• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

Pandangan Imam Abu Hasan Al-Syadzali dalam Kitab Manakib Karya Kiai Dalhar Watucongol (1)

Pandangan Imam Abu Hasan Al-Syadzali dalam Kitab Manakib Karya Kiai Dalhar Watucongol (1)
Almaghfurlah KH Dalhar Watucongol, Muntilan, Kabupaten Magelang (Foto: Istimewa)
Almaghfurlah KH Dalhar Watucongol, Muntilan, Kabupaten Magelang (Foto: Istimewa)

Kiai Dalhar Watucongol, Muntilan, Kabupaten Magelang mewarisi semangat dakwah dan perjuangan dari ayah dan kakeknya. Sejak kecil, beliau haus akan ilmu agama, dengan mengaji dan belajar di pesantren. Pada umur 13 tahun, Nahrowi (Dalhar kecil) mulai belajar mondok. Ia mengaji kepada Mbah Kiai Mad Ushul di kawasan Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. 

 
Di pesantren ini, Kiai Dalhar belajar ilmu tauhid selama 2 tahun. Setelah itu, Dalhar kecil melanjutkan mengaji di kawasan Kebumen. Ayahnya menitipkan Kiai Dalhar di Pesantren Sumolangu, Kebumen di bawah asuhan Syekh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau dikenal sebagai Syekh Abdul Kahfi ats-Tsani. 

 
Ketika mengaji di Pesantren Sumolangu, Kiai Dalhar mengabdi di ndalem sang Syekh selama delapan tahun. Hal ini, merupakan permintaah Kiai Abdurrahman kepada Syekh Abdul Kahfi ats-Tsani. Pada tahun 1314 H/1896, putra Syaikh Abdul Kahfi at-Tsani berniat untuk belajar di Makkah. Sang Syekh memerintah Kiai Dalhar agar menemani putranya, yakni Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani. Di Makkah. Dua pemuda pengabdi ilmu ini diterima oleh Syekh Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani yang merupakan kerabat dari Syekh Ibrahim al-Hasani. 


Syekh Sayyid Muhammad Babashol, pada waktu itu merupakan Mufti Syafi'iyyah Makkah. Di Rubath kawasan Misfalah, Kiai Dalhar bersama Syekh Muhammad al-Jilani al-Hasani bermukim selama mengaji di Makkah. Pada tahun pertama Kiai Dalhar mengaji di Makkah, terjadi peristiwa penyerangan Hijaz oleh tentara Sekutu. Tanah Hijaz yang masuk dalam kuasa Turki Utsmani diserang oleh tentara sekutu. Syekh Muhammad al-Jilani mendapat tugas untuk berjuang membantu perlawanan tanah Hijaz, setelah 3 bulan mengaji. Sedangkan, Kiai Dalhar beruntung dapat terus mengaji selama 25 tahun di tanah suci. 

 
Di tanah Hijaz, nama 'Dalhar' menemukan sejarahnya, yakni pemberian dari Syekh Sayyid Muhammad  Babashol al-Hasani, hingga tersemat nama Nahrowi Dalhar. Kiai Dalhar memperoleh ijazah mursyid Thariqah Syadziliyah dari Syekh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari Sayyid Muhammad Amin al-Madani. 

 
Dari jalur thariqah inilah, Kiai Dalhar dikenal sebagai mursyid, sufi, ulama alim, sekaligus penggerak perjuangan pada masa kemerdekaan di Indonesia. Kiai Dalhar menurunkan ijazah thariqah syadziliyah kepada 3 orang muridnya yakni Kiai Iskandar Salatiga, Kiai Dhimyati Banten, dan Kiai Ahmad Abdul Haq. 

 
Ketika mengaji di Makkah, secara istiqamah Kiai Dalhar tidak pernah buang hadats di tanah suci. Ketika ingin berhadats, Kiai Dalhar memilih pergi di luar tanah Suci, sebagai bentuk penghormatan. Inilah bentuk ta'dzim sekaligus sikap istiqamah Kiai Dalhar yang telah teruji. Kiai Dalhar dikenal menulis beberapa kitab, di antaranya Kitab Tanwir al-Ma'ani, Manaqib Syekh as-Sayyid Abdul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar as-Syadzili al-Hasani, Imam Tariqah Saydziliyyah. 

 
Kiai Dalhar juga menjadi rujukan beberapa kiai yang kemudian menjadi pengasuh pesantren-pesantren ternama. Di antara murid Kiai Dalhar yakni Kiai Ma'shum (Lasem), Kiai Mahrus Aly (Lirboyo), Abuya Dhimyati (Banten), Kiai Marzuki Giriloyo serta Gus Miek. Gus Miek juga dikenal dekat dengan Kiai Dalhar. Dalam catatan Ibad (2007: 31), Gus Miek bisa membina hubungan dengan Mbah Jogoroso, Kiai Ashari, Gus Mad putra Kiai Dalhar, Kiai Mansyur, dan Kiai Arwani. 


Sebagai mursyid thariqah Syadzillah, KHDalhar Watucongol bukan saja membimbing jamaah dengan dzikir dan aurad Syadzillah semata. Namun juga membimbing secara literasi dengan menyusun kitab Manakib (sejenis biografi, lebih spesifik kepada hal-hal yang istimewa) Al-Imam Abu Hasan Al-Syadzali. Ini penting karena tradisi jamaah thariqah di Indonesia lebih cenderung kepada pemahaman dan pengamalan secara tutur (dawuh-dawuh) dan laku mursyid yang kemudian ditiru dan diamalkan. Sekalipun pola seperti ini sekalipun telah menghantarkan para penganut thariqah pada maqam Ihsan (kedudukan dekat dengan Allah) tetapi bagi sebagian kalangan menjadi sulit untuk dikaji dari sisi fiqih, ketika satu dawuh, atau amalan ternyata tidak disebut dalam kitab-kitab primer fiqih. Bahkan memunculkan pemahaman yang bisa berbeda dengan para mursyid sebelumnya.


Menjadi menarik untuk dikaji bahwa kitab Manakib KH Dalhar menyebut dawuh-dawuh Al-Imam Abu Hasan, yang sepertinya sudah benar-benar dipilih oleh KH Dalhar bisa mudah difahami dan menjadi pedoman rujukan dalam mensikapi pelbagai persoalan. Setidaknya ada beberapa hal yang beliau kutip, yakni:

 
لا تختر من الأمر شيأ، واختر إن لا يختار 

"Jangan pernah memilih sesuatu, pilihlah terhadap perkara yang tidak dipilih". 


Sebuah bentuk dawuh tentang penting kepasrahan totalitas seorang hamba terhadap hal-hal di dunia ini, menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah sekalipun dalam benak seorang hamba hal tersebut bukan merupakan pilihannya. Karena bagi penempuh jalan thariqah termasuk sebuah kebaikan adalah ridha dengan ketentuan dari Allah. Sebaliknya termasuk sebuah sikap yang tercela bahkan dalam pandangan al-Imam Abu Hasan Al-Syadzali bisa membatalkan amal kebaikan adalah ketidaksukaan seorang hamba terhadap ketentuan (qadla) dari Allah SWT. 


Penempuh thariqah adalah orang-orang yang sudah sepenuhnya menghadap kepada Allah, maka beliau mengutip dawuh Al-Imam ketika seorang penganut thariqah sedang mendapati rasa berat untuk berdzikir, berkata-kata yang kurang bermanfaat, anggota tubuh terbuai syahwat, tertutupnya pintu tafakur dalam kemaslahatan maka Al-Imam memberi isyarat itu adalah bentuk dosa, karena ada kehendak munafik dalam pribadinya. Dan tiada jalan membersihkan hal tersebut kecuali dengan taubat, memperbaiki diri, berpegang teguh dengan Alloh, ikhlas dalam laku agama. Sebagaimana ayat:

 
إِلَّا ٱلَّذِینَ تَابُوا۟ وَأَصۡلَحُوا۟ وَٱعۡتَصَمُوا۟ بِٱللَّهِ وَأَخۡلَصُوا۟ دِینَهُمۡ لِلَّهِ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَۖ


"Kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan dengan tulus ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu bersama-sama orang-orang yang beriman". (QS Al-nisa : 146). 


Pada ayat ini beliau memberi dawuh kenapa Allah tidak mengatakan من المؤمنين tetapi mengatakan فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَۖ tentu perlu perenungan. Wallahu a'lam bis shawab

Abdul Aziz Idris, Wakil Katib Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Magelang


Opini Terbaru