• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

Relasi Agama dan Budaya dalam Tradisi Sekaten

Relasi Agama dan Budaya dalam Tradisi Sekaten
Perayaan sekaten (Foto: istimewa)
Perayaan sekaten (Foto: istimewa)

Masuknya agama Islam di Indonesia adalah studi yang menarik untuk dipelajari, karena dalam proses perkembangan Islam masuk melalui masyarakat pesisir yang bersifat terbuka terhadap pedagang baru, hal ini bertujuan untuk menjalin kerja sama. Berbeda dengan masyarakat di daerah pendalaman yang lebih tertutup, sehingga komunikasi hanya bisa terjalin dengan wilayahnya saja, tidak mengalami perkembangan. Inilah yang menyebabkan masyarakat pendalaman sulit menerima budaya baru dari luar wilayahnya seperti Islam. Di sisi lain masyarakat pesisir hidup yang hidup dekat dengan pelabuhan seringkali melihat kapal-kapal berdatangan sembari mensyiarkan agama Islam. 

 

Selain masuknya ajaran agama Islam di Indonesia yang dibawa oleh para pedagang, letak Indonesia yang sangat strategis menyebabkan timbulnya pangkalan perdagangan yang turut serta membantu di dalam mempercepat persebaran agama, sehingga hal ini menyebabkan terjadi pembaharuan antara perdagangan dari berbagai bangsa dan pedagang dengan para penduduk setempat. Dengan terjadinya pembaharuan tersebut, maka kemudian terjadilah aktivitas saling memperkenalkan dan memberitahu tentang adat istiadat, budaya, bahkan agama yang dianut. Di dalam proses ini tidak hanya kegiatan perdagangan, akan tetapi juga terjadi asimilasi (pembaharuan dan kebudayaan) melalui pernikahan.

 

Dengan demikian, Islam akhirnya mudah diterima oleh masyarakat pesisir di Indonesia yang pada akhirnya menyebar secara perlahan lahan ke daerah di berbagai Indonesia. Maka terjadilah hubungan umat Islam secara dinamis berkaitan dengan identitas-identitas kelompok yang dikaitkan dengan identitas budaya, dalam hal budaya bisa mewujud identitas etnis, identitas tradisi lokal, maupun identitas pemikiran keagamaan. Dinamika hubungan dapat menuju kepada kerukunan internal umat Islam.

 

Adanya faktor-faktor yang mendukung ke arah kerukunan tersebut di antaranya adalah adanya tawar menawar budaya, sehingga memilih budaya mengajak kompromi yang menjadikan akulturasi budaya, dari budaya keduanya sama-sama melahirkan terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Faktor ruang temu budaya hal mana kebutuhan untuk hidup bersama memaksa semua untuk melakukan pertukaran sosial dan bekerja sama untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan. Strategi agama Islam dalam membangun kerukunan proses adaptasi dengan lingkungan penyebarannya  di antaranya melalui strategi kultural yaitu akulturasi dan membangun budaya dominan. Strategi berikutnya melalui struktural, yakni dengan bekerja sama membangun relasi dengan kekuasaan pemerintahan dan legalitas normatif untuk menjaga situasinya aman dan tertib.

 

Proses dinamika internal umat Islam dalam konteks agama dan budaya dapat dilihat dalam tiga bentuk relasi yaitu pertama relasi agama dan tradisi lokal, relasi agama dan etnisitas, serta relasi agama dan pemikiran agama. Contoh kasus yang terjadi pada masyarakat Aboge di Kebumen dan masyarakat tradisional di Tengger Pasuruan dinamikanya terbentuk dalam penerimaan kearifan lokal yang diterima bersama menjadi sosial. 

 

Dalam praktiknya, tradisi-tradisi lokal ini dapat menjadi kohesi sosial karena oleh para pemilik kebudayaan. Tradisi tersebut sebenarnya telah mengalami modifikasi sebagai bentuk akulturasi sehingga dapat diterima oleh masyarakat Jawa, tradisi tradisi masyarakat yang populer memiliki keterkaitan dengan tradisi tradisi sekarang keduanya masih terpelihara hingga saat ini.

 

Keberadaan budaya yang didominasi oleh kebiasaan perilaku masyarakat dipertemukan pada agama mampu mewujudkan pelestarian masyarakat menjadi lebih harmonis, salah satunya mewujudkan dalam tradisi sekaten. Pada upacara grebeg maulid dilakukan pula sekatenan. Perayaan sekaten di Keraton Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta adalah dua bentuk kebudayaan yang terpadu, yaitu kebudayaan kraton Hindu dan Jawa dengan kebudayaan Islam.

 

Perayaan sekaten di Surakarta misalnya, menggunakan dua perangkat gamelan yaitu di sebelah selatan kiai guntur madu sebagai lambang 'syahadat tauhid' dan sebelah utara kiai guntur sari yang melambangkan 'syahadat rasul'. (Prabu Winata, wawancara)

 

Dengan demikian, Islam tersebut mengalami penyesuaian dengan lingkungan masyarakat setempat di antaranya kebudayaan dan peradaban. Dalam sekaten terjadilah proses hubungan budaya Islam dalam budaya Jawa. Perayaan sekaten ini multidimensi selain sebagai media dakwah Islam, juga sebagai ekonomi sarana hiburan sarana wisata. Dalam keraton juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan kebudayaan dan syiar agama.

 

Ajaran yang dapat diperoleh dari perayaan sekaten adalah makna simbolik dan perilaku simbolik yang terdapat di dalamnya. Apabila dikaji secara cermat, sekaten mengandung nilai-nilai perilaku yang terjadi di dalamnya. Sebagian nilai-nilai yang terkandung di antaranya nilai-nilai religi dan kultural lewat simbol-simbol yang tercermin dalam keseniannya. Nilai nilai yang telah diyakini secara mendalam ini menjadi hal yang subyektif.

 

Eksistensi sekaten berkaitan dengan tata nilai dari lingkungan masyarakat setempat yang biasanya berhubungan dengan kesuburan kemakmuran, keselamatan, dan kerukunan antarwarga. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.

 

Hubungan dan kolaborasi antara Islam sebagai teks besar dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam bingkai penundukan tetapi dipandang bahwa proses akulturasi yang berhasil semakin menunjukkan kekayaan atau beragam ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal.

 

Pelajaran yang dapat diambil dari perayaan sekaten yakni adanya proses dialektika yang panjang dalam upaya mewujudkan 'pribumi Islam' atau upaya membumikan Islam, proses pribumisasi Islam di tanah air. Biasanya, seringkali harus melibatkan budaya dan tradisi lokal yang ada tentunya dengan pembacaan yang kritis dan pemaknaan yang lebih terbuka. Sikap kritis dan kearifan yang diliputi semangat keterbukaan untuk menerima perbedaan dan mengutamakan dialog dalam menyikapi perbedaan yang ada harus selalu menjadi prioritas pertama. Adanya kegiatan ini harus bisa dilestarikan supaya menjadi proses dialog antar budaya untuk menemukan kebersamaan dalam menghadirkan masyarakat yang lebih kondusif pluralis terhadap perbedaan.

 

Nur Laela Masruroh, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang dan aktivis IPPNU Kabupaten Kendal
 


Opini Terbaru