Opini

Jatuh Tertimpa Es Teh

Rabu, 11 Desember 2024 | 09:00 WIB

Jatuh Tertimpa Es Teh

Ilustrasi es teh (Foto: Freepik)

Oleh: Zaenal Abidin


Belakangan ini, media sosial diramaikan dengan cuplikan video seorang penjual es teh bernama Sunhaji, warga Magelang, yang mendadak viral. Sosoknya menjadi sorotan, baik sebagai objek donasi, simpati, maupun empati netizen. Fenomena ini bermula dari pernyataan spontan Miftah Maulana Habiburrahman, atau yang akrab disapa Gus Miftah, dalam sebuah pengajian umum. Ucapannya menimbulkan polemik: apakah itu "olokan berkah" atau justru "olokan sampah"?


Gus Miftah menuai beragam reaksi, mulai dari sindiran hingga kecaman dari banyak pihak. Ujaran "goblok" yang terlontar dari lisannya dianggap melukai hati audiens dan memunculkan kritik tajam terhadap gaya dakwahnya yang dikenal ceplas-ceplos, layaknya kendaraan yang kehilangan rem.


Pepatah Arab mengatakan, “Likulli maqomin maqool” setiap tempat memiliki konteks perkataan yang berbeda. Dalam budaya Jawa Timuran, keakraban sering kali ditandai dengan kosa kata yang terkesan kasar. Namun, jika hubungan tidak cukup erat, penggunaan bahasa seperti itu justru berpotensi menimbulkan permusuhan dan emosi.


Penting kiranya memahami komunikasi agar memiliki penilaian objektif dalam kasus viral ini. Pada pihak Pro Sunhaji, melegitimasi ‘serangan’ virtual berupa hujatan dan cercaan kepada Gus Miftah sebagai sebuah tindakan amoral yang pantas mendapat eksekusi langsung. Ia sangat tidak pantas menjadi seorang panutan, tidak layak mendapat sebutan Gus ataupun Kiai, ataupun tidak memiliki kapasitas menerangkan agama.


Kontroversi dan Persepsi


Di sisi pendukung Sunhaji, hujatan kepada Gus Miftah dianggap sebagai respons wajar atas tindakan yang dinilai amoral. Sebagian bahkan menyatakan bahwa beliau tidak pantas disebut sebagai Gus atau Kiai, apalagi menjadi panutan dalam berdakwah. Kritik ini berkembang hingga pada meme yang menyindir, seperti "lebih baik penjual es teh daripada penjual agama."


Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa Gus Miftah telah lama dikenal sebagai pendakwah yang menjangkau wilayah yang jarang disentuh. Beliau menceburkan diri ke dunia malam, lokalisasi, dan tempat-tempat yang penuh tantangan moral, membawa pesan dakwah di tempat-tempat yang sulit.


Kendati demikian, bahasa yang digunakan Gus Miftah sering kali disesuaikan dengan konteks audiensnya. Dalam bahasa balaghah, gaya komunikasi beliau pada pengajian kali ini kurang tepat secara muqtadlol hal tidak sesuai dengan konteks tempat dan audiensnya. Jika disampaikan di tempat yang akrab dengan gaya tersebut, mungkin akan diterima dengan gelak tawa, bukan amarah.


Pasca kejadian, Gus Miftah telah menunjukkan sikap dengan meminta maaf kepada Sunhaji secara langsung. Beliau juga mengklarifikasi ucapannya melalui video dan akhirnya memutuskan mundur dari jabatan strategis sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama. Langkah ini menunjukkan tanggung jawab moral yang patut diapresiasi.


Pembelaan dari Habib Zaidan, Gus Yusuf Chudlori Tegalrejo, Ketua Umum GP Ansor, Kiai Imam Jazuli Cirebon dan beberapa tokoh lainnya belum mampu meredakan emosional warga terhadap beliau. Pembelaan tendensius terhadap Gus Miftah dengan membenarkan segala olokan kotor juga tentunya bukan sebuah sikap tepat. Bahwa Gus Miftah kurang mapakke ucapan benar adanya. Akan tetapi olokan Gus Miftah menjadi bahan olokan baru oleh para pembenci kepada beliau. Apakah memproduksi olokan baru menjadikan pokok kasus menjadi selesai, pasti tidak.


Orang yang paling berhak memberikan penghakiman adalah Pak Sunhaji, sang penjual Es Teh. Beliau sudah memberikan hatinya untuk memaafkan, bahkan keberkahan hidup dengan banyaknya aliran donasi. Bisa jadi hal inilah yang penulis sebut dengan ‘olokan berkah’. Kiranya kita sebagai pemirsa tidak pantas untuk membuat olokan baru yang menjadi ladang dosa.  

 

Apalagi mengorek-ngorek konteks bahasa pendakwah lainnya untuk sekedar pansos. Bagi para pembenci, kasus Gus Miftah bisa menjadi bahan bakar penyulut api kebencian terhadap tokoh-tokoh lainnya yang berdakwah dengan bahasa yang penuh keakraban khas kiai Nahdliyin.



Gus Miftah dianggap mewakili dan merupakan bagian dari NU yang mampu mencuri perhatian tokoh tokoh besar..tidak hanya pejabat lokal tapi nasional..Disisi lain muncul Gus Gus muda Nahdliyin yang mampu mengikuti jejak dakwah GM. Gus Iqdam dan Gus Kautsar adalah sebagian dari para Gus yang mampu mendatangkan jamaah dalam jumlah besar.


Hampir semua layar medsos, mulai FB, IG, YT, Tiktok dan reels juga video video  pendek dipenuhi dengan kalam-kalam pendakwah NU. Kita sudah jarang melihat Hanan Attaki (yang baru NU) atau Da'i2 muda dari luar NU muncul di algoritma medsos kita. Gus Gus dan Pendakwah NU adalah ancaman bagi dakwah dan penyebaran ideologi mereka.


Menurut Penulis, Sak nakal-nakale anak, wong tuwo kudu tetep nganggep anak. NU harus menjaga aset-asetnya, termasuk Gus Miftah. Kritik dan evaluasi tentu diperlukan, tetapi menguliti kejelekannya hanya akan memberikan celah bagi pihak yang ingin menghancurkan citra NU. 


Gus Miftah memang salah, salah dalam mapakke diksi-diksi dunia preman dan dunia malam dalam panggung dakwah umat yang umum. Bahasa balaghohnya tidak muqtadlol hal. Klarifikasi dan permintaan maaf sudah dilakukan GM, pembelaan dari tokoh sekelas Gus Yusuf dan Bib Zidan tidak cukup bagi ummat, sekelas Kyai Imam Jazuli Cirebon mencoba meredam emosi netizen tetap saja tidak berkutik


Akhir kata, kita semua sedang diuji dalam kemiskinan, kekayaan, jabatan, atau ketenaran. Semoga kita dapat melewati ujian ini dengan baik.

 

Zaenal Abidin, Wakil Ketua MWC NU Sukorejo Kendal, Tenaga Pengajar Pondok Pesantren Darul Amanah Sukorejo Kendal