Opini

Agama dan Rasionalitas: Menelusuri Perintah Berpikir Kritis dalam Perspektif Islam

Rabu, 2 Oktober 2024 | 20:00 WIB

Agama dan Rasionalitas: Menelusuri Perintah Berpikir Kritis dalam Perspektif Islam

Ilustrator: NU Online

Agama, terutama Islam, sering dianggap sebagai sumber kebenaran mutlak yang tidak dapat disangkal. Namun, penting untuk diingat bahwa agama juga mengajarkan umatnya untuk menggunakan akal dan berpikir secara kritis. Dalam Al-Qur'an, banyak ayat yang mendorong manusia untuk menggunakan akal dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah. Ungkapan seperti afala ta'qilun (apakah kalian tidak berpikir?), afala tubshirun (apakah kalian tidak memperhatikan?), dan afala tatafakkarun (apakah kalian tidak merenung?) sering kali muncul sebagai ajakan bagi umat manusia untuk menggunakan nalar dalam memahami ajaran agama dan fenomena kehidupan.


Al-Qur'an, sebagai kitab suci bagi umat Islam, menekankan pentingnya berpikir dan menggunakan akal. Beberapa ayat menunjukkan bahwa orang yang tidak memanfaatkan akalnya dianggap lalai dan tidak memahami maksud penciptaan. Salah satu ayat yang secara jelas menegaskan pentingnya penggunaan nalar adalah Surah Al-Baqarah ayat 44:


اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ


Artinya: "Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri kewajibanmu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (Al-Baqarah: 44)


Dalam ayat ini, Allah swt secara implisit memerintahkan manusia untuk merenungkan tindakan mereka. Perintah seperti ini banyak ditemukan dalam Al-Qur'an, mengajak umat untuk selalu menggunakan nalar dalam menjalankan agama, bukan hanya mengikuti secara buta.


Selain itu, Al-Qur'an tidak hanya meminta umatnya untuk berpikir tentang hal-hal yang bersifat ibadah, tetapi juga untuk memahami dunia dan alam semesta sebagai bukti kebesaran Allah. Dalam Surah Ali Imran ayat 190-191, Allah berfirman:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ ۝١٩٠ الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ۝١٩١


Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.” (Q.S Ali Imran: 190-191).


Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk merenungkan penciptaan alam semesta. Bernalar kritis di sini sangat penting, karena dengan memikirkan alam dan fenomenanya, manusia akan semakin memahami kebesaran Tuhan dan makna kehidupan. (M. Quraish Shihab. Logika Agama: Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal dalam Islam. Lentera Hati, 2005, hal. 87.)


Bernalar Kritis: Bukan Sekadar Pilihan, tetapi Tuntutan 


Berpikir kritis dalam beragama bukan sekadar anjuran, melainkan suatu kewajiban. Allah menganugerahkan akal kepada manusia agar mereka dapat membedakan antara yang benar dan salah, serta memahami ketentuan-ketentuan-Nya secara mendalam. Namun, kemampuan ini tidak muncul begitu saja, melainkan perlu dilatih dan dikembangkan secara terus-menerus.


Dalam konteks ini, dua kegiatan mendasar yang sangat penting adalah membaca dan menulis. Kemampuan ini menjadi landasan utama dalam membangun nalar kritis. Hal tersebut tercermin dari ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu Surah Al-Alaq ayat 1:


اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ۝١


“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!”. (Al-Alaq: 1)


Ayat ini sering dikaitkan dengan perintah untuk membaca. Namun, membaca di sini tidak hanya sebatas pada membaca teks secara harfiah, tetapi juga mencakup membaca alam, fenomena kehidupan, dan tanda-tanda kebesaran Allah. Membaca yang tersurat maupun yang tersirat akan mengantarkan manusia pada visi ketauhidan, yaitu pengakuan akan keesaan Allah.


Menulis adalah bagian penting dari proses berpikir, karena memungkinkan seseorang menyusun pemikiran secara sistematis, sehingga ide-ide yang ada di kepala bisa tertata dengan jelas dan mudah dipahami. Ketika menulis, seseorang dipaksa untuk merumuskan pemikirannya, yang pada akhirnya melatih kemampuan bernalar secara kritis.


Meskipun membaca dan menulis sangat penting untuk mengembangkan nalar kritis, kenyataannya budaya ini masih lemah di sebagian besar masyarakat. Bahkan di kalangan mahasiswa, minat baca dan tulis belum berkembang dengan baik. Banyak mahasiswa yang lebih memilih cara instan untuk menyelesaikan tugas akademik, seperti mencari referensi secara cepat dari internet tanpa memahami isinya secara mendalam.


Budaya pragmatisme dan kecenderungan berpikir instan menjadi penyebab rendahnya minat baca dan menulis. Di era digital ini, media sosial sering kali menjadi sumber utama informasi, meskipun keabsahan informasi tersebut belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam pemikiran dangkal dan tidak memiliki kemampuan untuk bernalar kritis.


Padahal, membaca dan menulis adalah kunci utama dalam pengembangan pemikiran konseptual. Tanpa kemampuan ini, sulit bagi seseorang untuk bernalar dengan mendalam dan kritis. Terlebih dalam dunia akademik, tradisi baca dan tulis seharusnya menjadi kegiatan utama mahasiswa. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya—budaya komunikasi lisan masih lebih dominan dibandingkan tradisi membaca dan menulis.


 Pentingnya Mengembangkan Nalar Kritis di Era Digital 


Di era kemajuan teknologi informasi dan media digital, tantangan untuk membangun nalar kritis semakin kompleks. Media sosial dan internet memang memudahkan akses terhadap informasi, tetapi sayangnya, banyak informasi yang kurang akurat atau bahkan menyesatkan. Kondisi ini menuntut masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih waspada dalam menerima informasi dan tidak langsung mempercayainya tanpa verifikasi terlebih dahulu.


Kemampuan berpikir kritis menjadi semakin penting dalam menghadapi derasnya arus informasi di era digital. Dengan berpikir kritis, seseorang dapat memilah informasi yang valid dan tidak terbawa oleh berita-berita palsu atau hoaks yang banyak beredar di media sosial.


Sebagai bagian dari masyarakat beragama, umat Islam harus mampu menerapkan nalar kritis dalam menghadapi berbagai tantangan ini. Islam sendiri tidak pernah melarang umatnya untuk berpikir kritis. Bahkan, banyak bidang dalam ajaran agama yang justru bersifat rasional atau ta'aqquli, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan muamalat (interaksi sosial) dan kehidupan sehari-hari.


Salah satu kesalahpahaman yang sering muncul adalah anggapan bahwa agama dan nalar kritis saling bertentangan. Ada yang beranggapan bahwa untuk menjadi religius, seseorang harus menerima segala sesuatu tanpa mempertanyakan atau meragukan. Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar.


Dalam Islam, ada dua jenis ajaran: yang bersifat ta'abbudi (yang harus diterima tanpa banyak pertanyaan) dan ta'aqquli (yang bisa dipahami dan dianalisis secara rasional). Contoh ajaran ta'abbudi adalah ibadah-ibadah yang sifatnya ritual, seperti shalat dan puasa. Sedangkan ajaran ta'aqquli lebih banyak terkait dengan urusan muamalat, seperti hukum-hukum sosial, ekonomi, dan politik. (Abid Rohmanu, Nalar Kritis Keberagamaan: Menguatkan Ruh dan Hakikat Agama (Yogyakarta: IRCiSoD, 2021), 96.)


Perintah untuk bernalar secara kritis lebih banyak diterapkan dalam urusan-urusan muamalat, di mana manusia diberi kebebasan untuk menggunakan akal dan pengetahuannya dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Dalam hal ini, nalar kritis bukan hanya diperbolehkan, tetapi juga dianjurkan agar umat Islam dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan memajukan peradaban.


Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika nalar kritis diabaikan, kemajuan suatu peradaban akan terhenti. Hal ini bisa kita pelajari dari sejarah kegelapan di Eropa pada Abad Pertengahan, dimana otoritas gereja mengkooptasi nalar kritis dan membatasi perkembangan ilmu pengetahuan. Akibatnya, Eropa mengalami stagnasi intelektual selama berabad-abad.


Hal serupa juga pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu pada era taqlid dan kejumudan, di mana umat Islam berhenti berpikir secara kritis dan hanya mengikuti pendapat-pendapat ulama terdahulu tanpa berusaha untuk memperbaiki pemahaman mereka. Akibatnya, peradaban Islam yang sebelumnya maju pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami kemunduran yang signifikan.


Dari sejarah tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa agama dan nalar kritis harus berjalan seimbang. Keduanya tidak boleh saling menegasikan, tetapi harus saling melengkapi. Ketika agama memberikan panduan moral dan spiritual, nalar kritis membantu manusia memahami dan menerapkan ajaran agama dalam konteks kehidupan nyata.


Agama mengajarkan bernalar secara kritis. Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya dalam memahami ajaran agama dan fenomena kehidupan. Kemampuan berpikir kritis tidak datang begitu saja, melainkan harus dilatih melalui aktivitas membaca dan menulis. Budaya baca dan tulis yang lemah di masyarakat, termasuk di kalangan mahasiswa, menjadi tantangan besar dalam pengembangan nalar kritis. Oleh karena itu, menumbuhkan minat baca dan tulis harus menjadi tanggung jawab bersama, baik oleh individu, keluarga, lembaga pendidikan, maupun masyarakat luas.


Selain itu, umat Islam harus mampu memadukan ajaran agama dengan nalar kritis, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan di era digital. Dengan demikian, agama dapat tetap relevan dan memberikan panduan yang jelas bagi umatnya dalam menjalani kehidupan modern. Semoga kita bisa belajar dari sejarah dan terus berupaya mengembangkan nalar kritis demi kemajuan peradaban umat manusia. Wallahu a'lam.