• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 29 April 2024

Opini

HARI SANTRI 2021

Santri, Penguatan Nilai Kebangsaan dan Reproduksi Ulama

Santri, Penguatan Nilai Kebangsaan dan Reproduksi Ulama
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Jumat Legi 14 Rabiul Awwal 1443 Hijriyah kemarin bertepatan dengan tanggal 22 Oktober 2021 merupakan peristiwa istimewa bagi para santri. Sebab, sejak terbitnya Keppres Nomor 22 Tahun 2015 oleh Presiden RI Ir H Joko Widodo Hari Santri ditetapkan. Penetapan Hari Santri tidak lepas dari peran santri turut serta dalam perjuangan untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di masa lalu. 

 

Lahirnya Hari Santri bermula dari fatwa yang disampaikan Pahlawan Nasional KH Hasyim Asy'ari. Pada 22 Oktober 1945 lalu, KH Hasyim Asy'ari memimpin perumusan fatwa 'Resolusi Jihad' di kalangan kiai pesantren. Fatwa yang ditetapkan pada 22 Oktober 1945 itu berisi kewajiban berjihad untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dengan melawan pasukan kolonial yang masih ada di Indonesia, hingga mencapai puncak perlawanan pada 10 November 1945 yang juga dikenal sebagai cikal bakal peringatan Hari Pahlawan.

 

Dalam terminologi pesantren, Santri adalah sebutan bagi seseorang yang menimba ilmu di pesantren dengan bimbingan kiai. Setiap hari bergumul (menyibukkan diri) dengan ilmu di pesantrean, yaitu lembaga pendidikan tertua dan sebagai cikal bakal pendidikan di Indonesia.  Berkaca dari term ini maka santri hanya terbatas pada orang yang belajar di pesantren saja. 

 

Namun belakangan muncul istilah yang lebih luas, sebagaimana dikemukakan KH Mustofa Bisri Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien Leteh, Rembang. Makna santri tidak hanya terbatas pada sosok yang nyatri belajar di pondok pesantren saja, tapi santri adalah orang yang memiliki 6 ciri sebagai berikut:

  • Santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat (yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan).
  • Santri juga adalah kelompok yang mencintai negaranya, sekaligus menghormati guru dan orang tuanya kendati keduanya telah tiada.
  • Santri adalah yang mencintai tanah airnya (tempat dia dilahirkan, menghirup udaranya, dan bersujud di atasnya) dan menghargai tradisi-budaya-nya yang menghormati guru dan orang tua hingga tiada.
  • Santri adalah kelompok orang yang memiliki kasih sayang pada sesama manusia dan pandai bersyukur.
  • Santri adalah yang menyayangi sesama hamba Allah yang mencintai ilmu dan tidak pernah berhenti belajar (minal mahdi ilãl lahdi) yang menganggap agama sebagai anugerah dan sebagai wasilah mendapat ridha tuhannya.
  • Santri ialah hamba yang bersyukur. 

 

Siapapun pun yang memiliki ciri 6 hal di atas layak mengaku dan disebut sebagai santri. Makna luas dari kata santri di atas adalah lebih kepada sifat, karakter, atau akhlak seorang santri. Jadi meskipun nyantri di pondok pesantren, tapi akhlak dan perilakunya tidak sesuai dengan perilaku santri, maka tidak pas atau kurang layak mengaku atau disebut sebagai santri.

 

Karakter pendidikan khas pesantren dengan model asrama (gotha’an) memungkinkan kiai mencetak seseorang yang tidak hanya menerima konsep ilmu teoritis belaka, namun juga mampu membentuk perilaku luhur santri, seperti andap asor, andarbeni, welas asih, nrima ing pandum, juga Hubbul Wathan atau cinta tanah air.  Sikap inilah yang nantinya dapat dijadikan bekal hidup ketika berada di tengah-tengah ketika sudah boyong dari pesantren. Tidak hanya itu saja, sikap positif didikan khas pesantren membentuk karakter santri yang berkaitan dengan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam UUD 1945 adalah nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai produktivitas, nilai keseimbangan, nilai demokrasi, nilai kesamaan derajat, dan  nilai ketaatan hukum.

 

Tujuh nilai kebangsaan di atas, diimplementasikan dalam pendidikan pesantren dalam berbagai program kegiatan dan rutinitas harian santri, mulai dari bangun tidur, saat pengajian kitab, musyawarah kitab, khitobah (belajar pidato), antri mandi dan nyuci, hingga berbagi makanan dan peralatan masak, peralatan mandi dan peralatan lainnya. Adanya aturan ta’zir (hukuman) bagi santri yang melanggar peraturan pondok, seperti membersihkan kamar mandi, WC, membersihkan halaman dan lain-lain. Ini semua merupakan bentuk tanggung jawab dan ketaatan hukum dalam lingkup pesantren.

 

Sikap dan prilaku santri inilah yang kemudian dapat mencetak sejarah bangsa ini bahwa santri menjadi salah satu motor penggerak perjuangan melawan penindasan penjajah kolonial, dengan titik kulminasi 'resolusi jihad' tanggal 22 Oktober 1945 dengan semangat mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

 

Tidak dapat dipungkiri, bahwa akar historis pesantren adalah lembaga pencetak dan pengkader ulama. Sebagian besar ulama dilahirkan oleh pendidikan pesantren dan sejenisnya. Dengan demikian fungsi pesantren sebagai lembaga reproduksi ulama hendaknya terus didorong untuk tetap dipertahankan keberlangsungannya. Pesantren tidak boleh kehilangan ‘jati dirinya’ di tengah gelombang pendidikan modern saat ini. Prinsip al-muhafazhatu 'ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, menjadi landasan dalam menghadapi derasnya arus perubahan. Pesantren merasa perlu untuk terus menerus secara kreatif merespons tantangan perubahan dalam pengelolaan pendidikan sekaligus menemukan pilihan yang lebih relevan, sesuai kebutuhan zaman. 

 

Peran pesantren dalam berbagai bidang tidak dapat dipandang sebelah mata, termasuk dalam hal kaderisasi atau reproduksi ulama. Setidaknya pesantren sudah malaksanakan langkah konkrit dalam melaksanakan ikhtiar reproduksi ulama. Langkah tersebut adalah pertama, membekali para santri dalam belajar agama secara intensif dari sumber otoritatif dan kitab kuning. Proses ini dilakukan dalam rangka untuk mendapat kedalaman ilmu agama. Kedua, pembiasaan berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagai proses pengamalan ilmu agama dan akhlak. Ketiga, pengajaran tentang pengabdian dan pengorbanan. Hal ini sebagai proses penguatan dan penegasan ghirah perjuangannya kepada masyarakat.

 

Momen hari santri ini hendaknya menjadi motivasi dan penyemangat santri di seluruh penjuru Nusantara. Para santri perlu terus mengasah pemikiran kritisnya atas perannya bagi masyarakat, sembari terus membangun kepercayaan diri bahwa perannya terus dinanti masyarakat Indonesia maupun dunia. Santri punya peran dan kesempatan untuk menyebarluaskan ajaran dan budaya Islam Indonesia yang kaya dan moderat di berbagai tempat dan bidang di mana mereka berada. Pada akhirnya, ini akan mendorong regenerasi sumber daya manusia dengan insan santun dan beradab di berbagai bidang demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

kiranya internalisasi dan refleksi Hari Santri. Santri Siaga Jiwa dan Raga mengandung maksud bahwa santri tidak lengah menjadi bagian bangsa Indonesia untuk menjaga kesucian hati dan akhlak, berpegang teguh pada akidah, nilai, dan ajaran Islam rahmatan lil alamin serta tradisi luhur bangsa Indonesia.

 

 

Ali Muhtarom, santri tinggal di Batang, Khadim Majelis Taklim Nurussalam dan Sekretaris Pengurus Cabang (PC) Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Batang
 


Opini Terbaru