Krisis Moral dan Teknologi Tanpa Kendali: Penyebab Maraknya Kekerasan Seksual
Ahad, 3 November 2024 | 14:00 WIB
Husna Mahmudah
Kolomnis
Oleh Husna Mahmudah
Kasus kekerasan seksual yang marak terjadi menunjukkan adanya persoalan serius dalam moralitas masyarakat kita, di mana nilai-nilai etika yang semestinya menjaga kehormatan individu mulai terpinggirkan. Banyak pelaku merasa tidak akan diproses hukum karena budaya yang permisif terhadap perilaku menyimpang, sehingga mereka bertindak tanpa rasa takut. Ironisnya, korban sering kali justru mendapat stigma negatif, yang membuat mereka enggan berbicara atau melapor.
Fenomena ini menggambarkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat pendidikan moral dan karakter dalam masyarakat, agar tercipta budaya yang menghargai martabat setiap individu dan menolak segala bentuk kekerasan.
Gagalnya pendidikan moral dan penyalahgunaan teknologi adalah dua faktor utama yang turut berkontribusi pada tingginya angka kekerasan seksual, terutama di kalangan muda. Pendidikan moral sejatinya berfungsi membentuk karakter dan memberikan pemahaman tentang nilai-nilai etika.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya pendidikan moral sebagai fondasi pembentukan karakter. Al-Ghazali menguraikan sifat-sifat utama yang harus dimiliki seorang Muslim, seperti kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang. Ia menegaskan bahwa ilmu tanpa moralitas tidak akan bermakna, dan pendidikan seharusnya mencakup aspek spiritual serta etika. (Ahmad Ali al-Fauzi, 2013, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Ketika pendidikan moral ini tidak berjalan efektif, individu sering kali tidak memahami batas-batas perilaku yang sepatutnya. Minimnya pemahaman tentang hak asasi dan pentingnya persetujuan membuat sebagian remaja menganggap perilaku yang merugikan orang lain sebagai hal wajar.
Selain itu, perkembangan teknologi yang pesat juga memengaruhi cara berinteraksi, terutama melalui media sosial dan platform digital. Teknologi sering disalahgunakan untuk menyebarkan konten yang merendahkan, seperti pornografi dan kekerasan, yang mudah diakses sehingga membentuk persepsi keliru tentang relasi dan seksualitas. Tanpa bimbingan, remaja bisa terdorong meniru perilaku tersebut, yang akhirnya memperparah kasus kekerasan seksual.
Sikap bijak dalam menghadapi perkembangan zaman menjadi kebutuhan. Islam mengajarkan prinsip keseimbangan dalam menerima kemajuan teknologi melalui konsep al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Penting bagi kita untuk menyesuaikan diri dengan teknologi baru sembari mempertahankan nilai-nilai budaya dan agama. Inovasi harus dilakukan secara bijak dan tetap berpijak pada prinsip-prinsip Islam.
Hal ini sejalan dengan pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Imam Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang melihat ilmu dan teknologi sebagai sarana memahami ciptaan Tuhan. Menurut mereka, kemajuan teknologi mendukung pengembangan pengetahuan yang pada akhirnya mendekatkan manusia kepada Tuhan. (Zainal Abidin, 2020, Filsafat Ilmu dalam Islam, Yogyakarta: LKiS).
Untuk menekan tingginya angka kekerasan seksual, kita perlu menata kembali pendidikan moral serta memastikan penggunaan teknologi yang bijak. Pendekatan holistik melibatkan peran keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang secara bersama-sama membangun lingkungan aman dengan nilai-nilai moral yang kuat.
Terpopuler
1
Promosi Doktor H M Faojin: Strategi Implementasi Kebijakan PAI di Sekolah Non-Muslim untuk Moderasi Pendidikan Agama di Indonesia
2
Menghidupkan Warisan Ulama Nusantara, Ma’had Aly Amtsilati Gelar Seminar Manuskrip dan Pelatihan Tahqiq Bersama Nahdhatut Turats
3
PAC GP Ansor Margasari Adakan Rapat Kerja Perdana Masa Khidmat 2024-2027
4
Khasiat Doa Akhir Bulan Rajab dan Puasa Menurut KH Achmad Chalwani
5
Program Makan Bergizi Gratis Mulai Berjalan di Pati Meskipun Sempat Terlambat
6
Peringatan Harlah Ke-102 NU, PCNU Banjarnegara Tekankan Kebersamaan demi Harmoni Masyarakat
Terkini
Lihat Semua