Taushiyah

Gus Baha: Makna 'Dlallan' dalam Surat Ad-Duha adalah Tidak Tahu, Bukan Sesat

Rabu, 11 September 2024 | 10:00 WIB

Gus Baha: Makna 'Dlallan' dalam Surat Ad-Duha adalah Tidak Tahu, Bukan Sesat

Gus Baha dalam acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Haul Masyayikh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, pada Senin (9/9/2024). (Foto: Tangkapan layar/Gusmuschennel)

Rembang, NU Online Jateng

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, memberikan penjelasan terkait tafsir Surat Ad-Duha dalam Tafsir Al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa. Menurut Gus Baha, kata Dlallan dalam surat tersebut dimaknai sebagai orang yang tidak tahu, bukan sesat. Hal ini disampaikan dalam acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Haul Masyayikh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, pada Senin (9/9/2024).

 

Dlallan makna aslinya bukan sesat, tapi tidak tahu,” jelas Gus Baha.


Lebih lanjut, Gus Baha menguraikan tentang kecerdasan KH Bisri Mustofa yang tergambar dalam karya-karyanya, termasuk dalam memilih makna Dlallan. Berdasarkan Tafsir Jalalain dan Tafsir As-Shawi, Gus Baha menjelaskan bahwa pada waktu itu Nabi Muhammad saw belum mengetahui syariat mana yang harus diikuti, mengingat ada syariat Nasrani, Yahudi, dan Jahiliyah.


“Jadi, yang dimaksud Dlallan adalah nabi tidak tahu harus mengikuti syariat yang mana,” katanya.


Gus Baha juga menegaskan bahwa Kiai Bisri tidak sembarangan dalam menafsirkan kata Dlallan, melainkan merujuk pada kitab-kitab tafsir terdahulu, khususnya Tafsir Jalalain yang menjadi sumber utama. Hal ini menunjukkan betapa alimnya Kiai Bisri dalam memahami makna tersebut.


“Betapa alimnya Kiai Bisri ketika memilih Dlallan dimaknai sebagai orang yang tidak tahu,” ujar Gus Baha.


Dalam kesempatan itu, Gus Baha juga menyampaikan analogi menarik tentang pilihan antara bisa terbang ke mana-mana atau menikmati kopi. Jamaah menjawab bahwa mereka lebih memilih menikmati kopi. Gus Baha kemudian mencontohkan seseorang yang menolak menjadi bupati atau menteri karena pekerjaan yang sangat padat. Jamaah pun lebih memilih menjalani kehidupan biasa dengan menerima takdirnya.


Hal serupa juga pernah dicontohkan oleh seorang sahabat Nabi. Meskipun miskin, ia berjalan dengan penuh keyakinan seperti orang yang tidak diridhai Allah. Namun, Allah justru ridha terhadapnya. Ketika ditanya alasannya, sahabat tersebut menjawab bahwa ia bangga menjadi pengikut Nabi.


“Saya ini orang melarat. Orang bilang saya tersiksa karena ikut njenengan (Nabi). Namun, saya justru bangga mengikuti njenengan meskipun makin melarat,” tutur Gus Baha.