Suatu pagi, langkah kaki perlahan terdengar di halaman Gedung PCNU Wonosobo. Dari balik kabut pegunungan, tampak sosok berpakaian serba hijau berjalan mantap. Senyumnya tenang, tatapannya tajam namun teduh, seakan menyimpan ribuan kisah. Dialah Mbah Slamet, yang lebih akrab disapa Mbah Ijo, sosok yang sangat dikenal warga Nahdliyin Wonosobo.
Gedung PCNU Wonosobo bukan sekadar tempat singgah baginya, melainkan rumah satu-satunya. Ia tidak memiliki tempat tinggal lain.
"Mbah Ijo ini tidak punya rumah secara representatif rumah, artinya ya memang pulangnya ke Gedung PCNU Wonosobo," tutur Ahmad Baehaqi, sahabat sekaligus pengurus PCNU Wonosobo saat dihubungi NU Online Jateng Selasa, (27/05/2025).
Di tempat itulah ia memulai hari dengan senyuman, menyambut siapa saja yang datang layaknya saudara lama yang pulang kampung. Tak ada ranjang empuk, hanya sajadah lusuh dan baju yang digantung di paku dinding.
Mbah Ijo selalu mengenakan atribut serba hijau, mulai dari peci, sarung, hingga sandal jepitnya. Pilihan warna ini bukan tanpa alasan. Ia percaya, hanya hijau yang suci—sebuah keyakinan yang berakar dari pengalaman sejarah, termasuk saat menyaksikan bendera Belanda disobek di Hotel Yamato Surabaya dan momentum politik saat Gus Dur dilengserkan.
Ia adalah pengagum berat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dilihatnya bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi sebagai cahaya bagi mereka yang terpinggirkan. Sejak saat itu, hijau menjadi simbol perlawanan, cinta, dan kesetiaan.
Baca Juga
Historiografi NU Wonosobo
Mbah Ijo bukan tokoh besar dalam struktur organisasi. Ia tidak duduk di meja birokrasi, tidak pandai berorasi. Namun, pengabdiannya membentang jauh,dari lantai masjid hingga kursi-kursi rapat yang ia bersihkan diam-diam. Ia berjalan kaki ke mana pun, setiap pagi menuju masjid, menyalakan lampu kala senja, menyapu halaman tanpa diminta. Ia tidak mencatat amal, tidak pula berharap disebut.
Lahir dari keluarga sederhana, Mbah Ijo kehilangan ayah sejak kecil. Ia dibesarkan oleh ibunya yang bekerja sebagai kurir surat di PCNU, menyusuri kampung demi kampung dengan sepeda. Dari rahim kesederhanaan itu, tumbuh kesetiaan yang tak bisa dibeli oleh gaji atau pujian.
Kini, ketika tubuhnya mulai ringkih dan penyakit menyapa, NU Care-LAZISNU Wonosobo hadir bukan sebagai penyelamat, tetapi sebagai sahabat. Saat Mbah Ijo jatuh sakit dan harus menjalani operasi serta rawat inap, para kader NU bergantian menjaga dan mendampinginya.
"Dalam kurun waktu seminggu, lebih dari 80 orang menyisihkan rezekinya, bukan karena belas kasihan, tetapi karena rasa hormat," ujar Ahmad Nafi’, pengurus LAZISNU Wonosobo. Dana sebesar 17 juta rupiah terkumpul dan disalurkan untuk pengobatan Mbah Ijo.
“Mengingat kontribusi Mbah Ijo untuk NU di Wonosobo, kemudian memang secara finansial bisa dikatakan tidak mampu ya,” lanjut Nafi’.
Di tengah zaman yang serba pragmatis, sosok seperti Mbah Ijo adalah oase. ia tidak pernah meminta dibalas, tetapi justru karena itulah ia sangat dihormati. Namanya tidak tercetak dalam struktur organisasi, tapi kehadirannya adalah ruh dari tempat itu.
Bagi NU Wonosobo, ia bukan sekadar penjaga gedung. Ia adalah pelipur lara, penjaga gerbang, sekaligus pengingat paling jujur tentang arti khidmah mengabdi tanpa syarat, mencintai tanpa pamrih.
“Kurir khidmah sebenarnya, yang penting dia bisa makan, itu cukup baginya,” pungkas Ahmad Baehaqi.
Penulis: Alhanuna Najmal Abidah-PCNU Wonosobo
Terpopuler
1
Idul Adha Jatuh pada Hari Jumat, Apakah Masih Wajib Shalat Jumat?
2
Sosok Mbah Ijo, Jimat Kesetiaan NU Wonosobo
3
Pemkab Pati Larang Sound Horeg, Ketua PCNU: Lebih Banyak Mafsadatnya
4
LAZISNU Purbalingga Salurkan Bantuan Sembako untuk Korban Tanah Bergerak di Karanganyar
5
Rais Tanfidziyah PCINU Yaman Asal Batang Tamatkan Studi, Siap Mengabdi untuk Kampung Halaman
6
Niat Berkurban, Apakah Boleh Memotong Kuku dan Rambut?
Terkini
Lihat Semua