Oleh: Rifka Nafilatun Nafichah
Islam dan Fakta Kemiskinan
Baca Juga
Islam dan Terorisme
Fakta menunjukkan bahwa mayoritas negara dengan populasi Muslim tinggi cenderung memiliki pendapatan domestik bruto (GDP) yang rendah. Salah satu contohnya adalah Yaman, yang menurut laporan International Monetary Fund (IMF) pada 2024 hanya memiliki GDP sebesar 1.996 USD.
Dalam laporan IMF, dari 10 negara terkaya di dunia, hanya Qatar dan Uni Emirat Arab yang berbasis massa Islam berhasil menembus daftar tersebut. Hal ini seringkali menjadi alasan mengapa Islam dianggap termarjinalkan secara ekonomi. Namun, pandangan ini sesungguhnya bertentangan dengan fakta sejarah. Pada masa Dinasti Abbasiyah, Islam pernah menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia sebelum melemah akibat kolonialisme dan liberalisme Barat.
Konstelasi sejarah dunia ini melahirkan kontradiksi antara “Islam” dengan “Liberal”. Ibarat dua sisi mata uang, kalau “Liberal” di sebelah kanan maka “Islam” di sebelah kiri. Artinya, islam begitu konservatif dan tertutup, Islam terikat dan resisten pada kebaruan. Disampaikan dalam penelitian tentang tradisionaisme islam bahwa tradisionalisme telah menjadi orientasi agama muslim paling diikuti dalam sejarah muslim Indonesia (Faizin, A. 2022. Konservatisme Agama dan Pandemi Covid-19 (Studi Kasus Pandangan Kelompok Muslim Tradisionalis, Modernis, dan Revivalis di Indonesia).
Dr Kuntowijoyo dalam bukunya Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia mencontohkan bagaimana Islam begitu terbuka dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yakni ketika Islam terbuka dengan matematika dari India, logika dan filsafat dari Yunani (Helle-nisme) dan administrasi pemerintahan dari Persia. (Kuntowijowo. 1994. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Salahuddin Press Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta: Yogyakarta.)
Menghadapi kontradiksi antara “konservatif” dan “Islam” tentunya harus bijaksana perspektifnya, yaitu dengan melihat Islam sebagai budaya bukan melihat Islam dari sudut pandang agama. Islam dari aspek budaya merupakan kombinasi antara kapitalisme, teknokratisme dan sosialisme. Ibarat sebuah buah yang di dalamnya adalah Islam, maka kulitnya itu adalah kombinasi antara ketiga ideologi dunia yang sedang berkembang itu. Aspek agama yang dimaksud oleh Kuntowijoyo (1994) adalah nilai-nilai, filsafat, etika, dan estetika.
Fakta Kemiskinan di Kalangan Muslim
Kemiskinan yang dekat dengan masyarakat Muslim bukan disebabkan oleh Islam sebagai agama, melainkan lebih pada faktor-faktor struktural. Menjadi Islam dan miskin barangkali itu adalah sebuah fakta, tetapi menjadi miskin karena islam adalah kesalahan berpikir. Apabila kita membedah data-data dan menyambungkan logika analitis tentang kondisi ekonomi masyarakat muslim, cocok dikatakan bahwa kemiskinan cukup dekat dengan masyarakat muslim
Penulis kritis dari University of Melbourne, Vedi R. Hadiz dalam bukunya berjudul “Islamic Populism in Indonesia and Middle East” menuliskan bahwa populisme Islam terbentuk secara khususnya dari kalangan masyarakat miskin, masyarakat kelas menengah dan periferi kelas borjuis (Hadiz, R. Vedi. 2016. Islamic Populism In Indonesia and The Middle East. Cambridge University Press: United Kingdom.)
Sehingga benar bahwa kelompok masyarakat muslim mudah ditemukan pada kelas menengah ke bawah secara sosial dan ekonomi. Fakta ini penulis korelasikan dengan data dari negara Indonesia dan India pada kisaran lima tahun ke belakang. India mencatat bahwa muslim menjadi kelompok yang termarjinalkan secara ekonomi di negaranya.
Menurut survei India Debt and Investment Survey (AIDIS) dan Periodic Labour Force Survey (PLFS) dari Juli 2021 hingga Juni 2022 menunjukkan bahwa kekuatan aset dan level konsumsi muslim di India berada di bawah rata-rata agama lain (Hindu, Kristen dan Sikhism). Survei serupa juga mempublikasikan bahwa pada tahun 2018, masyarakat muslim di India menempati posisi terendah dalam rata-rata household assets.
Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan masyarakat miskin lebih banyak tersebar di daerah pedesaan dibanding perkotaan, dengan gap persentase sebesar 4,7 %. Artinya masyarakat miskin lebih banyak tersebar di area pedesaan. Adapun masyarakat pedesaan mayoritas beragama Islam.
Menariknya, warga NU turut tersenggol sebagai muslim miskin. Lantaran NU mayoritas memiliki basis massa di desa-desa dan berprofesi sebagai petani. Hal ini yang membuat NU terdampak dengan labelisasi poor-society.
Melihat fenomena di atas, Sebagai warga Nahdliyin, kita tidak perlu resah dengan stigma kemiskinan yang sering dilekatkan. Islam sebagai agama mengajarkan nilai-nilai kemandirian dan keadilan, yang dapat menjadi solusi dalam menghadapi tantangan ekonomi. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa kemiskinan bukan hanya masalah agama, melainkan hasil dari dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks.
Penulis: Rifka Nafilatun Nafichah, Mahasiswi FISIP Universitas Diponegoro Semarang.
Terpopuler
1
Promosi Doktor H M Faojin: Strategi Implementasi Kebijakan PAI di Sekolah Non-Muslim untuk Moderasi Pendidikan Agama di Indonesia
2
Menghidupkan Warisan Ulama Nusantara, Ma’had Aly Amtsilati Gelar Seminar Manuskrip dan Pelatihan Tahqiq Bersama Nahdhatut Turats
3
PAC GP Ansor Margasari Adakan Rapat Kerja Perdana Masa Khidmat 2024-2027
4
Khasiat Doa Akhir Bulan Rajab dan Puasa Menurut KH Achmad Chalwani
5
Program Makan Bergizi Gratis Mulai Berjalan di Pati Meskipun Sempat Terlambat
6
Peringatan Harlah Ke-102 NU, PCNU Banjarnegara Tekankan Kebersamaan demi Harmoni Masyarakat
Terkini
Lihat Semua