwal. Weh–wehan adalah tukar menukar jajan dengan tetangga kanan kiri. Pelaksanaan weh–wehan ada yang dilakukan sore hari tanggal 11 Rabiul Awwal, namun ada pula yang dilakukan setelah shalat Magrib. Bahkan ada juga weh-wehan yang dilaksanakan tepat tanggal 12 Rabiul Awwal di siang hari (ba’da shalat dhuhur).

 

Suasana ketuwin semakin semarak dengan adanya pemasangan teng–tengan di depan rumah. Pemasangan teng–tengan di depan rumah dimulai pada tanggal 1 Rabiul Awwal atau 1 Maulud hingga akhir bulan. Teng–tengan sebelum tahun 2000an banyak terbuat dari kertas warna–warni dengan bentuk yang bervariasi dengan bakan bakar minyak tanah, seperti teng–tengan kapal, teng-tengan kodok, teng–tengan roket, teng–tengan bintang dan lain sebagainya. Namun, setelah tahun 2000an, teng–tengan telah bergeser dan digantikan oleh lampu kelap – kelip.

 

Melihat hegemoni masyarakat yang begitu antusias untuk melestarikan tradisi ketuwinan Ikatan Remaja Masjid AlMuttaqien (Irmaka) Kaliwungu mengemasnya dalam kegiatan tahunan yakni Festival Al-Mutaqien. Dengan demkian tradisi ketuwin dapat menjadi wahana penyaluran bakat bagi remaja Kaliwungu di bidang seni dan budaya. Lokasi kegiatan Festival Al-Muttaqin yakni di parkir timur masjid atau sebelah baratnya Alon–alon Kaliwungu (baca: Pasar Sore). 

 

Kegiatan di festival Al-Muttaqin semakin semarak dengan banyaknya remaja kampung di kegiatan itu. Bahkan tidak sedikit ikatan remaja dari luar Kaliwungu yang berpartsipasi di kegiatan tersebut. Lomba–lomba di pekan Festival Al-Mutaqien meliputi lomba adzan, menulis kaligrafi, menulis puisi, menulis biografi, rebana, menghias jajan khas Kaliwungu, hingga berzanzi massal. Sebagai pertanda dimulainya pekan Al-Muttaqien terlebih dahulu ada karnaval budaya oleh remaja–remaja kampung yang ada di sekitar Masjid Al-Muttaqien. 

 

Semarak peringatan maulud nabi di Kaliwungu sungguh luar biasa. Sehingga masyarakat Kaliwungu menyebut hari itu sebagai bodo ketuwin. Antusiasme masyarakat untuk nguri–nguri bodo ketuwen bisa dilihat dari aktivitas masyarakat pada hari itu. Potret seperti akan tergambar dalam penggalan cerita keluarga  Sudarsih. 

 

Sudarsih atau biasa disapa Yu Darsih adalah sosok ibu rumah tangga yang kesehariannya sebagai guru Madrasah Ibtidiyah (MI). Hidupnya yang sederhana dan aktif diberbagai kegiatan sosial di masyarakat seperti PKK, dasa wisma atau kelompok–kelompok pengajian. Yu Darsih sebagai orang desa dia juga mempunyai ladang yang berukuran 15 X 20 di belakang rumahnya. Oleh suaminya yakni kang Junaedi, ladang tersebut ditanami singkong, cabe, terong dan beberapa pohon keras lainnya.  Harapannya dari ladang itu bisa digunakan sebagai pertolongan pertama manakala mengalami krisis keuangan.

 

Suatu hari, tepatnya tanggal 10 Rabiul Awwal, Yu Darsih sempat menyampaikan harapan kepada sang suami jika pada ketuwin dirinya akan membuat jajan yang istimewa. Jajan itu belum pernah dia buat sebelumnya. Makanya sebelum hari pelaksanaan weh–wehan yu Darsih menyempatkan dulu buka–buka internet untuk membroshing makanan yang berbahan dasar singkong. Setelah berhasil mendapatkan dan cocok lalu diunduhnya. 

 

Kegembiraan Yu Darsih dalam menyambut ketuwinan ditunjukan dengan pagi-pagi, pergi ke pasar Pagi Kaliwungu. Ia bermaksud belanja barang kebutuhan weh-wehan sore  nanti. Karena pada hari itu Yu Darsih ingin membuat jajan yang berbahan baku singkong. Makanya barang beli seperti tepung, kelapa, gula pasir, daun pisang dan pendukung lainnya. Sedang untuk singkongnya oleh Kang Junaedi diambilkan dari kebon belakang rumah. 

 

Tradisi weh-wehan menyemarakkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kaliwungu, Kendal (Foto: Istimewa)

 

Yu Darsih termasuk orang yang terampil membuat jajan dari singkong. Dibuatnya sebegitunya menarik. Harapannya kue buatanya itu tidak kalah dengan kue buatan toko atau pabrik kue manapun. Oleh karena itu, bahan yang dipilih oleh Yu Darsih harus kualitas nomor satu seperti gula, santan, vanilla,  dan susu. 

 

Bagi Yu Darsih dan keluaragnya ketuwin merupakan sesuatu yang ditunggu. Karena pada hari itu sanak famili dari keluarga bapaknya yang tinggal di Pekalongan menyempatkan datang ke Kaliwungu untuk sekadar turut bahagia merasakan suasana weh–wehan dan menikmati berbagai makanan khas Kaliwungu, seperti sumpel, ketan abang ijo, growol, dan bubur mote.

 

Putri satu–satunya Yu Darsih yang bernama Martini, yang sekarang masih duduk  kelas lima MI itu sudah didandani sedemikian rupa. Dipilihnya rok terbaru warna merah pembelian di pasar sore karena Martinilah yang nanti bertugas mengantar kue weh–wehan ibunya ke rumah seluruh tetatangga kanan-kiri. Martini begitu senang menerima tugas tersebut karena tahu setiap berkunjung ke tetangga sambil mengantar kue weh–wehan itu Martini akan mendapat hadiah berupa uang Rp2.000. 

 

Sementara itu Yu Darsih siaga di rumah. Dia menjaga apabila ada tetangga kanan-kiri mengantar kue weh–wehan seperti yang dilakukan Martini. Dia juga menyediakan kue untuk balasan bagi tetangga yang datang membawa kue serta tidak lupa menyediakan uang pecahan dua ribunan. Apabila uang sudah terkumpul biasanya orang tua berpesaan supaya uang tersebut digunakan untuk saku sekolah atau membeli keperluan sekolah.

 

Adzan Ashar pun berkumandang. Jamaah shalat ashar telah selesai dan turun dari mushala. Waktu tersebut digunakan sebagai pertanda jika weh-wehan sudah siap mulai. Kampung pun menjadi semarak, tampak anak–anak hilir mudik membawa jajan dari satu rumah ke rumah. Ada yang diantar ibunya, ada pula yang tidak diantar. Sedang ibu-ibu mulai sibuk melayani anak–anak yang datang, dalam waktu singkat meja tempat menaruh jajan weh-wehan itu sudah penuh barang makanan. Tidak saja kue buatan sendiri, kue-kue pemberian para tetangga jumlahnya banyak dan memenuhi tempat yang ada. Sehingga ketika tetangga yang datang belakangan sambil membawa kue maka balasannya seadanya yang ada di meja.  Maka  yang terjadi kue yang berasal dari Yu Darsih itu berputar ke tetangga dan kembali ke Yu Darsih lagi. Melihat kenyataan seperti itu Yu Darsih senyum-senyum sendiri.

 

Sementara itu Kang Junaedi sibuk memasang lampu warna-warni di teras rumah yang memanjang dari utara ke selatan. Yang dilakukan Kang Junaedi juga dilakukan warga Kaliwungu lainnya. Hanya saja ornamen lampu yang dipasang antara jaman sekarang dengan dahulu berbeda. Jika tahun 80an yang dipasang adalah teng–tengan yang berbahan dari kertas yang modelnya bisa bermacam – macam seperti teng–tengan kapal, teng–tengan kodok, teng-tengan bintang, teng–tengan pesawat atau yang lainnya. Namun sejak tahun 2000an sudah berganti dengan lampu byar pet. 

 

Ketika Kang Junaedi tengah asyik menikmati indahnya lampu byar pet tiba-tiba Martini putri kesayangan bertanya tentang makna pemasangan lampu tersebut.  "Pak, mengapa setiap kali perayaan ketuwinan orang Kaliwungu memasang lampu byar pet dan ibu membuat jajan weh- wehan?," tanya Martini.

 

Mendengar petanyaan anaknya itu,  Kang Junaedi tersenyum dan berusaha menjelaskan, dengan seksama dengan harapan agar si anak tersebut mengerti akan maksud dari pemasangan lampu byak pet dan weh–wehan. Namun demikian, sebenarnya kang Junaedi juga masih ragu apakah putrinya bisa memahami pejelasannya. 
“ Nok Martini kata Kang Junaedi. 
“ Teng–tengan atau lampu byar pet itu hanya sekedar simbol penerang kehidupan. Ini selaras dengan tugas Nabi Muhammad SAW yakni sebagai penerang kehidupan umat manusia seluruh dunia. Perlu dipahami sebelum Nabi Muhammad dilahirkan, bangsa arab masih diselimuti kegelapan ahklak, moral, dan budaya. Jaman itu oleh para ahli sejarah dikatakan sebagai jaman Jahiliyah. Mendengar penjelasan tersebut Martini hanya mantuk–mantuk sambil berusaha memahaminya. 

 

“ Lalu mengapa ada weh–wehan dan itu hanya di Kaliwungu? “ tanya Martini lagi kepada ayahnya.

 

“Untuk weh–wehan maknanya saling berbagi. Harapannya ketika berbagi dengan orang lain, pilihlah jajan yang terbaik yang kita punya. Sehingga dalam weh – wehan kita tidak boleh pilih memilih jajan atau keluarga dikunjungi. Semua setara. Selain itu, weh–wehan juga mengajarkan kita membudayakan silaturahim dengan tetangga.”

 

“Ingatlah nok Martini, tetangga meskipun tidak ada ikatan darah dengan kita tetapi tetangga akan menjadi orang pertama manakala kita mendapat musibah. Makanya jangan pernah sekali-kali kita bermusuhan atau membeci tetangga kanan kiri kita! “ begitulah jawaban Kang Junaedi kepada Martini. 

 

Tak selang berapa lama Yu Darsih memanggil Martini dari dalam rumah.  Dia bermaksud mengingatkan kepada Martini untuk weh–wehan ke rumah bu Siyamah, yakni guru ngajinya yang tinggal di kampung sebelah.  
“ Martini! 
“ Martini! 
“ Katanya sinok mau weh–wehan ke tempatnya Bu Siyamah. Ini sudah ibu siapkan. Jangan lupa salam dari ibu! “pesan Yu Darsih kepada anaknya.
“ Iya bu!“
“ Ini saya sedang menunggu Tarmini, katanya dia ingin bareng–bareng ke tempat bu Siyamah! “ jawab Martini.

 

Tak lama kemudian datanglah Tarmini. Dia membawa bungkusan yang dikemas begitu rapi. Sejurus kemudian, Martini dan Tarmini pun weh–wehan ke rumah bu Siyamah. Melihat anaknya sudah bisa melaksanakan tugasnya dengan baik kang Junaedi melanjutkan tugasnya yang belum kelar yakni memasang lampu byar petnya itu.

 

 

Lek Basyid Tralala, Pengurus Harian Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal


Opini Terbaru