Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Islam yang ada di Indonesia pun terdapat beberapa kelompok, ada yang NU, Muhammadiyah, dan lainnya. Setiap ormas atau organisasi kemasyarakatan tentunya memiliki ciri khasnya tersendiri khususnya dalam praktik keagamaan. Di NU juga punya ciri khas atau tradisi yang telah melekat kuat di masyarakat, yaitu praktik-praktik keagamaan seperti tahlilan, ziarah kubur, peringatan maulid nabi, tingkeban, istighotsah, dan lain-lain.
Tradisi-tradisi tersebut menjadi ciri khas NU yang membedakan dengan ormas Islam lainnya. Penulis meyakini, NU masih akan terus eksis sampai kapan pun jika warganya (kaum Nahdliyin) rutin mengamalkan amaliyah tersebut. Setiap harinya di kampung-kampung, di pesantren, atau bahkan di perkotaan, tradisi-tradisi NU selalu dilaksanakan setiap warga NU baik NU kultural maupun NU struktural.
Tahlilan misalnya, hampir di setiap gang desa rutin digelar acara yang namanya tahlilan dan dilengkapi dengan pembacaan surat Yasin. Inilah salah satu budaya masyarakat di Indonesia yang hingga sekarang masih terpelihara. Tahlil sendiri merupakan dzikir yang dilakukan oleh umat Islam. Biasanya bacaan-bacaan yang dilafalkan seperti membaca surat Al-fatihah, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-nas hingga sampai kepada doa Tahlil.
Kalau dalam sebuah organisasi atau perkumpulan, ada sosok Kiai atau tokoh yang dituakan untuk memimpin tahlilan dan yasinan. Tradisi ini tidak hanya digelar satu minggu sekali, terkadang tahlilan juga biasa dibaca pada hari pertama meninggalnya seseorang, lalu dibacakan lagi hingga memasuki hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Selain tahlilan, ada pula tradisi NU yang namanya ziarah kubur. Tradisi ini umumnya dilakukan oleh warga NU dengan mendatangi makam keluarga atau orang terdekatnya. Tidak ada tujuan lain selain mendoakan ruh orang yang sudah meninggal tersebut. Bagi warga NU, berziarah ke makam biasanya dilakukan setiap Jumat Kliwon, yang mana orang-orang pada pergi ke makam pada pagi harinya ataupun sehabis melaksanakan shalat Jumat. Dalam ziarah kubur juga dibacakan surat yasin dan juga tahlil.
Tradisi NU lainnya selain tahlilan dan ziarah kubur adalah peringatan maulid nabi. Maulid nabi bukanlah fenomena kemarin sore, tapi sudah lebih dari seribu tahun yang lalu. Dalam bahasa Arab, Maulid berarti kelahiran. Perayaan malid nabi, dengan demikian berarti, perayaan atas kelahiran nabi. Nabi yang dimaksud di sini siapa lagi kalau bukan nabi akhir zaman, manusia paling sempurna yaitu Nabi Muhammad SAW.
Orang NU melaksanakan maulid nabi secara rutin pada bulan Rabiul Awwal, atau orang-orang juga menyebutnya dengan bulan mulud atau maulid. Pada bulan inilah lantunan shalawat bergema di seantero kampung-kampung, ada yang di masjid, majelis, rumah-rumah warga, dan lain sebagainya. Dalam acara itu biasanya dibacakan kitab barzanji karangan Syekh Ja’far Al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim (1690-1766 m).
Tradisi NU lainnya yang berkembang di masyarakat seperti acara nujuh bulan atau dalam tradisi Jawa disebut mitoni atau tingkeban, yakni selamatan kehamilan pada usia 7 bulan yang biasanya sang tuan rumah mengundang warga untuk hadir ke rumahnya. Dan masih banyak lagi tradisi atau ritual keagamaan yang dilakukan warga NU.
Tradisi yang berkembang di masyarakat NU tidak semata hanya kumpul-kumpul dan membacakan doa-doa saja, tapi di dalamnya juga terdapat hidangan bagi para warga yang hadir. Dalam acara Yanalil (yasin dan tahlil) di akhir acara akan ada jamuan dari sang tuan rumah yang biasanya berupa makanan-makanan siap santap dan minumnya terkadang teh hangat. Dalam acara maulid nabi, tingkeban, istighotsah, dan acara lainnya juga sama, ada jamuan berupa makanan dan minuman. Terkadang berupa daging ayam, bakso, soto, lontong tahu, gorengan lengkap dengan buah-buahan. Pada prinsipnya, penyuguhan makanan yang dilakukan pada saat acara-acara tersebut adalah bagian dari bersedekah.
Adanya jamuan makanan dan minuman pada setiap acara keagamaan yang dilakukan warga NU tersebut tentu saja bisa meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya bagi kaum pedagang atau pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Para pedagang yang dalam hal ini adalah orang NU, tentu saja akan merasa sangat senang ketika dagangannya dibeli buat acara-acara tersebut. Peran Jamiyah NU sebenarnya di sini, yakni membeli produk-produk atau makanan dan minuman di orang NU nya sendiri. Jadi membeli entah itu gorengan, bakso, soto, ager-ager, teh, kerupuk, aqua, dan lain sebagainya ya di warung-warungnya orang NU. Jadi tidak perlu membeli sesuatu di warung atau toko yang jauh-jauh, cukup berdayakan dulu warung tetangga yang milik orang NU.
Dari segi pendapatan, si pemilik warung atau toko jelas akan mendapatkan pendapatan dengan adanya acara-acara keagamaan tersebut. NU itu punya kekuatan berupa jumlah anggota yang banyak, yakni mencapai 90 juta orang di Indonesia. Misalkan, di setiap desa yang mayoritasnya warga NU, terdapat 20 pedagang, ada yang dagang gorengan, bakso, buah-buahan, sampai penjual teh kemasan dan itu semua kalau setiap banom atau lembaga NU ketika mengadakan acara beli jamuan makanannya di tempat tersebut, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang dirasakan sang pedagang. Ambil contoh, IPNU-IPPNU mengadakan rutinan yasin tahlil seminggu sekali, GP Ansor, ditambah mbak-mbak Fatayat, ibu-ibu Muslimat, belum lagi jamaah yasin tahlil ibu-ibu di setiap RT mengadakan sebuah acara setiap satu minggu sekali dan buat jamuan makanannya tidak perlu beli di warung-warung luar daerah, cukup berdayakan saja warung-warung atau pedagang di sekitar tempat tinggal itu sendiri.
Jadi dari sisi ekonomi, ada kebermanfaatan dengan adanya acara-acara keagamaan NU terhadap pendapatan seorang pedagang atau pelaku UMKM di sebuah desa tersebut. Makanya dulu sempat ada gerakan ‘Belanja di Warung Tetangga’. Program inilah yang seharusnya konsisten dilakukan oleh setiap jamiyah NU beserta badan otonomnya. Cukup beli jamuan makan dan minum di warung terdekat saja, tak perlu yang jauh. Jadi dengan demikian, masyarakat biasa yang berprofesi sebagai pedagang, dalam hal ini adalah warga NU kultural akan merasakan dampak positif dengan hadirnya NU struktural di tengah-tengah masyarakat.
Antara NU kultural dan NU struktural harus saling bersinergi, khususnya dalam pemberdayaan ekonomi. Karena dengan membeli produk lokal, kita turut berkontribusi mendukung eksistensi para pedagang di desa, terutama UMKM dan otomatis ikut menggerakkan perekonomian warga. Apabila Nahdliyin ekonominya kuat, maka NU dan Indonesia akan juga kuat. Begitu juga sebaliknya.
Khairul Anwar, Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kabupaten Pekalongan, Wakil Ketua Bidang Ekonomi dan Sosial PR GP Ansor Karangjompo, Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Pekalongan
Terpopuler
1
LDNU Rembang Gelar Lomba Dai-Daiyah Perdana, Berikut Daftar Pemenangnya
2
PWNU Jateng Desak Pemerintah Tinjau Kembali Kebijakan Full Day School
3
Pemprov Jateng Hapus Tunggakan Pajak Kendaraan dan Denda Mulai 8 April
4
Safari Ramadhan Terakhir GP Ansor Margasari di Bukasari, Meriah dengan Khotmil Qur'an dan Ceramah Dai Gemoy
5
Ansor Borong Takjil, Inovasi Berbagi di Pringapus untuk Bantu Pedagang Kecil
6
Kapan Nikah? Bukan Soal Cepat atau Lambat, Ini Jawabannya
Terkini
Lihat Semua