• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Muktamar NU dan Pintu Awal Kebangkitan 'Bani' Gus Dur

Muktamar NU dan Pintu Awal Kebangkitan 'Bani' Gus Dur
Foto: Ilustrasi (istimewa)
Foto: Ilustrasi (istimewa)

Muktamar ke 34 Nadlatul Ulama (NU) di Lampung telah selesai dengan predikat 'layak diteladani'. Artinya, perhelatan lembaga tertinggi jamiyah diniyah tersebut selesai dengan happy ending sesuai dengan spirit yang dicanangkannya, yaitu suka cita bersama. Banyak produk yang telah dihasilkannya, meliputi banyak masail waqi'iyah, maudlu'iyah, qonuniyah, dan rekomendasi yang berskala nasional dan global. Juga telah terpilih duet top leader, KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam dan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai Ketua Umum PBNU masa khidmah 2022-2027. 


Muktamar ke-34 NU tersebut, menurut subyektivitas saya bisa dikatakan sebagai pintu awal kebangkitan 'Bani' Gus Dur. Aroma Gus Durianisme terasa sangat kuat, setidaknya spirit Gus Dur dijadikan salah satu motif Gus Yahya tampil sebagai salah satu kandidat Ketum PBNU dan keterlibatan keluarga inti Gus Dur, baik secara direct maupun indirect. 


Suasana kebatinan pra Muktamar seolah mengafirmasi 'Bani' Gus Dur harus dibangkitkan untuk menghidupkan Gus Durianisme. Karena itu figur-figur inti keluarga Gus Dur, seperti Hj Shinta Nuriyah Wahid, Alissa Wahid dan Yenny Wahid selalu menyertai Gus Yahya secara fisik maupun mental.


Komunikasi Gus Yahya Staquf dengan keluarga inti Dur telah terbangun secara intens, jauh sebelum Muktamar NU dihelat. Pada fase ini pula peran tangan dingin Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sebagai 'guide' profesional tidak bisa ditutupi. Dia seolah yang mengorkrestasi berbagai langgam menjadi sebuah simphoni yang selanjutnya menjadi kekuatan yang solid. Karena itu wajar, jika Gus Yahya pada pidato perdananya menyebut Gus Ipul sebagai pendekar Muktamar. 


Sama Tapi Beda


Sebenarnya KH Said Aqil Siroj dengan Gus Yahya, dalam konteks Gus Dur bisa dikatakan sama. Artinya keduanya sama-sama mengaku sebagai santri Gus Dur, juga sama-sama mengaku dibesarkan oleh Gus Dur. Dan tentunya, loyalitas keduanya tidak diragukan. Ikatan emosional keduanya bisa dikatakan tidak jauh berbeda. Tapi proses penempaan keduanya sepertinya memiliki dimensi yang berbeda, yang dipengaruhi faktor situasi dan kondisi. Karena itu cara mengimplementasikan berbakti kepada Gus Dur tentunya juga berbeda. 


Kiai Said Aqil Siroj mendapatkan perlakuan istimewa dari Gus Dur. Begitu dinilai sebagai pribadi yang cerdas dan alim, dia langsung diberi kesempatan menjadi pengurus harian PBNU, sepulang dari Saudi Arabia. Setelah itu posisinya semakin penting dari muktamar ke muktamar. Gus Dur juga sering menyanjung dan mengampanyekan kiai Said Aqil Siroj hampir setiap turba ke wilayah dan cabang. Hampir sama dengan Gus Dur memperlakukan Prof Mahfud MD. 


Serba Mulus
 
Bahkan, Gus Dur secara pribadi menjemput kedatangan kiai Said Aqil Siraj di Bandara Soekarno-Hatta ketika pulang ke Indonesia setelah sekitar 13 tahun belajar di Arab Saudi. Namun ternyata, sepertinya kiai Said Aqil Siroj terkesan kurang sepakat jika dirinya serba diberi kemudahan oleh Gus Dur. Dalam buku Santri Kinasih Kang Said Penerus Keilmuan Gus Dur dijelaskan bahwa beberapa kali dia 'kecewa' karena akhirnya tidak masuk kabinet Presiden Gus Dur, juga tidak didukung Gus Dur pada Muktamar NU di Makassar (Samsul Hadi dan A Rouf, 2021). Padahal dia merasa memiliki kontribusi yang signifikan via eksistensinya di Forum Demokrasi dan menjadi tink tank lahirnya partai politik yang didirikan Gus Dur. 


Sementara Gus Yahya Staquf melalui proses panjang dan nyaris menguras emosi. Meski dia sudah lama membangun relasi, bahkan beberapa kali diberikan kepercayaan, beberapa kali pula dia mendapatkan pelajaran, juga ujian. Secara logika politik, dia memiliki hak menjadi anggota MPR/DPR-RI menggantikan Mathori Abdul Jalil yang diangkat Presiden Megawati sebagai Menhan, ternyata dia gagal menggantikannya. Nasib serupa juga dialami ketika Prof Alwi Shihab diangkat Presiden Gus Dur menjadi Menlu. Ujian yang diterimanya itu belum cukup. Pada Pemilu 2004, dia kembali menjadi calon legislatif, dari partai yang sama. Dia bukannya ditempatkan di Daerah Pemilihan (Dapil) yang gemuk (Jatim/Jateng) tapi Dapil Kaltim. Padahal, dia sangat dekat dengan Gus Dur, bahkan menjadi Jubirnya. Lebih dari itu dia memiliki jabatan Wakil Sekjen serta jasa dalam proses kelahiran partainya. 


Gus Yahya sudah dua periode menjadi pengurus harian PBNU. Artinya, dia bisa memotret kondisi riil suasana kebatinan PBNU. Dia bisa mendeskripsikan, seberapa besar ide ide besar tokoh yang dikaguminya tersebut dipraktikkan dalam ber NU. Sepertinya ada sesuatu yang dianggap kurang dalam konteks melestarikan dan mengembangkan visi besar Gus Dur sekaligus perlakuan yang kurang proporsional terhadap keluarga Gus Dur. Tema dan spirit 'menghidupkan kembali' Gus Dur yang diusung Gus Yahya bisa dibaca sebagai sebuah kegelisahan yang antisipatif. Gus Yahya seolah akan memberikan insurance, bahwa jika dia terpilih sebagai Ketum PBNU, ide-ide besar Gus Dur akan dijadikan ruh semua program dan cara berfikir dalam ber NU secara konkrit. Bukan sekadar kamuflase sebagaimana dipraktikkan sebuah parpol. 


Apa yang dilontarkan oleh Gus Yahya dan tim intinya ternyata mendapatkan respons positif. 'Bani' Gus Dur yang kurang leluasa mengimplementasikan ide-ide besar Gus Dur, karena posisinya yang kurang strategis selama ini, juga bukan sebagai mainstream, menjadikan Muktamar NU sebagai momentum pintu masuk yang konstitusional dan elegan. Isu yang paling seksi didengungkan adalah regenerasi. Isu tersebut praktis menenggelamkan isu dikotomi PMII-HMI yang primordial dan tidak relevan. Melihat selisih suara (voting) yang diperoleh Gus Yahya sangat besar dari KH Said Aqil Siroj membuktikan bahwa Bani Gus Dur sebenarnya sangat kuat dan bisa menjadi gelombang besar untuk 'menghidupkan' Gus Dur. 


Dua Payung Besar


Gus Yahya sejak lama ingin 'menghidupkan' Gus Dur. Menghidupkan dalam perspektif yang simpel adalah memberlakukan, mempraktikkan, dan mengembangkan idealisme Gus Dur tentang peradaban. NU didirikan oleh para muasis untuk tujuan yang sangat luas yaitu sebuah peradaban. Hal itu setidaknya tercermin pada buku PBNU Perjuangan Besar Nadlatul Ulama karya KH Yahya Cholil Staquf (Mata Air, 2020) dan Biografi KH Yahya Cholil Staquf, karya Septa Dinata (LKiS, 2022).


Ide-ide besar Gus Dur meliputi banyak hal, tapi jika dikerucutkan minimal menjadi dua payung besar, yaitu payung keagamaan dan payung politik. Di dalam payung keagamaan, setidaknya ada NU yang Gus Dur memimpin selama tiga periode dan tentunya dia telah memiliki desain tentang NU. Desain ini yang barangkali dirasa Gus Yahya kurang utuh di tangan elite basis struktural NU sekarang ini. 


Gus Yahya tentunya akan membentuk kabinet PBNU yang pro Gus Dur. Saifullah Yusuf dan 'Bani' Gus Dur lainnya serta keluarga inti Gus Dur, seperti Alissa Wahid dan Yenny Wahid akan menjadi pilar utama dalam tekat 'menghidupkan' kembali Gus Dur. Tentu tidak semudah membalikkan tangan. Tentu banyak pihak yang meragukan kemampuan Gus Yahya dan kabinetnya PBNU. Sebab, Gus Dur adalah tokoh besar yang serba hadir dengan fisik dan ide ide besarnya, dia nyaris tidak bisa ditenggelamkan oleh arus ide dan intelektualitas para tokoh nasional maupun global serta senantiasa hidup ide-ide cerdasnya bagaikan kaki yang terus berjalan sepanjang jaman. Dari banyak hal, Gus Yahya berbeda dengan Gus Dur. Keilmuan, pengalaman, prestasi, karakter, dan modal sosial yang dia miliki sekarang ini berbeda dengan Gus Dur. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia akan memiliki sebagaimana yang dimiliki mentornya tersebut. 


Sebagaimana lazimnya orang yang melakukan sebuah perubahan, dia akan mendapatkan respons dan reaksi yang tidak ringan. Pihak yang pro status quo, juga mereka yang gagal keinginannya, dimungkinkan akan melakukan subordinasi dan reaksi yang kontra produktif. Tapi, dengan niat yang bulat dan tujuan mulia, Insyaallah semua rintangan dan hambatan akan bisa dilewatinya. Di dalam payung parpol, setidaknya ada PKB, di sini pula Gus Dur sebagai pendiri sekaligus sebagai Ketua Dewan Syuro untuk beberapa waktu. Dalam konteks relasi Gus Dur dan PKB, sejarah telah mencatat, telah terjadi dinamika yang memprihatinkan. Pada titik ini, akhirnya Gus Dur 'terpental' dari partai yang didirikannya. Sebagian besar menyatakan sebagai sebuah tragedi, tetapi ada juga orang yang menyebutnya sebagai sebuah 'edukasi' untuk membesarkan seorang kader. Relasi yang dibarengi disharmoni tersebut tidak berhenti pada pribadi Gus Dur saja, tetapi juga menyeret keluarga inti Gus Dur. 


Dalam konteks relasi PKB dengan PBNU, sebelum Muktamar ke-34 NU, PKB terkesan sangat dominan. Netralitas NU nyaris penuh tafsir kepentingan politik. Padahal, netralitas NU merupakan salah satu ide besar Gus Dur. Kini, Muktamar ke 34 NU telah mengantarkan 'Bani' Gus Dur memimpin PBNU. Menilik berbagai statemen mandataris Muktamar, Gus Yahya Cholil Staquf bahwa dia akan mengambil jarak yang sama (equa distance) dengan semua parpol, termasuk dengan PKB. Mengambil sikap jarak yang sama, minimal bisa diinterpretasikan ke depan PKB tidak bisa dominan, atau PKB akan 'dibina' karena memiliki aspek historis. 


Dan, 'dibina' juga bisa diinterpretasikan akan 'didandani'. Artinya, yang bengkok akan diluruskan, yang usang akan diganti dan yang membahayakan akan dilepas. 


Kita tunggu saja apa yang terjadi. Tetapi melihat komposisi kepengurusan PBNU periode sekarang ini, kader PKB sudah 'sejajar' dengan kader parpol lain. Kita berharap sikap jarak yang sama yang diambil PBNU menjadi wasilah atau asbab keberhasilan tekat PBNU 'merawat jagat menjaga peradaban'. Wallahul a'lam bis shawab



H Ahmad Mufid Rahmat, mantan Ketua PW GP Ansor Jateng dan mantan Pengurus Cabang NU Boyolali


Opini Terbaru