• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 29 April 2024

Opini

JELANG MUKTAMAR KE-34 NU

Menyoal Diskursus PMII HMI dalam Muktamar Ke-34 NU

Menyoal Diskursus PMII HMI dalam Muktamar Ke-34 NU
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Jamiyah diniyah Nahdlatul Ulama (NU), Insyaallah akhir Desember 2021 akan menyelenggarakan perhelatan akbar Muktamar ke-34 NU di Lampung. Sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia bahkan di dunia, perhelatan tersebut sangat menarik perhatian, tidak saja para aktivis dan tokohnya, tetapi juga peminat dan pemerhati dari berbagai negara, seiring dengan mendunianya jamiyah tersebut.

 

Sebagaimana biasanya, pra Muktamar selalu muncul atau dimunculkan berbagai isu yang berkaitan dengan proses suksesi kepemimpinan. Karena, forum muktamar selain sebagai wahana menyampaikan pertanggungjawaban pengurus dan penyusunan program kerja, juga wahana suksesi kepengurusan. Biasanya, dari tiga agenda tersebut, yang sangat menarik bahkan krusial adalah agenda suksesi kepemimpinan atau pemilihan ketua.

 

Isu-isu tersebut ada yang strategis-visioner, ada pula yang pragmatis-provokatif. Isu-isu tersebut juga akan menjadi sangat menarik bahkan panas, karena digoreng dan diramu oleh para aktivis atau tokoh yang secara empirik dan akademik memiliki keahlian. Dan tentunya hal itu tetap memiliki dampak baik positif maupun negatif yang menjalar ke internal NU maupun ke eksternal NU.

 

PMII Versus HMI

 

Salah satu isu yang bergulir sekarang ini adalah dikotomi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kedua organisasi mahasiswa tersebut adalah organisasi ekstra kampus. PMII didefinisikan sebagai organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU, karenanya kaderisasi yang dilakukan sebagai bentuk dedikasi kepada NU. Sedangkan HMI didefinisikan sebagai organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan Muhammadiyah.

 

Sebenarnya, kalau bicara tentang definisi PMII dan HMI masih bisa diperdebatkan. Karena dalam sejarahnya, PMII juga menjadi organisasi yang independen, sedangkan HMI ada juga yang menyebutnya bukan berafiliasi ke Muhammadiyah, karena Muhammadiyah memiliki organisasi mahasiswa yang bernama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

 

Menghubungkan PMII dan HMI dalam konteks Muktamar NU, apalagi mengaktualisasi rivalitas keduanya terasa sangat tidak tepat, juga tidak relevan. Masalah tersebut bukan menjadi salah satu persyaratan menjadi pengurus, khususnya Ketua NU juga bukan menjadi indikator tunggal seseorang menjadi kader NU. Dari Muktamar NU pertama sampai ke 33, di Jombang, tidak ada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), juga tata tertib pemilihan pengurus yang mengatur masalah tersebut.

 

NU adalah ormas keagamaan yang sangat besar, yang selain memiliki kapital sosial yang besar juga memiliki sumber daya manusia (SDM) yang besar. NU memiliki sumber kader atau sumber rekrutmen pemimpin yang banyak dan luas. Memiliki lembaga pendidikan yang banyak, memiliki lembaga pesantren yang sangat banyak dan memiliki kader yang belajar di luar lembaga pendidikan yang diselenggarakan NU, di dalam negeri maupun di luar negeri. Di bidang ilmu agama maupun di bidang ilmu pengetahuan umum.

 

Melihat realitas seperti itu, maka sekarang ini secara kuantitatif sangat banyak kader NU yang bergelar profesor-doktor dari berbagai disiplin ilmu. Sangat banyak yang menjadi profesional di bidangnya, yang tersebar di semua lini dan strata kehidupan. Tentunya, juga sangat banyak kader yang aalim, yang banyak memiliki skill dan pengalaman tanpa menyandang gelar akademik dan embel-embel organisasi eksra kampus.

 

Melihat potensi besar yang dimiliki NU, rasanya tidak relevan berbicara dikotomis PMII–HMI, tidak elok mereaktualisasi rivalitas keduanya, karena NU bukan dunia kampus. Terlalu kecil NU jika konsen masalah tersebut. Dan pemikiran dikotomis seperti itu sangat pragmatis, emosional, subyektif, provokatif, bahkan tendensius.

 

Pemikiran seperti itu harus diakhiri karena bisa menjadi racun bagi generasi berikutnya. Tidak menutup kemungkinan, pemikiran dikotomis akan menjalar sampai pada dikotomi gus-non gus, kiai-habaib, pesanren-kampus, anak kiai-bukan anak kiai, bahkan bisa merembet ke masalah pengalaman kerja dan afiliasi politik praktis.

 

Secara subyektif, saya juga pernah menjadi kader PMII, lalu menjadi kader Gerakan Pemuda Ansor, selain menjadi pengurus NU. Secara subyektif pula, lanjutan dari PMII adalah Ansor, karenanya alumni PMII ada yang menjadi pimpinan Ansor. Dengan kata lain, Ansor adalah terminal akhir bagi kader PMII dan IPNU.

 

NU sebagai jamiyah besar dan 'profesional', tidak mentasbihkan bahwa Ansor merupakan satu satunya sumber rekruitmen kepemimpinan NU, apalagi PMII. Dia memiliki banyak sumber rekrutmen yang heterogen. Karena itu, sangat dimungkinkan NU dipimpin oleh ketua 'non karier'.

 

Adanya realitas seperti itu tidak bisa serta merta dimaknai telah terjadi degradasi atau distorsi dalam kaderisasi NU. Perlu disadari pula, bahwa sekarang ini NU memiliki sistem kaderisasi yang dimanifestasikan dalam bentuk Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) dan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU). Konon, sistem ini yang dijadikan mesin rekrutmen kepemimpinan NU. Seseorang yang ingin menjadi kandidat NU, harus memiliki sertifikat PKPNU atau MKNU.

 

Jika PKPNU dan MKNU sebagai syarat bagi kader yang ingin maju dalam kontestasi ketua, maka dengan sendirinya PMII dan Ansor sebagai lembaga kaderisasi secara fungsional tidak memiliki signifikasi. Karena itu, terasa sangat relevan jika para kader NU mengangkat masalah tersebut pada muktamar yang akan datang. Itu adalah isu strategis dan tentunya seksi bagi kader kader PMII dan Ansor.

 

Pola Pikir Politis

 

Secara historis, NU pernah menjadi partai politik, bahkan menjadi parpol besar pada zamannya. Karena itu terasa logis manakala sampai sekarang ini masih ada sisa-sisa pola pikir politik praktis di kalangan sejumlah kadernya. Tentunya menjadi tidak logis dan tidak bisa ditoleransi manakala pola pikir politik praktis tersebut memicu terjadinya instabilitas internal jamiyah.

 

Pola pikir dikotomis PMII-HMI tidak bisa terlepas dari pola pikir politik praktis. Dalam konteks NU, ada tardisi saling menjaga dan saling menghormati sesama kandidat ketua untuk menuju top leader jamiyah. Hal hal yang bersifat personal, apalagi berpotensi menimbulkan interpretasi dan fitnah selalu dihindari. Karena itu, para kandidat bukan pada posisi deametral, tetapi dalam posisi setara yang saling menjaga.

 

Jabatan dalam konteks NU, bukan sesuatu yang harus diperebutkan, tetapi sebagai amanah yang harus diemban. Karena itu tidak mengherankan kalau ada sejumlah tokoh yang tidak bersedia ketika didorong dan dipilih menjadi top leader. Jabatan NU dalam konteks konstitusi organisasi tidak ada relevansinya dengan masalah finansial secara signifikan. Tidak ada nomenklatur yang mengatur tentang kepangkatan, gaji, honorarium, tunjangan, dan fasilitas lainnya. Berbeda dengan partai politik yang memiliki signifikasi dan korelasi dengan kekuasaan dan finansial.

 

Pola pikir yang dikotomis adalah pola pikir politis yang berpotensi melahirkan pro-kontra yang tidak cerdas dan tidak strategis. Pola pikir seperti itu berpotensi mengangkat kelemahan seseorang, mendistorsi potensinya dan mendorong publik memiliki asumsi yang subyektif dan bisa negatif yang endingnya menjatuhkan. Juga berpotensi terjadinya disharmoni relasi.
NU adalah jamiyah yang sangat besar, sangat luas. Ibarat lautan yang sangat luas dan dalam di atasnya bisa berlayar banyak perahu dan kapal dalam suasana yang nyaman dan aman. Siapapun boleh berlabuh, bahkan boleh mengais rejeki, karena NU memang bisa menjadi wasilah untuk itu.

 

Jangan khawatir secara berlebih NU akan tenggelam, misalkan dipimpin oleh kader dari HMI, karena ada ulama yang menjaga, mengawasi, mengontrol dan mendampinginya. Juga jangan over estimate NU akan berlayar kencang dan selamat, misalkan dipimpin kader dari PMII, karena tidak ada jaminan kader PMII pasti sami’na wa atha’na kepada ulama yang mendampinginya.

 

Dalam sejarahnya, NU (PBNU) pernah dipimpin oleh kiai pondok pesantren yang ternyata mampu membawa kemajuan, persatuan dan keteduhan. Pernah dipimpin oleh alumni HMI yang ternyata juga mampu membangun soliditas, konsolidasi di bidang pendidikan, ekonomi, bahkan ekspansi ke banyak negara, berupa pembentukan Pengurus Cabang Istimewa (PCINU) di daratan Asia, Afrika dan Eropa. Juga pernah dipimpin tokoh NGO yang juga budayawan, kolumnis, agamawan dan cucu pendiri jamiyah yang ternyata juga mampu menjadikan NU disegani dan diperhitungkan secara nasional maupun global. 

 

Siapapun yang menjadi top leader NU, tradisi dan amaliyah NU tetap eksis dan semarak, karena dari manapun asalnya, mereka adalah para 'muhibbin' Jamiyah Nahdlatul Ulama.

 

Muktamar adalah media konsolidasi, bukan media provokasi. Ia juga media untuk merajut, mempersatukan, bukan media untuk menghujat dan mendepak dan mengkotak-kotak. Umat sudah kokoh dan kuat, karena itu tidak perlu mencari triger terjadinya perpecahan. Sebab, sebagaimana dikatakan dalam Qanun Asasi, dengan perpecahan tidak ada satu kebaikan dikaruniakan Allah kepada seseorang, baik dari orang orang terdahulu maupun orang orang yang belakangan.

 

Sejak berdirinya, KH Hasyim Asy’ari telah mengajak semua orang tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi, berbondong bondong masuk jamiyah yang diberi nama Nahdlatul Ulama ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu, dan dengan ikatan jiwa raga. Ini adalah jamiyah yang lurus, bersifat memperbaiki dan menyantuni. Ia manis terasa di mulut orang orang yang baik dan bengkal di tenggorokan orang orang yang tidak baik. Rasanya tetap relevan apa yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari tersebut untuk senantiasa dicamkan. Tidak ada alasan untuk secara apriori mempersoalkan PMII-HMI, karena NU terlalu berat untuk digeser dari porosnya.

 

A Mufid Rahmat, mantan Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Gerkan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah, tinggal di Boyoali.


Opini Terbaru