Opini

Baju Lebaran: Anjuran atau Hanya Tradisi?

Ahad, 16 Maret 2025 | 14:00 WIB

Baju Lebaran: Anjuran atau Hanya Tradisi?

Ilustrasi membeli baju baru

NU Online Jateng -
Sebentar lagi, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut hari raya Idulfitri, momen kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Hari yang penuh suka cita ini kerap dihiasi beragam tradisi, salah satunya adalah kebiasaan membeli baju baru. 


Tak jarang, menjelang akhir Ramadan, pusat perbelanjaan dan pasar-pasar ramai dipadati masyarakat yang berburu pakaian baru seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Lebaran. Namun, benarkah Islam menganjurkan umatnya membeli baju baru di hari raya? Atau, apakah ini sekadar tradisi yang berkembang di masyarakat?

 

Jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara, masyarakat Indonesia telah mengenal kebiasaan mengenakan pakaian baru dalam berbagai upacara adat dan keagamaan. Dalam budaya Jawa, misalnya, pakaian baru sering digunakan dalam acara selamatan sebagai simbol keberkahan dan penghormatan. 

 

Begitu pula dalam tradisi Melayu, mengenakan pakaian terbaik di hari besar melambangkan rasa syukur dan menjaga kesucian diri.


Ketika Islam berkembang di Nusantara, tradisi ini berbaur dengan ajaran agama. Nilai-nilai Islam yang menekankan kebersihan dan kerapian semakin memperkuat kebiasaan mengenakan pakaian terbaik saat Idulfitri. 


Seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi anggapan bahwa merayakan Lebaran harus dengan baju baru, meskipun sebenarnya ajaran Islam tidak pernah mewajibkannya.


Islam tidak secara khusus mewajibkan umatnya membeli baju baru saat Idulfitri. Yang dianjurkan adalah mengenakan pakaian terbaik dan bersih, baik baru maupun lama, selama layak digunakan dan menutup aurat. 

 

Rasulullah ﷺ sendiri tidak pernah memerintahkan umatnya membeli pakaian baru, tetapi beliau memilih mengenakan pakaian terbaik di hari raya.

 

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, diriwayatkan:


 كَانَ يَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ فِي الْعِيدَيْن

 

“Beliau (Rasulullah ﷺ) biasa mengenakan pakaian terbaiknya pada dua hari raya.”
(HR. Ibnu Abi Dunya, dalam Kitab Al-Libas, disebutkan juga dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar)

 

Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan:

 

رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كَانَ لَهُ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا فِي الْعِيدَيْنِ وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ

 

"Rasulullah ﷺ memiliki jubah khusus yang beliau pakai pada hari raya dan hari Jumat."
(HR. Ibnu Khuzaimah, no. 1765)

 

Selain itu, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma menegaskan:

 

 إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

 

"Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan."
(HR. Muslim, no. 91)

 

Dari berbagai riwayat tersebut, jelas bahwa Islam menitikberatkan pada kebersihan dan kerapian, bukan pada keharusan memakai pakaian baru. Selama pakaian yang dikenakan pantas, bersih, dan menutup aurat, sudah cukup untuk memenuhi sunnah Rasulullah ﷺ di hari raya.

 

Meski tidak diwajibkan dalam Islam, anggapan bahwa Lebaran harus dirayakan dengan serba baru dapat membawa dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Bagi mereka yang kurang mampu, tekanan untuk membeli baju baru bisa menjadi beban finansial yang berat. Bahkan, tidak jarang demi memenuhi ekspektasi sosial, sebagian orang rela berhutang atau melakukan tindakan melanggar hukum.

 

Fenomena ini terlihat dari meningkatnya angka kriminalitas menjelang Lebaran. Banyak kasus pencurian dan penipuan yang bermula dari dorongan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, termasuk membeli pakaian baru atau menyiapkan hidangan mewah.

 

Selain itu, mendekati Idulfitri, harga kebutuhan pokok cenderung melonjak karena meningkatnya permintaan pasar. Kondisi ini semakin memperberat beban masyarakat kecil yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka. 

 

Jika budaya konsumtif ini terus dibiarkan, tidak hanya memperlebar kesenjangan sosial, tetapi juga mendorong gaya hidup yang materialistis dan jauh dari esensi kesederhanaan yang diajarkan Islam.

 

Tidak ada salahnya membeli baju baru sebagai bagian dari perayaan, selama tidak berlebihan atau memaksakan diri di luar kemampuan. Namun, penting untuk diingat bahwa esensi Idulfitri terletak pada kesucian hati, rasa syukur, dan kemenangan spiritual setelah menjalankan ibadah puasa. Kebahagiaan sejati di hari raya bukan berasal dari penampilan luar, melainkan dari ketenangan batin, kebersihan jiwa, dan hubungan harmonis dengan sesama.

 

Mari rayakan Idulfitri dengan penuh syukur, kesederhanaan, dan kebahagiaan yang hakiki. Sebab, nilai sejati hari kemenangan terletak pada hati yang bersih, bukan sekadar baju baru.

Referensi:
1. Andini, R. (2021). Budaya Konsumsi Baju Lebaran Sebagai Bentuk Sosial Gaya Hidup Konsumtif. Jurnal Aksiologi.
2. Ramadhani, F., & Sari, N. (2020). Analisis Perilaku Konsumtif Masyarakat Muslim Menjelang Idul Fitri di Pekanbaru. Al-Iqtishad: Jurnal Ekonomi Syariah.