• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 28 April 2024

Opini

Nalar Arab dan Nalar Nusantara pada Kaidah Fiqih NU

Nalar Arab dan Nalar Nusantara pada Kaidah Fiqih NU
Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan kesamaan visi dan misi keagamaan ahlussunnah waljamah, berhaluan moderat, fleksibel, dan seimbang. NU dikenal sebagai organisasi wasathiyah yang lebih mengedepankan amar ma’ruf nahi munkar bil ma’ruf. Memandang sesuatu dengan sudut pandang yang beragam dan hati-hati, sehingga dapat dipastikan jawaban dari suatu problem yang dihasilkan oleh organisasi NU tidak berat sebelah, tidak radikal, dan frontal.
 

Organisasi yang masyhur dengan konsep moderatnya ini lahir dari orang-orang luar biasa yang memiliki kapasitas keilmuan agama serta sanad yang tidak diragukan lagi, hingga para beliau mengajarkan akhlak baik dalam melakukan hubungan kemanusiaan menuju mabadi khaira ummah. Salah satunya ialah prinsip Al-Istiqamah (Konsisten), yakni berkelanjutan dan tidak boleh berhenti untuk menjadi manusia yang baik, apalagi mengalami stagnasi. Di sinilah, manusia ditunutut untuk maju dan terus berkembang.

 

Hal ini juga tercermin bahwa sebelum lahirnya NU, Indonesia telah lebih dulu mengalami akulturasi budaya dan tradisi, antara budaya lokal dengan nilai-nilai Islam di masyarakat, sehingga melahirkan budaya baru di Indonesia. Hal ini tentu tidaklah menjadi problem yang berarti bagi NU, karena NU memiliki prinsip keagamaan yang dikenal Al-Adah Muhakkamah, artinya tradisi juga dapat menjadi aktivitas sosial keagamaan. NU melihat selama tradisi tersebut tidak kontradiktif dengan prinsip dogma umat Islam yang bersifat qath’i, dan mampu memberikan kesejahteraan dan kebaikan masyarakat, why not?. Sikap inilah yan kemudian melahirkan beberapa kaidah bagi NU dalam berperilaku, salah satunya yang masyhur adalah almukhafadhatu ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah.

 

Melalui kaidah tersebut, NU mampu bersikap fleksibel, multikulturalisme (menerima keberagaman) serta mampu menerima kebaruan. Kaidah ini menjadi salah satu rekonsiliasi agama dan budaya, di mana telah dipahami bahwa agama dan budaya tentulah suatu hal yang berbeda, dan mempunyai independensi tersendiri. Bahwa agama adalah wahyu dari Allah, sedangkan budaya merupakan produk hasil dari manusia. Dengan segala perkembangan teknologi, informasi serta ilmu pengetahuan inilah tidak menjadikan agama yang statis, melainkan dinamis, kreatif, dan inovatif demi kebaikan dan kesejahteraan masyarakat.  Hal ini mampu dipahami bahwa nalar yang digunakan oleh NU dalam kondisi demikian merujuk pada pengintegrasian terhadap 3 nalar, yakni Bayani, Irfani, dan Burhani. 

 

Dalam nalar Bayani telah dijelaskan bahwa Allah menciptakan akal bagi manusia dengan beberapa macam alasan dan sebab. Itulah mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Melalui akalnya, manusia mampu menemukan hal-hal baru untuk menjawab problematika kehidupan, yang tersirat dalam QS. Thoha:2 “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah”.

 

Dalam surat lain, Al-Qur’an justru menganjurkan manusia untuk berinovasi dan berpikir kreatif. Di mana Islam sendiri merupakan agama yang memuliakan orang-orang yang berpikir, tidak sedikit ayat di dalam Al-Qur’an membahas tentang kemuliaan akal. Ini bukti bahwa Islam menerima segala bentuk pembaharuan yang dihasilkan dari orang-orang yang mampu berinovasi dan berkarya melalui akalnya. 

Seperti yang termaktub dalam firman-Nya:

ذَلِكَ فِي إِنَّ مِنْهُ جَمِيعًا الأرْضِ فِي وَمَا السَّمَاوَاتِ فِي مَا لَكُمْ وَسَخَّرَ
يَتَفَكَّرُونَ لِقَوْمٍ لآيَاتٍ

 

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS Al-Jatsiyah: 13).

 

Dalam nalar Irfani, 'sekilas' terlihat bahwa kegiatan menerima pembaruan merupakan kegiatan yang jauh dari sifat para sufi dan wali yang lebih mengedepankan ukhrawi, dan menghindari diri dari hal-hal yang dapat menyebabkan manusia hubbuddunya. Akan tetapi, mari lihat realitas sufi kontemporer saat ini, seperti tokoh Thariqah dunia Habib Luthfi yang menyatakan pesan dakwahnya dalam International Conference hari pertama 2016 lalu, bahwa bela negara salah satunya dengan terus berkembang dan mengalami kemajuan di bidang pendidikan, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya, supaya tidak dibodohi oleh orang asing yang hendak memecah belah masyarakat Indonesia.

 

Hal ini menjadi konsep baru bahwa untuk masuk dalam ranah sufi tidak harus dengan mengasingkan diri dengan peradaban, karena menuju ma’rifat dan kasyaf dilakukan murni dari ketulusan dan niat hati yang baik serta kejernihan pikiran. Dari ijma-ijma ulama inilah yang kemudian menjadikan spirit bagi masyarakat untuk menyeimbangkan segala sesuatunya. 

 

Kepercayaan ini tentunya dihasilkan oleh ulama melalui perjalanan ruhaniyah panjangnya bersama sang Khaliq, bahkan Habib Luthfi sendiri setiap malam ditemui Rasulullah dalam mimpinya seraya ditepuk-tepuk punggungnya dan berkata “Bib, jaga NU”. 

 

Sedangkan dalam nalar Burhani, yakni secara singkat nalar yang membutuhkan hasil konkrit atau real product yang impactnya dirasakan manusia. Artinya, kaidah fiqhiyah ini memiliki nilai rasionalitas sendiri bagi kemakmuran manusia, salah satunya sifat-sifat kreatif dan inovatif yang mampu melahirkan produk-produk baru yang lebih memberikan nilai jual dari segi ekonomi, sehingga mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia secara luas, seperti dari sisi pendidikan, kesehatan, perindustrian dan lain sebagainya. 

 

Demikianlah korelasi seimbang dalam menganalisis kaidah NU tersebut melalui kerja nalar arab dan nalar lokal dalam menerima era kebaruan (atau dalam memahami sesuatu yang sering dikatakan bid’ah).

 

 

Nur Kumala, Aktivis Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten Pekalongan, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
 


Opini Terbaru