• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

1 ABAD NU

KH Hasyim Asy’ari dan Peradaban Pendidikan di Indonesia

KH Hasyim Asy’ari dan Peradaban Pendidikan di Indonesia
ilustrasi KH Hasyim Asy'ari (Sumber: NU Online)
ilustrasi KH Hasyim Asy'ari (Sumber: NU Online)

KH M Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 M (bertepatan dengan 24 Dzulqa’idah 1287 H) di Desa Gedang, sekitar dua kilometer dari sebelah Timur Jombang, Jawa Timur. Muhammad Hasyim adalah nama yang diberikan oleh ayahnya, Kiai Asy’ari, pendiri Pesantren Keras, 8 KM dari Jombang.

Kakek Hasyim Asy’ari bernama Kiai Usman, adalah pendiri Pesantren Gedang di Jombang yang didirikan pada 1850-an. Sedangkan buyutnya, Kiai Sihah adalah pendiri Pesantren Tambak Beras di Jombang. Dilihat dari silisilah ini dapat diketahui bahwa Hasyim Asy’ari berasal dari keluarga dan keturunan pesantren yang terkenal.

Secara antroplogi sosial, para kiai Jawa saat itu memang terikat dalam ikatan kekerabatan yang intensitasnya sangat kuat. Oleh karena itu, tak mengherankan bila ketika itu muncul tesis bahwa kepemimpinan pesantren menjadi hak terbatas yang diperuntukkan bagi keluarga-keluarga kiai.

Sejak masih sangat muda, Hasyim Asy’ari yang diberi gelar Hadratus Syekh (Tuan Guru Besar) oleh para kiai dikenal sangat pandai, penuh ketekunan dan rajin belajar. Pada usia enam tahun ia mulai belajar agama di bawah bimbingan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, di Desa Keras, dekat Jombang, tempat ayahnya pindah dari Demak pada 1876 M.

Bidang-bidang yang dipelajari dari ayahnya antara lain tauhid, hukum Islam, bahasa Arab, tafsir, dan hadits. Dia demikian cerdas, sehingga pada saat berusia 13 tahun saja sudah dapat membantu ayahnya mengajar para santri yang jauh lebih tua daripada dirinya.

Pendidikan ke berbagai pesantren ditempuh Hasyim Asy’ari mulai usia 15 tahun. Dia berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa Timur dan Madura. Pada 1891 M, ia belajar di pesantren terkenal milik Kiai Ya’kub, Siwalan Panji Sidoarjo, Jawa Timur.

Baru setahun di pesantren ini, ia menikah dengan puteri gurunya, Khadijah. Pernikahan ini merupakan penghargaan dan kesan seorang guru terhadap muridnya. Kedua suami-isteri ini kemudian pada tahun 1892 M diberangkatkan oleh Kiai Ya’kub ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar.

Tujuh bulan di sana isteri Hasyim Asy’ari meninggal, akhirnya ia kembali ke Indonesia. Tiga bulan kemudian, ia berangkat lagi ke Arab Saudi untuk melanjutkan pendidikannya. Selama tujuh tahun di Makkah, Hasyim Asy’ari berguru di antaranya kepada Syekh Mahfudz al-Tarmisi ahli hadits, dan kepada Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau.

Dari berbagai perjalanan mencari ilmu dari pesantren ke pesantren, baik di Indonesia maupun luar negeri, kiranya pengetahuan Hasyim Asy’ari semakin luas dan bertambah. Oleh karena itu, wajar kalau sepulang dari Makkah, dada Hasyim Asy’ari telah dipenuhi ilmu agama, demikian komentar Mahmud Yunus (1995: 234), penulis dan pelaku sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Dalam rangka refleksi 1 Abad NU yang lahir pada 16 Rajab 1344 H (bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M), tulisan ini mencoba menelusuri secara historis kontribusi besar KH Hasyim Asy’ari bagi peradaban pendidikan di Indonesia.

Penggagas Metode Musyawarah

Beberapa bulan setelah kembali ke tanah Jawa pada 1899 dari pengembaraannya di kota suci Makkah, KH Hasyim Asy’ari mengajar di pesantren milik kakeknya, Pesantren Gedang. Pada 26 Rabiul Awal tahun yang sama, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng, di daerah dekat Kelurahan Cukir, Jombang.

Pesantren Tebuireng pada mulanya terdiri dari 28 santri yang diambil dari Pesantren Gedang. Lambat laun pesantren ini berkembang dan memiliki banyak santri yang berasal dari pulau Jawa dan daerah-daerah lain. Selain bermaksud untuk mengamalkan ilmunya, pendirian ini merupakan tradisi pesantren, yaitu bahwa seseorang yang telah menyelesaikan pelajarannya yang terakhir dan ingin mendirikan pesantren, maka ia dengan izin gurunya membawa serta santri-santri gurunya untuk mendirikan pesantren baru.

Pesantren Tebuireng pada mulanya hanya ditujukan bagi para santri yang hampir mencapai tahap sempurna. Oleh karena itu, untuk menghadapi santri-santri senior ini, inisiasi yang dimunculkan oleh KH Hasyim Asy’ari adalah memodernisasi metode pembelajaran pesantren yang sebelumnya hanya menggunakan metode sorogan dan bandongan. Terhadap santri-santri yang sudah senior itu, dia menerapkan metode musyawarah.

Dilansir dari website Pesantren Tebuireng, metode ini sejatinya merupakan pengembangan dari metode bandongan di mana seorang kiai dikelilingi secara melingkar (halaqah) oleh para santrinya, yang kemudian sang kiai menyajikan satu tema pelajaran dari Kitab Kuning.

Tema pelajaran ini kemudian dibahas dan didiskusikan oleh para santri di bawah bimbingan kiai. Para santri saling bertukar pendapat berdasarkan pengetahuan kitab kuning yang dimilikinya, sedangkan kiai hanya menjadi semacam moderator. Dengan metode ini diharapkan para santri dapat menumbuhkembangkan pemikiran-pemikirannya secara kritis, analitis, dan logis-argumentatif.

KH Hasyim Asy’ari berharap melalui metode ini para santrinya memiliki wawasan pengetahuan keagamaan pesantren yang mumpuni, sehingga ke depan dapat mendirikan pesantren-pesantren baru. Terbukti KH Hasyim Asy’ari berhasil mencetak santri-santri angkatan pertamanya untuk menjadi kiai dan berhasil mendirikan pesantren.

Zamakhsyari Dhofier (1994: 95-96) menyebut beberapa pesantren yang didirikan oleh alumni Pesantren Tebuireng angkatan pertama ini, di antaranya Pesantren Lasem (Rembang), Pesantren Darul Ulum (Peterongan, Jombang), Pesantren Mamba’ul Ma’arif (Denanyar, Jombang), Pesantren Lirboyo (Kediri) serta Pesantren Asembagus (Situbondo).

Metode musyawarah yang dipraktikkan oleh KH Hasyim Asyari itu sekarang menjadi warisan berharganya bagi peradaban pendidikan di Indonesia. Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM) yang saat ini diterapkan tidak lepas implementasinya dari penggunaan metode musyawarah, atau yang dikenal saat ini dengan diskusi kelompok.

Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar-Kampus Merdeka edisi IV tahun 2020, dengan berbasiskan SN-Dikti Pasal 14, menyebut empat belas metode yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran yang berpusat pada pembelajar, di antaranya adalah metode diskusi kelompok. Inilah alasan mengapa Hadratus Syekh sangat berkontribusi bagi peradaban pendidikan.

Sistem Madrasah dalam Pesantren

Pelajaran di Pesantren Tebuireng pada permulaannya hanya mementingkan pelajaran agama dan bahasa Arab semata. Kondisi ini sama dengan keadaan pesantren dan surau-surau lainnya di seluruh Indonesia. Hal ini merupakan suatu yang wajar, karena kiai dan ulama Indonesia pada masa itu kebanyakan memperoleh pelajaran di Makkah.

Kemudian ketika pulang ke Indonesia, otomatis mereka mengembangkan ilmu dan model pendidikan yang mereka peroleh selama di Makkah. Memang Makkah pada waktu itu merupakan pusat dan sumber pengajaran agama dan bahasa Arab. Hanya memerlukan waktu 10 tahun (1899-1916), Pesantren Tebuireng menjadi pesantren besar.

KH Hasyim Asy’ari dengan berbagai pengalamannya, baik ketika bersentuhan dengan kelompok pembaru maupun yang merupakan hasil tempaannya ketika di Makkah, kiranya tidak menutup diri terhadap gagasan pembaruan, terutama menyangkut modernisasi lembaga pendidikan pesantren, walaupun tetap menolak gagasan anti-mazhab.

Dengan sikap seperti ini, KH Hasyim Asy’ari pada 1916 menerima gagasan KH Ma’sum, menantu pertamanya, untuk mengenalkan sistem madrasah (klasikal) pada pesantrennya. Madrasah ini kemudian diberi nama  Madrasah Salafiyah yang khusus memberikan pelajaran Al-Qur’an.

Kemudian pada 1919 KH Hasyim Asy’ari juga menerima saran KH Moh Ilyas, keponakannya, untuk menambahkan pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Bumi kepada para santrinya. Mata pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah dimasukkan dalam kurikulum madrasah sejak 1926. Modernisasi Pesantren Tebuireng berikutnya dilakukan atas inisiasi putera pertamanya, yaitu KH Wahid Hasyim dengan mendirikan Madrasah Nidzomiyah pada 1934 M. Madrasah ini merupakan madrasah yang memberikan mata pelajaran umum 70% dari keseluruhan kurikulumnya.

Menurut Mukti Ali (1991: 11-12) sistem pendidikan agama yang paling baik di Indonesia adalah model madrasah dalam pesantren. Sebagaimana layaknya pesantren, Pesantren Tebuireng tetap menyelenggarakan pengajian kitab kuning. Akan tetapi, untuk memperluas wawasan santri, pesantren ini menyelenggarakan madrasah dalam pesantren sebagai bagian dari Pesantren Tebuireng itu sendiri.

Sistem penyelenggaraan madrasah dalam pesantren saat ini menjadi tren pendidikan Islam di Indonesia. Situs dataindonesia menyebut, hingga April 2022, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 26.975 unit dengan jumlah santri hingga September 2022 mencapai 1,64 juta santri. Dari jumlah ini, Buku Statistik Pendidikan Islam terbitan Kementerian Agama mencatat jumlah pesantren yang menyelenggarakan pembelajaran kitab kuning sekaligus layanan pendidikan lainnya semisal madrasah, mencapai 13.904. Artinya, 48.01% pendidikan pesantren di Indonesia menyelenggarakan sistem madrasah di dalamnya.

Model madrasah dalam pesantren tersebut kemudian diadopsi oleh berbagai lembaga pendidikan berbasis keormasan dengan kemasan berbeda. Kalau Tebuireng sejak awal adalah pesantren, kemudian mendirikan lembaga madrasah, sementara lembaga-lembaga lain bermula dari pendirian madrasah atau sekolah, baru kemudian mendirikan pesantren bagi para siswanya dengan sebutan boarding school.

Intinya, untuk konteks Indonesia, sistem pesantren yang terintegrasi dengan lembaga formal memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Animo masyarakat saat ini lebih suka menyekolahkan putera-puterinya ke lembaga formal yang terintegrasi dengan pesantren. Fakta ini menjadi kontribusi lain dari KH Hasyim Asy’ari bagi peradaban pendidikan Indonesia yang patut diapresiasi.

Merefleksi dari kilasan sejarah di atas dapat dikatakan bahwa KH Hasyim Asy’ari dengan dunia pesantrennya selalu berusaha untuk melakukan adaptasi, harmonisasi, dan adopsi dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Dengan ini, lembaga pesantren menjadi peradaban Indonesia yang memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi perubahan zaman, termasuk di era digital saat ini.

Namun demikian, di tengah-tengah ribuan pesantren yang ada saat ini, masyarakat diharapkan memiliki daya filter ketika memilih lembaga pesantren untuk putera-puterinya. Pesantren-pesantren yang memiliki garis historis dengan NU jelas memiliki semangat ideologi nasionalisme yang tinggi dalam mempertahankan NKRI, sebagaimana warisan KH Hasyim Asy’ari dan para kiai lainnya.

Pesantren adalah peradaban Indonesia yang terbukti tetap melembaga hingga saat ini. Untuk itu, perayaan 1 Abad NU dengan tema 'Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru' dapat dimulai dan tetap berlandaskan pada peradaban pesantren ini. Selamat merayakan 1 Abad NU! 

Toto Suharto, Guru Besar UIN Raden Mas Said Surakarta / Wakil Rais PCNU Sukoharjo


Opini Terbaru