• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Rabu, 24 April 2024

Opini

Surat Cinta untuk Rekanita, Bercermin melalui Citra Diri Pelajar Putri

Surat Cinta untuk Rekanita, Bercermin melalui Citra Diri Pelajar Putri
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Salah satu citra diri dari seorang pelajar putri yang tertuang dalam Petunjuk Pelaksanaan Organisasi dan Administrasi (PPOA) Ikatan pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) 2018 adalah mampu mengenali diri sendiri, yakni memahami kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Mengenali diri untuk saat ini dan mengenali diri untuk menjadi siapa diri kita di masa mendatang yang menjadi konsep diri seorang pelajar putri. Sehingga perempuan mampu membentuk dirinya menjadi seperti apa yang ia kehendaki di kemudian hari.


Perempuan di hadapkan pada dua kesadaran penting, perempuan sebagai manusia dengan kesadaran biologisnya yang harus merasakan siklus mood swing saat pms, pengalaman pertama hamil, ngidam, dan lain sebagainya, serta perempuan sebagai pelaku yang andil dalam keberhasilan agama dan negaranya. Kesadaran ini menjadi peran penting yang harus dijalani perempuan, sebagai perempuan utuh dengan segala pengalaman kebutuhannya dan peran-peran penting lainnya yang juga harus disikapi dengan baik dan benar.


Maka, seorang hamba tidaklah hanya cukup mengenali kekurangan dirinya saja, karena dampaknya hanya akan membuat dirinya semakin terpuruk dengan keadaan, menyalahkan diri, menyalahkan keadaan, minder, hingga insecure yang berlebihan. Padahal, hidup terus bergerak dan membutuhkan problem solving di dalamnya. 


Semakin dewasa kita semakin berbeda dalam menyikapi kehidupan kita. Semakin dewasa kita di hadapkan pada problem kehidupan yang semakin beragam. Memutuskan sesuatu yang tidak hanya memikirkan kepuasan diri sendiri, tapi juga melibatkan kebahagiaan orang lain di sekitar kita. Socrates pernah mengatakan bahwa wajarnya manusia ketika semakin tinggi pendidikannya maka semakin luas pengetahuannya, semakin luas wawasannya maka semakin bijaksana tindakannya. Stigma Socrates ini tentu menjadi pelajaran berharga bagi kita yang hidup di zaman yang serba terbuka terhadap akses pengetahuan yang memaksa diri untuk open minded juga terhadap lika liku kehidupan di dalamnya.


Kita tentu menyadari bahwa tidak selamanya problem kehidupan harus disikapi dengan kesedihan. Ibnu Al-Qoyyim pernah menyinggung keadaan ini bahwa syaitan itu lebih menyukai manusia yang murung dan bersedih. Di sini tersimpulkan bahwa tidak banyak orang yang berhasil menyikapi masalahnya. Dalam kesedihan yang berlarut, menjadikan manusia semakin murung, galau, terus menangis, menyalahkan kegagalan diri, bahkan menyalahkan ketentuan dari Allah. Sehingga wajar jika dalam kesedihan yang berlarut-larut syaitan ikut andil di dalamnya mendorong manusia untuk berpikir negatif dan over thinking terhadap kekuasaan Allah. 


KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) pernah mengajarkan bahwa beristighfar itu seperlunya, namun bersyukur perlu untuk sebanyak-banyaknya. Ini menjelaskan kepada kita bahwa meminta ampunan atas segala kesalahan dan kekurangan sebagai makhluk itu perlu, tapi ada yang jauh lebih penting lagi adalah mensyukuri kenikmatan yang Allah berikan kepada kita sebagai seorang makhluk lemah namun dibekali Allah secara utuh antara akal, pikiran, hati, dan emosi.


Manusia perlu mempergunakan akal dan pengetahuan untuk kembali bergerak dan bertindak kepada hal yang lebih bermanfaat. Boleh menangis, boleh bersedih, tapi sekadarnya, karena fase itu akan segera berlalu. Dan tidak menunggu fase baru untuk datang. Kitalah yang mendorong fase itu tercipta, fase bangkit fase di mana kita menertawakan ketidaktahuan kita di masa lalu, dan mengatakan 'Aku akan lebih siap dan lebih kuat dengan problem–problem selanjutnya, aku akan lebih bijaksana mengambil keputusan, dan aku akan lebih berhati-hati menyimpulkan keadaan'.


Kartini pernah mengatakan bahwa sebagai perempuan kita berhak untuk tahu dan berpendidikan 'Saya yakin sedalam-dalamnnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh pada masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan dari menjadi guru, supaya kelak saya mendidik gadis-gadis kita. Untuk tidak taqlid (buta) terhadap budaya, tradisi, dan agama biar kritis dan sadar kalau mereka sedang ditindas saya ingin menuntut anak-anak, membentuk wataknya dan mengembangkan otaknya yang muda supaya mereka kelak dapat meneruskan segala hal baik lainnya. Jika para perempuan itu mendapatkan pendidikan yang baik, maka itu menjadi hadiah yang lebih membahagiakan bagi masyarakat kita'.


Lagi–lagi perempuan dituntut untuk kuat, didorong untuk menjadi perempuan yang siap dan berkemajuan dengan kehidupan. Karena majunya perempuan bukan berarti kalahnya laki-laki, justru semakin kuat wanitanya semakin kuat generasinya dan semakin kuat pula negaranya. 


Hal ini senada dengan makna 'wanita' menurut orang Jawa, di mana akronim dari 'Wani di Toto' (berani untuk ditata). Ust Fahruddin dalam kajiannya menegaskan bahwa dalam hidup ini tidak hanya butuh orang yang berani untuk menata, namun juga membutuhkan orang yang berani untuk ditata. Sebagian besar dunia kacau salah satunya disebabkan karena susahnya menemukan orang yang bisa untuk diatur. Hingga muncul perumpamaan bahwa sebaik-baiknya pemimpin, jika tidak ada wanitanya (red: wani ditoto) tidak akan mencapai puncak keberhasilan. 


Maka, karakter feminin perempuan mengatakan bahwa atribut sebagai perempuan tidaklah perlu disesali, justru dalam diri perempuan memiliki kesiapan mental yang dobel, karena kesiapan orang yang diatur jauh lebih banyak dibanding hanya mengatur. Jika mengatur manusia bisa membebaskan diri mereka, tentu berbeda dengan orang yang diatur yang harus lebih menerima dan praktiknya tidaklah sederhana.


Sehingga sangat sinkron terhadap kalimat masyhur 'dibalik laki-laki yang sukses pasti terdapat perempuan yang tangguh'. Bagaimanapun hebatnya laki-laki, mereka tidak akan mampu membawa dunia pada puncak kemajuan dan peradaban. Bukankah dunia hanya terdiri dari 2 orang saja, laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki yang hanya dipersilahkan untuk maju, maka peradaban hanya mencapai setengah kemajuan dan setengahnya lagi ada di tangan perempuan. Jika perempuan tidak diberi tempat untuk menjadi orang berkualitas, meminggirkan mereka, perempuan didiskriminasi, dikalahkan, dan dilemahkan, artinya kita sedang menciptakan generasi lemah dan terpinggirkan. Kasus ini menjadi gambaran penting bahwa agamapun tidaklah diskriminasi, di mana memandang setara keduanya dinilai dan dihargai secara sama. 


Kartini kembali menegaskan: “Bukan tanpa alasan, orang mengatakan kebaikan dan kejahatan dimulai dari anak bersama air susu seorang ibu, alam sendirilah yang kemudian menuntun manusia untuk melakukan kewajiban di bumi. Sebagai Ibu ialah pendidik pertama bagi anaknya, dipangkuannya anak mampu belajar merasa, berpikir, dan berbicara. Kebanyakan hal pendidikan pertama bukanlah tanpa arti untuk seluruh hidupnya, melalui tangan Ibulah yang meletakkan benih kebaikan dan kejahatan di dalam hati manusia yang tidak jarang sepanjang hidupnya. Lalu bagaimana dengan ibu Jawa sekarang dapat mendidik anak-anaknya jika mereka sendiri tidak terdidik, peradaban, dan kecerdasan Jawa tidak akan maju dengan pesat jika perempuannya masih terbelakang”.


Jayalah pelajar putri, menjadi pelajar yang terpelajar dan terdidik. Selamat hari lahir ikatanku, senandung dalam bingkai 'Revolusi Pelajar: Kolaborasi Inovasi Di Era Tranformasi Digital'


#jayalahpelajarputri
#harlahippnu67



Nur Kumala, IAIN Pekalongan, akivis Pelajar Putri Kabupaten Pekalongan


Opini Terbaru