Taushiyah

Rais Syuriyah PBNU: Jadilah Manusia yang Paling Banyak Memberi Manfaat

Rabu, 11 Juni 2025 | 09:30 WIB

Rais Syuriyah PBNU: Jadilah Manusia yang Paling Banyak Memberi Manfaat

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Haris Shodaqoh menyampaikan pentingnya menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama.

Semarang, NU Online Jateng

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Haris Shodaqoh menyampaikan pentingnya menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Kiai Haris menyampaikan hal ini dalam video berjudul KH Haris Shodaqoh: Jangan Sampai Hidupmu Merepotkan Orang Lain [Full Ceramah] yang diunggah kanal YouTube NU Online.

 

Dalam kesempatan itu, ia juga menegaskan bahwa ukuran kemuliaan seseorang bukan terletak pada status sosial atau kekayaan, melainkan pada sejauh mana ia mampu memberi manfaat kepada orang lain.

 

"Keberadaan kita di dunia ini diharapkan mampu menjadi pribadi yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain," tutur Kiai Haris, dikutip dari YouTube NU Online.

 

Menukil sabda Rasulullah ﷺ:

 

لا شيئ أفضل منهما الإيمان بالله و النفع للمسلمين

 

"Artinya: Ada dua hal, tidak ada yang paling afdhal selain keduanya. Yaitu beriman kepada Allah dan memberi keselamatan atau manfaat kepada orang lain,"

 

Menurut Kiai Haris, dua hal tersebut —iman dan manfaat bagi sesama— adalah fondasi utama dalam menjalani kehidupan. Seorang mukmin sejati akan menjadikan aktivitas dan profesinya sebagai bentuk ibadah yang dilandasi oleh iman dan berorientasi pada kemaslahatan umat.

 

"Apakah kalian pedagang, pegawai, santri, pengurus, atau kepala rumah tangga, semuanya akan mulia jika keberadaan kalian memberikan ketenteraman, kesejukan, dan rasa aman kepada orang-orang di sekitar kalian," ucapnya.

 

Pengasuh pesantren Al-Itqon Bugen Semarang ini menekankan agar para santri maupun siapa pun tidak menjadi pribadi yang merugikan atau menyusahkan orang lain. Ia mencontohkan bahwa di lingkungan pesantren pun, harus dijaga agar kehadiran seseorang tidak menjadi sumber keresahan.

 

"Jangan sampai kita hidup di tengah masyarakat atau di pesantren tapi justru membuat orang lain tidak nyaman. Itu bukan akhlak seorang mukmin. Apalagi seorang santri, harus jadi teladan," kata kiai kelahiran 1 Januari 1953.

 

Ia berharap, generasi muda, khususnya para santri, dapat berlatih sejak dini untuk menjadi pribadi yang membawa manfaat dalam lingkungan kecil seperti di kamar, di kepengurusan organisasi, hingga kelak dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat luas.

 

Dalam pesannya, Kiai Haris juga menekankan bahwa menjadi pribadi yang baik tidak bisa dilakukan secara instan. Semua butuh proses dan pembiasaan.

 

"Menjadi baik itu butuh latihan. Awal-awalnya pasti sering keliru. Tapi jangan putus asa. Justru karena kita sedang belajar, maka wajar kalau masih banyak salah. Tugas kita adalah terus memperbaiki diri," ujarnya.

 

Ia mencontohkan bahwa bahkan dalam hal berpakaian pun, seseorang bisa mengalami kesulitan jika tidak terbiasa. Seperti memakai peci atau sarung tanpa ikat pinggang, bisa membuat celaka jika tidak terbiasa. Begitu pula dengan akhlak: kalau tidak dilatih dan dibiasakan sejak dini, akan sulit terbentuk.

 

"Orang baik itu tidak lahir secara tiba-tiba. Maka saya berpesan kepada anak-anak semua, mari aktif belajar menjadi orang baik sejak sekarang. Kalau sudah tua, sudah bukan waktunya belajar akhlak," ujarnya.

 

Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga lisan dan sikap, terutama dalam pergaulan sehari-hari. Ia mencontohkan, hal kecil seperti tidak menyapa atau tidak tersenyum sebagaimana biasanya kepada teman, bisa menimbulkan rasa kecewa dan salah paham.

 

"Kalau biasanya ketemu teman itu senyum, tapi tiba-tiba tidak senyum, teman bisa merasa ada yang salah. Begitu pula kalau biasanya semangat menyalami, lalu tiba-tiba lesu, itu membuat orang lain merasa terganggu," terang kakak dari Rais PWNU Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh ini.

 

Dalam wasiat Sayyidina Ali karramallahu wajhah, lanjut Kiai Haris, terdapat pesan agar manusia menjaga adab dan rasa empati kepada sesama, terutama kepada yang kurang mampu.

 

"Kalau bertemu orang fakir atau miskin, jangan bicara soal duit. Jangan pamer perhiasan. Sebab mereka sudah cukup merasa sedih dan tertindas. Jangan sampai kita malah menambah beban batin mereka," ucapnya.

 

Ia mencontohkan, ibu-ibu yang memakai gelang atau kalung emas ketika bersilaturahim ke rumah tetangga yang miskin, bisa memicu rasa nelangsa atau bahkan membuat tetangganya bertanya-tanya pada suami mereka tentang kondisi ekonomi keluarga mereka.

 

"Itu hal kecil, tapi bisa berdampak besar pada perasaan orang lain. Inilah pentingnya adab dan empati," ujar Kiai Haris.

 

Lebih lanjut, dirinya mengajak hadirin untuk menjaga empati dalam kehidupan sosial. Salah satunya dengan menghindari perilaku yang menyakiti perasaan orang miskin.

 

Kiai Haris mengingatkan bahwa untuk menjadi pribadi yang unggul, seseorang harus memiliki empat hal: kecerdasan intelektual, ketakwaan, akhlak, dan kemapanan.

 

"Kalau kamu punya kecerdasan, kamu akan dimintai pendapat. Kalau kamu punya takwa, kamu punya agama. Kalau kamu punya akhlak, kamu punya harga diri. Dan kalau kamu punya harta, kamu akan punya wibawa. Tapi semua itu harus disertai hati-hati dan adab. Jangan sampai cerdas tapi tidak berakhlak," pungkasnya.