Opini

Antara Politik dan Agama: Pertentangan atau Keselarasan

Sabtu, 8 Maret 2025 | 14:00 WIB

Antara Politik dan Agama: Pertentangan atau Keselarasan

Ilustrasi: NU Online

Apa yang pertama kali terlintas di benak ketika mendengar kata “politik”? Apakah tentang perebutan kekuasaan, kepentingan pribadi atau bahkan manipulasi demi keuntungan segelintir orang? Dewasa ini, politik sering kali dikaitkan dengan ambisi, strategi licik, dan tawar-menawar kepentingan. Di sisi lain, agama lebih sering dipahami sebagai sesuatu yang suci, mengajarkan kebaikan, kejujuran, dan moralitas. Jika politik sering dianggap penuh intrik dan kepentingan, sementara agama mengajarkan nilai-nilai luhur, apakah keduanya memang tidak bisa berjalan beriringan? Atau justru keduanya bisa saling melengkapi? Mengapa ada pandangan yang menolak keberadaan agama dalam politik, sementara ada juga yang percaya bahwa politik tanpa agama akan kehilangan arah?

 
Di Islam sendiri, hubungan agama dan politik memiliki dinamika yang berbeda. Dalam sejarah Islam, agama dan politik hampir selalu berjalan beriringan. Nabi Muhammad saw sendiri tidak hanya berperan sebagai pemimpin spiritual tetapi juga sebagai pemimpin politik. Namun, Nabi Muhammad berpolitik bukan untuk meraih kekuasaan, apalagi kepentingan pribadi. Ini bisa dilihat sejak kaum musyrik Mekkah yang gelisah adanya dakwah beliau karena dapat mengancam eksistensi kepercayaan kaum musyrik dan berhala-berhala mereka.

 

Kala itu, kaum musyrik memberikan berbagai imbalan untuk memberhentikan dakwah seperti dengan wanita, kekuatan, serta kekayaan. Dan semua itu dengan tegas beliau tolak dengan mengucapkan kalimat yang sangat populer, "Kalau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar kuhentikan misiku, maka aku pasti menolaknya dan akan terus berusaha walau aku mati dalam melaksanakannya,".


Setelah wafatnya, sistem kekhalifahan pun didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Namun, seiring berjalannya waktu, politik dalam Islam mulai mengalami pergeseran, dari yang berbasis keadilan menjadi alat perebutan kekuasaan. Adapun hal lain yang dapat dijadikan bukti mengenai keterlibatan tuntunan Islam dengan politik adalah ilmu yang dikenal dalam hukum Islam yang dinamai as-Siyasah asy-Syar'iyyah. 


Pandangan Quraish Shihab tentang Politik dalam Islam 


Dalam pandangan cendekiawan muslim Indonesia Quraish Shihab, politik dalam Islam tidak semata-mata tentang perebutan kekuasaan, tetapi lebih dari itu, ia adalah sarana untuk mengelola kebutuhan masyarakat demi kemaslahatan mereka. Beliau mengatakan dalam bukunya “Islam yang Saya Pahami: Keragaman Itu Rahmat”


"Praktik politik dalam pandangan Islam adalah mengelola kebutuhan masyarakat guna kemaslahatan mereka dengan perintah, larangan, tuntunan, dan segala yang berkaitan dengannya, termasuk menetapkan peraturan dan perundangan demi meraih kemaslahatan dan atau mencegah mudarat. Tentu saja untuk maksud tersebut diperlukan pemimpin-pemimpin yang arif lagi mampu memahami agama, budaya masyarakat, dan perkembangan situasi lokal maupun internasional."
(Shihab, Quraish. (2019). Islam yang Saya Pahami: Keragaman Itu Rahmat. Tangerang: Lentera Hati.) 


Pernyataan ini menegaskan bahwa politik dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai moral dan kemaslahatan masyarakat. Bukan sekadar alat untuk mencapai kekuasaan, tetapi sebuah mekanisme untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua.  


Namun, salah satu alasan mengapa politik sering dipertentangkan dengan agama adalah anggapan bahwa politik itu dunia yang kotor, sementara agama adalah sesuatu yang suci. Politik dianggap penuh dengan tipu daya, janji palsu, dan permainan kepentingan, sedangkan agama mengajarkan kejujuran, keadilan, dan kebaikan. Akibatnya, banyak orang yang merasa bahwa mencampurkan agama dalam politik hanya akan mencemari kesucian agama itu sendiri.


Namun, apakah benar bahwa politik itu selalu kotor? Dalam realisasinya, politik hanyalah alat untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Yang membuatnya kotor atau bersih adalah bagaimana politik itu dijalankan. Jika politik dijalankan dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan, maka ia bisa menjadi alat untuk membawa kebaikan bagi masyarakat. Justru jika politik dibiarkan tanpa nilai-nilai agama, yang terjadi adalah politik yang sepenuhnya pragmatis dan kehilangan moralitas.  


Politik dan Agama di Indonesia


Di Indonesia, hubungan antara politik dan agama juga mengalami pasang surut. Sejak awal kemerdekaan, perdebatan tentang dasar negara sudah terjadi. Ada kelompok yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, sementara yang lain menginginkan negara yang lebih inklusif. Akhirnya, lahirlah Pancasila sebagai jalan tengah, di mana nilai-nilai agama tetap dihormati, tetapi negara tidak didasarkan pada satu agama tertentu. 
 

Namun, dalam praktiknya, agama tetap memainkan peran besar dalam politik Indonesia. Partai-partai berbasis agama tetap eksis dan sering kali mendapatkan dukungan yang signifikan dari masyarakat. Isu-isu keagamaan juga kerap digunakan sebagai alat politik, baik untuk menarik dukungan maupun untuk menjatuhkan lawan. 
 

Salah satu contoh nyata adalah pemilihan gubernur Jakarta pada 2016, di mana isu agama digunakan secara masif dalam kampanye politik. Kasus yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat ia masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta jadi salah satu bukti bagaimana agama seringkali digunakan dalam politik. Dalam sebuah pernyataannya, Ahok menyebutkan agar masyarakat Muslim tidak terpengaruh oleh isi Surat Al-Maidah Ayat 51 yang berbicara soal larangan memilih pemimpin non-Muslim. Pernyataan ini kemudian memicu kontroversi besar dan dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya untuk menyerangnya.
  

Ahok dianggap telah menistakan agama, menghina ayat suci, dan berbagai tuduhan lainnya. Perdebatan pun semakin panas, melibatkan tokoh agama, akademisi, hingga masyarakat luas yang saling beradu argumen. Dari kasus ini, kita bisa melihat bahwa agama dan politik sering kali saling berkaitan. Politik kerap menggunakan agama sebagai alat untuk mendapatkan dukungan, sementara agama juga bisa memanfaatkan politik sebagai sarana penyebaran pengaruhnya. Dengan kata lain, hubungan antara agama dan politik bersifat simbiotik, saling membutuhkan dan mempengaruhi.


Politik itu Fitrah 


Banyak orang di masyarakat kita masih beranggapan bahwa politik itu dunia yang kotor dan harus dijauhi. Akibatnya, banyak yang merasa apatis, bahkan membenci politik dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pandangan ini tidak muncul begitu saja, melainkan hasil dari pengamatan terhadap praktik politik yang sering kali menunjukkan sisi negatif. Berita tentang korupsi, pengkhianatan, dan permainan kekuasaan yang semena-mena semakin menguatkan anggapan bahwa politik hanya berisi kepentingan pribadi dan kelompok.  


Meskipun banyak yang merasa alergi terhadap politik, kenyataannya tidak ada seorang pun yang bisa benar-benar menghindarinya. Setiap orang hidup dalam sebuah negara, dan negara adalah organisasi politik tertinggi. Artinya, suka atau tidak, kita semua sebenarnya sudah terlibat dalam politik sejak lahir. 
 

Ketika seseorang mengatakan bahwa dia tidak mau ikut campur dalam politik, sebenarnya dia hanya membiarkan orang lain mengambil keputusan yang akan mempengaruhi hidupnya. Mau tidak mau, setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan berdampak pada semua orang, termasuk mereka yang mengaku tidak peduli pada politik.  


Karena itu, politik bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Politik adalah bagian dari kehidupan, sesuatu yang sifatnya alami dan melekat pada manusia. Yang perlu dilakukan bukan menjauhi politik, tetapi memahami dan ikut berperan dalam menciptakan politik yang lebih baik, lebih adil, dan lebih berpihak pada kepentingan masyarakat luas.


Apakah Agama dan Politik Harus Dipisahkan?

Lalu, apakah agama dan politik harus benar-benar dipisahkan? Jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak. Yang perlu dipahami adalah bagaimana hubungan antara keduanya bisa dikelola dengan baik.  


Jika agama digunakan dalam politik sebagai pedoman moral untuk menciptakan keadilan, maka ini adalah hal yang baik. Agama bisa menjadi pengingat bagi para politisi agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan tetap berpegang pada nilai-nilai etika. Namun, jika agama dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan, memanipulasi massa, atau bahkan mendiskriminasi kelompok tertentu, maka ini justru merusak baik agama maupun politik itu sendiri.


Alhasil, politik dan agama memang sering dipertentangkan, tetapi bukan berarti keduanya tidak bisa berjalan berdampingan. Politik membutuhkan moralitas agar tidak menjadi alat kekuasaan yang sewenang-wenang, sementara agama juga perlu memahami bahwa kehidupan bernegara membutuhkan ruang yang inklusif bagi semua orang. 
 

Yang perlu dihindari adalah ekstremisme di kedua sisi. Politik tanpa nilai moral akan menjadi liar dan penuh kepentingan pragmatis, sementara agama yang terlalu politis bisa kehilangan esensi spiritualnya dan justru menjadi alat kekuasaan. 


Pada akhirnya, yang terpenting adalah bagaimana politik dijalankan dengan cara yang etis, adil, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat, tanpa harus menjadikan agama sebagai alat kepentingan tertentu. Jika politik bisa dijalankan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, maka tidak ada alasan untuk terus mempertentangkan agama dan politik.