• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 17 Mei 2024

Opini

Pemimpin Perempuan dan Undang-undang Negara

Pemimpin Perempuan dan Undang-undang Negara
Foto: Ilustrasi (youtube.com)
Foto: Ilustrasi (youtube.com)

Muhammad SAW lahir dan diutus menjadi rasul di Jazirah Arab yang saat itu sebelumnya secara budaya penduduk menempatkan wanita pada posisi yang kurang beruntung. Islam sebagai risalah yang dibawa Muhammad SAW mampu menghapus budaya jahiliyah, menjunjung tinggi kesetaraan, dan tidak membedakan pemuliaan manusia berdasarkan jenis kelamin. Dari generasi ke generasi, Islam berhasil mengangkat harkat martabat perempuan dengan penghargaan tertinggi sebagai salah satu visi dan misi kehadiran dakwahnya. 

 

Fakta sejarah menunjukkan, kepemimpinan kaum perempuan muslimah di antaranya Aisyaah RA dalam politik dan peperangan khusunya pemimpin perang onta. Enam orang ratu dari lingkungan penguasa Dinasti Mongol yang menggantikan Dinasti Abbasiyah. Penguasa Mamluk yang berasal dari Turki terdapat dua pemegang kerajaan, yaitu Sultanah Radliyy dan Sultan Sajarat al-Durr. 

 

Ada juga kepemimpinan Ratu Syajaratud-Dur di Mesir yang kerap menjadi rujukan sebagian ulama Makkiyah pengikut madzhab Imam Malik. Tiga orang ratu dari entitas politik Islam di Maldives dan empat orang Sultanah dari Aceh, masing-masing Sultanah Taj al-Alam al-Din Syah (1641-1675), Sultanah Inayat Syah (1679-1688) dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).

 

Dalam kenyataan era sekarang secara umum masyarakat muslim memandang laki-laki dan perempuan secara timpang. Perempuan menjadi makhluk jenis kedua di bawah dan setelah laki-laki. Laki-laki mendapat posisi utama dibandingkan dengan perempuan. Kaum perempuan sebagai imperioritas (manusia bawahan, rendah dan kurang baik), sedangkan laki-laki merupakan superioritas (manusia atasan, pemimpin).

 

Di sebagian negara timur tengah perempuan tidak mendapat posisi setara dengan kedudukan laki-laki baik kedudukan pendidikan, politik, ekonomi sosial maupun keluarga. Bias gender demikian dikarenakan nas-nas yang menjadi pijakan mereka dipahami secara keliru. Beberapa kalangan di Indonesia berpandangan bahwa kehadiran pemimpin perempuan menjadi suatu masalah tersendiri.

 

Akar yang mendasari penolakan dalam masyarakat muslim perihal gender adalah keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk Allah yang rendah karena diciptakan dari tulang rusuk pria. Perempuan dianggap sebagai manusia yang kurang akalnya sehingga harus selalu berada di bawah pimpinan laki-laki. Oleh karena itu perlu reinterpretasi doktrin maupun pemikiran yang mengatasnamakan agama Islam yang sarat dengan praktik diskriminatif  agar Islam tetap menjadi rahmat bagi seluruh alam.

 

Apa Gender?

 

Islam mendudukan pria maupun wanita secara adil dan berdasarkan proporsinya. Maka dari itu tidak rasional dan tidak manusiawi apabila pria dan wanita status perannya disamakan dan tidak logis pula sektor kiprahnya dibedakan secara mutlak. 

 

Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks dalam kamus besar bahasa Indonesia juga berarti jenis kelamin, lebih berkonsentrasi kepada aspek biologis seseorang. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. 

 

Gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas atau feminimitas seseorang. Dengan demikian perempuan memiliki potensi sama dalam peran sosial keagamaan dan kenegaraan dengan laki-laki. Sedangkan seks menekankan perkembangan manusia dalam aspek-aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan. Secara kodrati baik seorang pria maupun wanita memiliki perbedaan yang sangat esensial dari fisik atau psikis. Untuk itu, Islam meletakkan tanggung jawab berkeluarga pada pria sebagai kepala rumah tangga.

 

Perempuan dan Negara

 

Dalam sejarah perkembangan agama-agama, Belum ada ajaran agama yang mengalahkan ajaran Islam dalam menghargai wanita. Dalam hubungannya perempuan dengan negara ada sebuah maqolah yang mengatakan:

 

اَلْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْبِلاَدُوَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْبِلاَدُ

 

Perempuan adalah tiang negara. Jika wanitanya baik, maka negaranya akan baik dan jika wanita buruk negara pun akan buruk. 

 

Terlepas dari penentu tunggal atau kolektif, dalil di atas dapat dipahami perempuan mempunyai peranan yang tinggi dalam suatu negara. Perempuan menjadi penyokong kemajuan suatu negara. Perempuan menjadi penentu baik atau rusaknya suatu negara. 

 

Maka dari itu, negara memperhatikan perempuan dengan memperkenalkan kata gender di GBHN 1999-2004, dijabarkan dalam undang-undang No 25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional (Propenas) tahun 2000-2004. Di era presiden Gus Dur menteri pemberdayaan wanita Khofifah Indar Parawansah juga menerbitkan Inpres no 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (PuG/Gender Mainstreaming).

 

UU No 2 tahun 2008 tentang partai politik dan UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Peran perempuan di tingkatan legeslatif telah diatur yakni mewajibkan quota minimal 30 persen keterwakilan perempuan baik dalam susunan kepengurusan partai politik maupun dalam daftar calon anggota legeslatif.

 

Namun hampir tiga dekade reformasi jumlah perempuan di DPR RI belum menembus angka 30 persen. Untuk itu bagaimana memotivasi dan menginspirasi perempuan di seluruh dunia terutama di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas diri perempuan guna berperan sertanya dalam seluruh aspek kehidupan. Perempuan secara bertahap memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam berkontribusi terhadap kehidupan bangsa dan negara. 

 

Imam Ibnu Jarir Al-Thabari menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah sebuah penghalang dalam perspektif hukum Islam. Dalam konteks gender perempuan mempunyai kesetaraan dalam bidang sosial-politik dengan laki-laki. Dengan demikian perempuan menjadi pemimpin pada berbagai aspek kehidupan merupakan suatu kebolehan. Hal ini sesuai dengan semangat visi dan misi revolusioner Nabi Muhammad di mana kekerasan dan pengekangan terhadap perempuan telah berakhir. 


 

Bahrun Ulum, Dukuh Payung, Songgom, Brebes, Jawa Tengah. Alumni Pascasarjana di Universitas Islam negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta 


Opini Terbaru