• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 26 April 2024

Opini

Sifat-sifat Allah; Hiasan Ruhani, Mengenang perjuangan Nabi Ibrahim

Sifat-sifat Allah; Hiasan Ruhani, Mengenang perjuangan Nabi Ibrahim
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Ketika Nabi Muhammad merindukan Wahyu turun, maka Allah memalingkan beliau ke arah Ka'bah sebagai kiblat yang beliau ridla (senangi). Karena itu Allah memerintah, "hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid Al-Haram -yang di dalamnya ada Ka'bah-, dan di manapun engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu".


Umat Islam di bumi memiliki satu orientasi spasial (keruangan) yang sama yaitu Ka'bah. Hal ini juga melambangkan satu orientasi spiritual, bahwa diri manusia lahir batin terarah kepada Tuhan Allah Subhanahu wa Taala saja. Itulah sebabnya Sifat-sifat Allah adalah hiasan ruhani manusia, dimulai dari pengalaman yang diterima oleh Nabi Ibrahim, sang Kekasih Allah atau Khalilullah.


Keyakinan akan keesaan Allah adalah Tauhid, sebagai penemuan manusia yang terbesar dan tidak dapat diabaikan oleh siapa pun. Penemuan Ibrahim -yang tauhid- ini menyebabkan manusia yang tadinya tunduk pada alam beralih bahwa manusia menjadi mampu menguasai alam, serta dapat menilai baik-buruknya sesuatu. Monoteisme Ibrahim bukan sekadar merupakan hakikat keagamaan yang benar, tetapi sekaligus menjadi penunjang akal ilmiah manusia yang lebih tepat, lebih teliti dan lebih meyakinkan.


Yang dituntunkan oleh Ibrahim alaihissalam adalah neraca keadilan Ilahi yang mengajarkan semua manusia sama di hadapan Allah. Sekuat apa orang di muka, di seputar dan di sekitar Ka'bah sama dengan orang-orang yang lemah. Hakikat kekuatan diperoleh dari Allah, kelemahan pun atas hikmah kebijaksanaan-Nya.


Dilestarikan dengan Ibadah Haji


Dari sekitar 3.600an tahun lalu Nabi Ibrahim telah memulainya. Pada praktik selanjutnya disempurnakan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam seperti orang-orang yang merasa istimewa (al-hummas) enggan wuquf di Arafah yang memisah wuquf di Muzdalifah. 


Tapi sikap memisahkan diri yang dilatarbelakangi sikap superioritas dicegah oleh Al-Qur'an, "Bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah 2 : 199).


Bahkan Ka'bah yang dikunjungi itu memuat pelajaran yang amat berharga dari sudut kemanusiaan. Di dekatnya ada Hijr Ismail, secara harfiah berarti 'pangkuan Ismail'. Konon Ismail putra Ibrahim itu, juga sebagai pembangun Ka'bah tersebut pernah berada dalam pangkuan ibunya yang bernama Hajar, seorang perempuan hitam, budak, dan miskin. konon kuburannya pun berada di dekat Ka'bah. 


Namun demikian, peninggalan Hajar diabadikan oleh Allah di sana, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena atau status sosialnya. Akan tetapi karena taqarrub (kedekatan)-nya kepada Allah, dan usaha Hajar hijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban terbukti, Allah pun menerimanya.


Orang-orang berbaur melakukan thawaf, memberi kesan kebersamaan menuju satu titik tujuan yang sama dengan kesadaran ruhani meleburkan diri berada di dalam lingkup Hadirat Allah, mungkin identik dengan al-fana fillah menurut kaum sufi.


Allah Hiasi Ruhani Hamba-Nya


Dilakukanlah sai sebagai wujud gambaran usaha manusia mencari hidup yang dilakukan setelah tawaf dan muncul Hajar, budak perempuan bersahaja sang istri Nabi Ibrahim yang tidak lain adalah mencari air untuk memenuhi asupan bagi Ismail puteranya. Sungguh keyakinan perempuan ini terhadap kebesaran dan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Taala sangat kokoh yang terbukti jauh sebelum peristiwa usaha mencari air itu. Ketika itu Hajar rela bersedia ditinggal bersama putranya di suatu lembah yang tandus. Benar ridla-Nya menghiasi ruhani seorang ibu ini. Keyakinannya begitu amat dalam, bahkan tidak menjadikannya berpangku tangan hanya menunggu air hujan turun dari langit. Tetapi ia melakukan sai, berusaha dan berusaha mondar-mandir guna mencari kehidupan.


Ibu Hajar itu memulai sai dari bukit Shafa (kesucian dan ketegaran) berakhir di Marwa (ideal hamba bersikap murah hati, menghargai dan memaafkan). Sungguh makna-makna suci, tegar, murah hati, menghargai dan memaafkan. Allah hiaskan ke dalam ruhani hamba-Nya, mampu mengatasi dan melingkupi kehidupan.


Kelembutan makna kemanusiaan dan pengamalan nilai-nilai yang diajarkan Allah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya tidak hanya terbatas pada persamaan nilai kemanusiaan, tetapi mencakup nilai-nilai luhur yang berdasar fithrah (jati diri)-nya serta keniscayaan mampu mengarahkan diri di pentas bumi Lillahi Taala .


Allah adalah Tuhan yang diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim itu adalah Tuhan seru sekalian alam, Saya dan Anda pun di sini juga bisa membuat orientasi spasial (keruangan) yang sama menghadap arah Ka'bah. Saya dan Anda sama memiliki Tuhan Allah sebagai tujuan hidup yang dalam gambaran grafisnya kita menempuh hidup mengikuti jalan lurus (shirathal mustaqim) yang membentang antara diri kita sebagai das sein dan Tuhan sebagai das sollen. 


Dalam realitas kesehariannya, berarti manusia harus selalu berjuang untuk hidup sejalan dengan bisikan suci nurani (bersifat cahaya, suci-baik) dan hanya menghendaki kesucian dan kebaikan. Jalan lurus itu berhimpit dengan hati nurani, pusat dorongan jiwa manusia untuk liqa (bertemu) dengan Allah.


Keotentikan hidup yang dihasilkan iman kepada Allah hingga diperoleh hiasan ruhani, tentu didapatkan dengan menempuh jalan lurus (sabilul Haqq) dengan dasar sikap jujur dan 'sejati kepada hati nurani' true to one's conscience yakni hidup secara ikhlas (murni). Keikhlasan itu yang membawa kepada keutuhan hidup hamba. 


Selamat Idul Adha 1443 H. Dengan mengenang perjuangan Nabi Ibrahim alaihissalam, semoga Kita dapat membina diri untuk taqarrub ilalllah. Wallahu a'lam bis shawab


KH Sa’dullah Assa’idi, Rektor Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu) Jepara


Opini Terbaru