Opini

Bijak Mengidolakan Budaya Luar: Menyaring Nilai Positif Tanpa Kehilangan Jati Diri

Jumat, 20 September 2024 | 14:00 WIB

Fanatisme terhadap budaya atau ideologi dari negara lain adalah fenomena yang cukup umum di banyak bagian dunia, termasuk di Indonesia. Namun, yang menarik untuk diperhatikan adalah mengapa beberapa orang di Indonesia begitu fanatik terhadap budaya Arab atau Barat. Bukan berarti bahwa mencintai atau menghormati budaya lain adalah hal yang salah, tetapi ketika rasa cinta itu berubah menjadi fanatisme yang berlebihan, kita perlu mempertanyakan motivasi di baliknya.


Pertama-tama, mari kita berbicara tentang fenomena fanatisme terhadap budaya Arab. Salah satu alasan utama mengapa beberapa orang di Indonesia sangat mengidolakan budaya Arab adalah karena pengaruh agama. Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dan banyak yang melihat budaya Arab sebagai representasi yang paling otentik dari Islam. Mereka menganggap bahwa mengikuti budaya Arab, termasuk cara berpakaian, berbicara, dan berperilaku, adalah cara terbaik untuk menjalankan agama mereka. Fenomena ini bisa dilihat dalam cara beberapa orang memilih untuk memakai jubah, menumbuhkan jenggot, dan menggunakan bahasa Arab dalam percakapan sehari-hari, meskipun mereka tinggal di Indonesia dan bahasa ibu mereka adalah bahasa Indonesia.


Namun, masalah muncul ketika rasa cinta terhadap budaya Arab ini berubah menjadi fanatisme yang berlebihan. Ketika seseorang mulai meremehkan atau bahkan mengharamkan budaya asli Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan budaya Arab, kita mulai melihat adanya ketidakseimbangan. Budaya Arab dianggap sebagai satu-satunya cara yang benar untuk menjadi muslim, sementara budaya lokal dianggap kurang Islami atau bahkan bid'ah. Ini menciptakan perpecahan di antara masyarakat, di mana yang satu merasa lebih superior dari yang lain karena cara mereka berpakaian atau berbicara. Padahal, menjadi muslim tidak berarti harus mengadopsi budaya Arab sepenuhnya. Islam adalah agama yang fleksibel dan bisa diaplikasikan dalam berbagai konteks budaya.


Selain itu, ada juga kecenderungan untuk mengidolakan budaya Barat. Ini sering kali berakar pada rasa inferioritas atau ketidakpuasan terhadap keadaan di dalam negeri. Banyak yang melihat Barat sebagai puncak peradaban modern dan ingin meniru segala sesuatu yang berasal dari sana, mulai dari gaya hidup, teknologi, hingga nilai-nilai sosial. Orang-orang ini menganggap bahwa dengan mengadopsi budaya Barat, mereka akan menjadi lebih maju dan dihormati oleh dunia luar.


Namun, seperti halnya dengan fanatisme terhadap budaya Arab, fanatisme terhadap budaya Barat juga bisa berbahaya. Ketika seseorang mulai meremehkan atau meninggalkan nilai-nilai dan budaya lokal demi menjadi "lebih Barat," kita melihat adanya kehilangan identitas nasional. Budaya Indonesia yang kaya dan beragam mulai terpinggirkan dan digantikan oleh sesuatu yang dianggap lebih modern dan superior. Ini menciptakan ketegangan sosial dan budaya, di mana yang satu merasa lebih maju atau lebih "internasional" dibandingkan yang lain.


Fanatisme ini juga mempengaruhi cara orang-orang Indonesia dilihat di luar negeri. Tidak peduli seberapa keras seseorang mencoba untuk menjadi Arab atau Barat, mereka tetap akan diperlakukan sebagai orang Indonesia di mata dunia. Paspor mereka tetap paspor Indonesia dan wajah mereka tetap wajah Indonesia. Bahkan jika seseorang mengadopsi semua elemen budaya Arab atau Barat, mereka tidak akan bisa mengubah kenyataan bahwa mereka berasal dari negara yang dianggap sebagai negara berkembang. Di mata dunia, mereka tetap akan dipandang sebagai "warga kelas ekonomi," bukan "kelas bisnis atau eksekutif." Ini adalah kenyataan pahit yang harus diterima oleh mereka yang terlalu fanatik terhadap budaya luar.


Sebaliknya, kita bisa belajar dari negara-negara seperti Jepang, yang berhasil memajukan diri tanpa harus mengorbankan budaya dan tradisi mereka sendiri. Jepang adalah contoh negara yang bangkit dari keterpurukan dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan teknologi terbesar di dunia, sambil tetap mempertahankan identitas budayanya. Orang Jepang tidak merasa perlu untuk menjadi "lebih Barat" atau "lebih Timur Tengah" untuk mencapai kesuksesan. Mereka bangga dengan budaya mereka sendiri dan berusaha untuk mengembangkannya sejauh mungkin. Jepang telah menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk menjadi modern dan sukses tanpa harus kehilangan jati diri.


Jadi, mengapa kita, sebagai bangsa Indonesia, merasa perlu untuk mengidolakan Arab atau Barat secara berlebihan? Mengapa kita tidak bisa bangga dengan budaya kita sendiri dan berusaha untuk memajukannya tanpa harus mengorbankan identitas kita? Mengapa kita tidak bisa menjadi Indonesia yang sesungguhnya, bukan imitasi dari budaya lain?
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan belajar dari budaya lain. Dunia ini penuh dengan kekayaan intelektual dan budaya yang bisa kita pelajari dan ambil manfaatnya. Namun, masalah muncul ketika rasa kagum itu berubah menjadi fanatisme yang berlebihan dan kita mulai meremehkan budaya kita sendiri. Kita harus ingat bahwa budaya Indonesia juga memiliki kekayaan yang luar biasa, dan kita harus berusaha untuk melestarikannya, bukan meninggalkannya demi menjadi "lebih Arab" atau "lebih Barat."


Lebih dari itu, kita harus kritis terhadap kecenderungan untuk mengidolakan budaya luar tanpa berpikir panjang. Mengadopsi elemen-elemen dari budaya lain tidak berarti kita harus meninggalkan atau meremehkan budaya kita sendiri. Sebaliknya, kita bisa mengintegrasikan hal-hal positif dari budaya lain ke dalam budaya kita, tanpa kehilangan jati diri kita sebagai orang Indonesia.


Misalnya, kita bisa belajar dari Barat dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi kita tidak perlu mengadopsi gaya hidup konsumtif yang merusak lingkungan atau nilai-nilai individualisme yang bisa merusak kohesi sosial. Kita bisa belajar dari budaya Arab tentang kesederhanaan dan spiritualitas, tetapi kita tidak perlu mengadopsi cara berpakaian atau berbicara yang mungkin tidak sesuai dengan konteks budaya kita.


Kita juga harus ingat bahwa tidak semua yang berasal dari Barat atau Arab adalah hal yang baik. Setiap budaya memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, dan kita harus bijak dalam memilih apa yang ingin kita ambil dan apa yang ingin kita tinggalkan. Kita harus memiliki kebanggaan dan kepercayaan diri sebagai bangsa Indonesia dan tidak merasa perlu untuk menjadi orang lain agar dianggap lebih baik atau lebih maju.


Sebagai penutup, fanatisme terhadap budaya Arab atau Barat adalah fenomena yang harus kita waspadai. Kita harus ingat bahwa identitas kita sebagai bangsa Indonesia adalah hal yang berharga dan kita tidak boleh kehilangannya hanya karena kita terpesona oleh budaya luar. Kita harus berusaha untuk menjadi bangsa yang maju dan modern tanpa harus kehilangan jati diri kita. Dengan begitu, kita bisa menjadi bangsa yang dihormati dan disegani di dunia, tanpa harus menjadi imitasi dari budaya lain.