Opini

Belajar Evaluasi dari Nasi Goreng

Rabu, 30 April 2025 | 16:33 WIB

Belajar Evaluasi dari Nasi Goreng

Pedagang nasi goreng (Foto: ilustrasi pinterest)

NU Online Jateng -

Oleh: Athar Fuadi

 

Dalam dunia pendidikan dan pelatihan, terutama dalam proses kaderisasi di lingkungan Nahdlatul Ulama, evaluasi sering kali dipandang sebagai sesuatu yang formal dan mengintimidasi. Ketika dilaksanakan, tak jarang justru memunculkan saling tuding dan lempar kesalahan. Sebaliknya, jika diabaikan, kegiatan mudah kembali terjebak dalam rutinitas tanpa makna, hanya sekadar menggugurkan kewajiban seperti yang pernah terjadi sebelumnya. 

 

Padahal, evaluasi sejatinya bukanlah sosok menakutkan dalam dunia akademik. Ia hanyalah sebuah proses sederhana untuk menilai: apakah kegiatan berjalan sesuai rencana dan sejauh mana manfaatnya terasa.

 

Esai ini merangkum materi tentang metodologi evaluasi yang disampaikan dalam forum kaderisasi Latihan Instruktur dan Pelatih Tingkat 1 Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten Boyolali. 

 

Melalui pelatihan ini, peserta dipersiapkan untuk mengampu kegiatan kaderisasi formal IPNU-IPPNU di tingkat Masa Kesetiaan Anggota (MAKESTA) dan Latihan Kader Muda (LAKMUD). 

 

Saya mengajak para calon instruktur dan pelatih untuk berpikir lebih mendalam dan reflektif. Sebab, evaluasi bukan sekadar soal benar atau salah—melainkan tentang menemukan titik balik menuju perbaikan dan pertumbuhan.

 

Evaluasi bisa diibaratkan seperti mencicipi nasi goreng: apakah rasanya enak, terlalu pedas, kurang asin, atau mungkin terlalu mahal jika dijual? Setiap penilaian tentu didasarkan pada bayangan ideal masing-masing pencicip tentang nasi goreng yang sempurna.

 

Begitu pula dalam forum kaderisasi. Sebelum berbicara soal evaluasi, hal mendasar yang harus dipastikan adalah kejelasan tujuan kegiatan: apakah ingin menambah jumlah kader, atau justru memperkuat kualitas mereka? Apakah forum yang digelar berupa pembelajaran, seminar, pelatihan, workshop, atau diskusi? Sebab, arah dan bentuk kegiatan inilah yang menjadi tolok ukur utama dalam proses evaluasi.

 

Tahap screening sering kali tercampur dengan pelaporan administrasi peserta. Padahal, screening adalah saat krusial bagi instruktur untuk memetakan kebutuhan peserta dan menentukan model pelatihan yang sesuai. 

 

Dengan begitu, pelatihan berjalan lebih terstruktur, dan evaluasi pun bisa menjelaskan sebab-akibat keberhasilan atau kegagalan. Sama seperti saat ingin menyajikan nasi goreng, kita harus tahu kebutuhan orang yang akan menikmatinya. Kalau banyak yang punya maag, tentu jangan menyajikan nasi goreng pedas. Kalau mayoritas orang Padang, hindari nasi goreng Jawa yang manis.

 

Evaluasi bukan hanya dilakukan di akhir kegiatan. Seorang instruktur justru perlu memulai sejak awal, melalui proses monitoring dan review yang menyertai setiap tahapan pelatihan. Monitoring berarti memantau jalannya kegiatan secara rinci dari waktu ke waktu, sementara review berfungsi untuk menilai hasil sementara dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.

 

Ibarat memasak nasi goreng, kita perlu memperhatikan bahan-bahan, besar kecilnya api, hingga warna dan aroma masakan. Tanpa monitoring, bumbu bisa gosong sebelum sempat meresap. 

 

Demikian pula dalam pelatihan: sehebat apa pun narasumber yang dihadirkan, jika peserta kelelahan karena kurang istirahat atau sesi berlangsung terlalu padat, maka hasilnya tidak akan optimal. Karena itu, seorang instruktur harus senantiasa hadir, aktif mengamati, dan responsif terhadap dinamika forum.

 

Setelah nasi mulai matang dan dibumbui, tentu harus dicicipi terlebih dahulu, itulah review.

 

Dalam konteks pelatihan, instruktur perlu mengetahui sejauh mana pemahaman peserta sebelum mereka diberi amanat keilmuan. Review idealnya dilakukan secara berkala, misalnya di sela-sela sesi atau menjelang dimulainya hari pelatihan berikutnya. Dengan begitu, review tidak hanya menjadi alat ukur keberhasilan peserta, tetapi juga kontrol atas performa instruktur, panitia, dan konsistensi forum terhadap rencana awal.

 

Evaluasi Berbasis Data 

Salah satu peserta pernah bertanya, “Bagaimana cara memastikan kebenaran komentar orang yang mencicipi nasi goreng saya?” Pertanyaan itu menarik dan jawabannya akan sulit jika kita tidak memiliki data. Misalnya, jika ada pembeli yang datang kembali, bisa jadi nasi gorengnya memang enak. 

 

Tapi apakah itu cukup untuk disimpulkan? Belum tentu. Kita perlu tahu lebih jauh: berapa kali ia datang? Di mana rumahnya? Bisa saja ia kembali bukan karena rasa, tapi karena lokasi warung yang dekat dan praktis.

 

Seorang instruktur pun harus berpikir secara sistematis, algoritmik, dan berbasis data. Data bisa dikumpulkan sejak tahap screening hingga penutupan pelatihan. Bentuknya bisa kualitatif—seperti latar belakang peserta, kesan selama pelatihan, hasil observasi, atau wawancara—dan juga kuantitatif, seperti nilai pre-post-test atau kehadiran per sesi. Data inilah yang akan menjadi dasar evaluasi yang obyektif, sekaligus panduan untuk menyempurnakan pelatihan berikutnya.

 

Sebab, jangan-jangan, nasi goreng yang sepi peminat bukan karena kecapnya terlalu banyak, tetapi karena telat diangkat dari wajan: gosong!

 

Evaluasi bukan sekadar mencari siapa yang salah atau siapa yang paling benar. Ia adalah seni mencicipi perubahan, seni membaca arah perjalanan, dan seni memperbaiki jalur ketika langkah mulai melenceng. 

 

Seperti halnya memasak nasi goreng, bahan yang baik saja tidak cukup. Teknik memasak, besar kecilnya api, bahkan waktu saat mengangkat dari wajan, semuanya menentukan rasa akhir. Tanpa perhatian menyeluruh, hasil akhirnya bisa gosong, hambar, atau bahkan tak layak saji.

 

Dalam kegiatan kaderisasi, evaluasi seharusnya bukan hanya ritus penutup, melainkan bagian dari napas kegiatan itu sendiri. Ia dimulai sejak tahap perencanaan, terasa dalam pelaksanaan, dan dituai hasilnya di akhir forum. 

 

Dengan monitoring yang konsisten, review yang reflektif, serta evaluasi berbasis data yang obyektif, pelatihan akan memiliki arah yang lebih terang. Evaluasi bukan hanya soal hasil, tetapi juga pemahaman terhadap proses yang membentuk hasil itu.

 

Keberhasilan sebuah pelatihan tidak cukup diukur dari jumlah peserta atau banyaknya sertifikat yang dibagikan. Lebih penting dari itu adalah jejak yang ditinggalkan dalam benak peserta: adakah perubahan pola pikir? Tumbuhkah motivasi baru? Atau justru hanya menyisakan rasa lelah yang tak bermakna? Evaluasi yang dilakukan dengan data yang kuat dan refleksi yang jujur akan membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara obyektif dan pada akhirnya, membantu kita tumbuh dan memperbaiki diri bersama.

 

Selain menyoroti kekurangan, evaluasi yang efektif juga harus mampu menangkap kekuatan-kekuatan tersembunyi yang mungkin luput dari perhatian, baik oleh instruktur maupun peserta. Kekuatan ini bisa muncul dalam bentuk antusiasme peserta, efektivitas metode tertentu, atau bahkan hal-hal sederhana seperti kehangatan interaksi dan kekompakan dalam forum. 

 

Dengan menyadari dan mencatat aspek-aspek positif ini, instruktur dapat memperkuat fondasi yang sudah ada dan mengembangkannya di kegiatan selanjutnya.

 

Yang tak kalah penting, proses evaluasi menuntut sikap rendah hati dari seorang instruktur. Evaluasi yang jujur kadang menghadirkan kritik yang tajam dan tidak selalu nyaman didengar. 

 

Namun, alih-alih bersikap defensif, sikap terbaik adalah membuka diri dan menerima masukan sebagai bagian dari proses tumbuh. Sebab kaderisasi bukan semata soal mengajar, melainkan juga tentang terus belajar, berkembang, dan memperbaiki diri.

 

Sama seperti memasak nasi goreng yang rasanya semakin nikmat setelah berkali-kali mencoba dan menyempurnakan resep, pelatihan kaderisasi pun akan semakin matang jika dirawat dengan semangat refleksi dan perbaikan berkelanjutan. Dari situ, semangat perubahan bukan hanya dibicarakan, tapi sungguh-sungguh dirasakan.

 

Karena itu, seorang instruktur sejati bukan hanya dinilai dari kefasihannya berbicara di depan forum. Ia adalah sosok yang peka dalam mengamati, cermat dalam menakar, dan terampil dalam mengolah setiap dinamika yang muncul selama proses kaderisasi. Ia tahu kapan harus bicara, kapan cukup mendengar, dan kapan perlu mengubah arah agar forum tetap bermakna.

 

Dengan pendekatan seperti itu, setiap kegiatan kaderisasi tak lagi menjadi sekadar rutinitas formalitas. Ia menjelma menjadi ruang transformasi, tempat di mana semangat, pemahaman, dan komitmen peserta benar-benar tumbuh. Layaknya sepiring nasi goreng yang diracik dengan sepenuh hati, pelatihan yang dijalankan dengan ketulusan dan ketajaman rasa akan meninggalkan kesan mendalam: bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menginspirasi, membuat orang ingin kembali, dan dengan bangga merekomendasikannya kepada orang lain.