Keislaman

Niat Berkurban, Apakah Boleh Memotong Kuku dan Rambut?

Jumat, 30 Mei 2025 | 10:00 WIB

Niat Berkurban, Apakah Boleh Memotong Kuku dan Rambut?

Ilustrasi Kambing (Freepik)

Belakangan ini di beranda fyp medsos muncul perdebatan tentang boleh atau tidaknya memotong kuku dan rambut bagi orang yang berkurban. Tetapi persoalan ini sebenarnya juga sudah didiskusikan oleh ulama terdahulu.


Permasalahan ini muncul karena adanya perbedaan ulama dalam menafsiri sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia pernah mendengarkan Rasulullah Saw bersabda:


إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي
 

Artinya, “Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban,” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
 

Dari hadits tersebut, muncullah perbedaan cara pandang dan pemahaman dalam menerjemahkan kalimat dalam hadits. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang Rasulullah Saw melarang orang yang berkurban untuk memotong kuku dan rambutnya. 


Sedangkan pendapat yang kedua, yang dilarang itu bukan orang yang berkurban (al-mudhahhi'), melainkan yang dilarang itu hewan qurbannya (al-mudhahha).


Mengutip pendapat dari Ustadz Hengki Ferdiansyah dalam artikel yang berjudul Hukum Potong Kuku dan Rambut ketika Kurban yang dikutip oleh NU Online Jateng, Selasa (28/05/2025).


Pendapat pertama mengatakan bahwa hadis di atas bermaksud bahwa Nabi melarang orang yang ingin berkurban untuk tidak memotong kuku dan rambut mereka. Larangan ini berlaku dari awal sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, yang berarti bahwa orang boleh memotong kuku dan rambut mereka setelah mereka menyelesaikan kurban mereka.


Sementara kelompok pertama setuju bahwa hadits ini ditujukan untuk orang yang berkurban, mereka berbeda pendapat tentang maksud dan konsekuensi larangan Nabi tersebut. Apakah itu berkaitan dengan keyakinan?  Makruhkah?  Apakah itu hanya kebetulan?  Mengutip dari Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih, ia menyimpulkan.


“Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya."


Di atas adalah pendapat para ulama tentang kebolehan memotong kuku dan rambut saat berkurban. Ada ulama yang menganjurkan, mengizinkan, atau bahkan mengharamkannya. Mengutip pendapat Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu', hikmah dari kesunahan ini adalah bahwa seluruh tubuh akan diselamatkan dari api neraka di akhirat. Ini karena, seperti yang diketahui, ibadah kurban dapat menyelamatkan seseorang dari siksa api neraka.


Ustadz Hengki juga menambahkan, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa melarang potong rambut dan kuku ini disamakan dengan orang yang sedang melakukan ihram. Artinya, tidak dibenarkan untuk memotong rambut atau kuku selama sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah sebagaimana halnya orang yang ihram.  Sebagian ulama menentang pendapat ini karena analoginya salah. Imam An-Nawawi berkata,


“Ulama dari kalangan madzhab kami mengatakan hikmah di balik larangan tersebut adalah agar seluruh anggota tubuh tetap ada/sempurna dan terbebas dari api neraka. Adapula yang berpendapat, karena disamakan (tasyabbuh) dengan orang ihram. Menurut ashab kami, pendapat ini tidak tepat, karena menjelang kurban mereka tetap boleh bersetubuh, memakai wangian, pakaian, dan tindakan lain yang diharamkan bagi orang ihram."


Sedangkan Menurut pendapat kedua, yang dilarang adalah memotong bulu dan kuku hewan kurban. Ini karena kulit, kuku, dan bulu hewan kurban akan berfungsi sebagai saksi di akhirat.


Sejujurnya, pendapat ini tidak begitu familiar dalam kitab fikih, terutama yang fikih klasik.  Oleh karena itu, Mula Al-Qari menyebut pendapat ini sebagai gharib, yang berarti aneh, unik, atau asing. Dalam Mirqatul Mafatih, ia menyatakan


وأغرب ابن الملك حيث قال: أي: فلا يمس من شعر ما يضحي به وبشره أي ظفره وأراد به الظلف


Artinya, “Ada pendapat gharib dari Ibnul Malak. Menurutnya, hadits tersebut berarti tidak boleh mengambil (memotong) bulu dan kuku hewan yang dikurbankan.”


Mengutip pendapat Kiai Ali Mustafa Yaqub yang mendukung pendapat Mula Al-Qari yang sebelumnya dianggap asing.  Menurut Kiai Ali, dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, hadits ini harus dibandingkan dengan hadits lain.  Jika Anda hanya memahami satu hadits, pemahaman Anda tentang matan hadits tidak akan sempurna. Oleh karena itu, almarhum sering mengatakan bahwa hadits saling menafsirkan satu sama lain, "Al-hadits yufassiru ba’dhuhu ba’dhan."


Istilah "wihdatul mawdhu'iyah fil hadits" mengacu pada disiplin pemahaman hadits, yang dikenal sebagai fiqhul hadits atau turuqu fahmil hadits.  Teori ini digunakan untuk memeriksa "illat, atau maksud, satu hadits." Kadang-kadang, dalam satu hadits, tidak disebutkan "illat dan tujuan hukumnya," yang berarti bahwa ia harus dikomparasikan dengan hadits lain yang lebih lengkap, selama ia masih merupakan satu pembahasan.  Selain itu, ada beberapa hadits yang maknanya umum, tetapi yang lain lebih spesifik dan jelas.


Menurut Kiai Ali, memahami hadis Ummu Salamah di atas harus dibandingkan dengan riwayat dari Aisyah berikut:


ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا


Artinya, “Rasulullah SAW mengatakan, ‘Tidak ada amalan anak adam yang dicintai Allah pada hari Idhul Adha kecuali berkurban.  Karena ia  akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, bulu, dan kukunya. Saking cepatnya, pahala kurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berkurban (HR Ibnu Majah).


Begitu pula dengan hadits riwayat al-Tirmidzi:


لصاحبها بكل شعرة حسنة


Artinya, “Bagi orang yang berkurban, setiap helai rambut (bulu hewan kurban) adalah kebaikan,” (HR At-Tirmidzi).


Berdasarakan pendapat di atas, yang dilarang hanya untuk hewan kurban. Karena rambut dan kuku hewan kurban akan menjadi saksi di akhirat, bukan rambut dan kuku orang yang berkurban yang dilarang Nabi, kata Kiai Ali.  Almarhum Kiai Ali berkata:


فالعلة في تحريم قطع الشعر والأظافر ليكون ذلك شاهدا لصاحبها يوم القيامة وهذا الإشهاد إنما يناسب إذا كان المحرم من القطع شعر الأضحية وأظافرها، لا شعر المضحى


Artinya, “’Illat larangan memotong rambut dan kuku ialah karena ia akan menjadi saksi di hari kiamat nanti. Hal ini tepat bila dikaitkan dengan larangan memotong  bulu dan kuku hewan kurban, bukan rambut orang yang berkurban.”


Kedua pendapat di atas adalah upaya setiap ulama untuk memahami dalil.  Di sini penting untuk diingat bahwa konteks hadits di atas ditujukan untuk mereka yang berkurban saja, bukan untuk semua orang. Orang yang tidak berkurban tidak masalah memotong kuku atau memangkas rambut.


kedua pendapat di atas harus dipatuhi sekaligus, setidaknya selama menunggu proses kurban selesai, lebih baik tidak memotong rambut atau memangkas kuku jika tidak diperlukan. Namun, jika kukunya panjang dan kotor atau rambutnya panjang dan berkutu, silakan potongnya dan lanjutkan kurbannya. Sebab memotong rambut tidak menentukan sah atau tidaknya kurban.


Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan kedua, jangan sampai kita memotong bulu, tanduk, atau kuku hewan kurban, karena ia akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT di masa depan. Wallahu a’lam.