• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Gagasan Peradaban Bukan melalui Fiqih Peradaban

Gagasan Peradaban Bukan melalui Fiqih Peradaban
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Sejenak terpikir oleh penulis, setelah beberapa kali melihat tulisan pada media NU Online Jateng memberitakan di beberapa pesantren mengadakan halaqah atau lebih inteleknya dengan sebutan seminar dengan tema 'Fiqih Peradaban' penulis menyimpulkan bahwa selama ini dunia ini tidak sedang baik baik saja, atau lebih spesifik terjadinya cengkarut marut dalam tatanan yang ada. 


Pesantren didorong untuk mengubah peradaban dengan serius atau mungkin pesantren yang selama ini diajarkan tentang kutubut turast atau karya para ulama salafushalih tidak menjadi relevan untuk diterapkan pada zaman kekinian? 


Atau sekadar seremoni seolah-olah bahwa dunia sedang tidak baik dan para intelektual didorong untuk bercampur tangan mengulas tetang tatanan zaman, sehingga dilarang berpangku tangan?. Perubahan itu manusiawi karena waktu adalah dinamis terus akan selalu berubah tanpa diubah, karena waktu terus akan berjalan, masyhur tanpa di hafalkan kaidah almuhafadzah tertanam pada para santri, menjaga ketentuan yang lama dan mengambil ketentuan baru yang lebih baik kaidah ini membuktikan bahwa dunia itu dinamis.
 

Fiqih Atau Al-fahmu


Fiqih itu memiliki makna etimologi mengerti/memahami, sedang makna terminologinya (ishtilahan) adalah pengetahuan tetang hukum-hukum syariat yang diperoleh melalui jalur Ijtihad.


Seperti yang kita ketahui bahwa niat di dalam wudhu itu wajib, shalat witir itu mandzub (sunnah), niat di malam hari merupakan syarat sahnya puasa Ramadhan, harta anak wajib dikeluarkan zakatnya dan tidak wajibnya dikeluarkan zakat pada perhiasan mubah, membunuh dengan benda tumpul adanya kewajiban qishas dan lainnya dari persoalan persoalan yang khilaf (debatabel) (Sarah waraqat jalaluddin almahaly hal 3).


Sementara fiqih yang diseminarkan justru mengkaburkan pokok bahasan tentang apa dan siapa yang dihukumi, karena mahkum harus adanya mahkum alaihnya, para panelis hanya menawarkan bagaimana tentang idealnya, atau gagasan yang berada di awang-awang, sambil berselancar masa keemasan ilmuwan dinasti Abasiyyah yang kekhalifahannya menumbangkan atau mengkudeta pemerintahan resmi Bani Umayyah yang Sunni itu. 


Para pembicara pada halaqah tersebut lebih cocok dengan sebutan menawarkan gagasan ideal atau ide tentang peradaban secara ideal, maka bukan fiqih dalam ishtilahan tetapi fiqih dalam pengertian lughowi (ethimologi).

 
Gagasan yang Sudah Dijalankan


Nahdlatul Ulama dengan segudang pemikir dan intelektual atau para ulama progresif dan konservatif komplit tergabung dalam organisasi/perkumpulan terbesar di dunia ini yang mampu memberi warna tersendiri pada pemikir di dunia ini khususnya Indonesia. Tahun 1936 yang lalu di Banjarmasin telah memutuskan bahwa pimpinan atau Presiden Sukarno waktu itu adalah Al-Waliyul amri ad-dharuri bis-syaukah. Kata ad-daruri bisa diartikan darurat, sementara, atau terpaksa. Sedangkan kata syaukah memiliki arti duri atau senjata. Sehingga Waliyul amri ad-daruri bis-syaukah bisa diartikan sebagai “pemegang otoritas yang bersifat sementara dengan kekuasaan penuh.”


Para ulama itu memutuskan dalam forum bahtsul masail pada muktamar yang diselenggarakan di Banjarmasin. Kiai-kiai tersebut dengan berbagai macam kelebihan dan keterbatasannya tumbuh besar dari kalangan tradisional (pesantren-pesantren salafiyah) jauh dari sentuhan teknologi juga bacaan pemikir modern. Para kiai kesehariannya memegang kitab fathul qarib, fathul mu'in, fathul wahab, dan seterusnya, tetapi dengan kejernihan dan kebeningan hatinya mampu menandingi pemikir Islam modern, sekalipun disematkan pada dirinya dengan sebutan kuno/konservatif.


Negara ini adalah negara kesepakatan/konsensus atau ijma' dapat diketahui bahwa ijma' adalah konsensus pada suatu masa terhadap hukum (ketetapan) dari suatu peristiwa. Dengan demikian kecocokan orang awam terhadap pendapat para ulama tidaklah diperhitungkan. (syarh waraqat jalaluddin almahali hal. 17).


Ijma' atau konsensus ulama mempunyai otoritas yuridis pada masa selanjutnya dan seterusnya. Menurut pendapat yang shahih ijma' memiliki kekuatan hukum yang mengikat tanpa ada syarat era ulama pelaku ijma' dengan sepeninggalnya. (hal. 18), maka konsensus para muasis NU tentang kebangsaan adalah gagasan peradaban yang tidak dilakukan pada era salafushalihin terdahulu. Masih banyak keputusan para ulama yang dibahas dalam tiap pembahasan persoalan kekinian untuk menjawab persoalan persoalan yang berkembang.


Penutup


Al-Mawardi (Abi Hasan bin Muhammad bin Habib  Al-Basyri Al-Bagdadi saat menulis kitab Ahkam As-Sulthaniyah pada mukadimahnya menyebutkan sangat pentingnya memahami persoalan hukum (ketentuan ketetapan) dengan memisahkan persoalan hukum dengan  kepentingan politik. Al-Mawardi mengilustrasikan karena seking cengkarutnya persoalan hukum dan semakin banyaknya orang disibukkan atau asyik dalam persoalan politik, tentunya pokok-pokok bahasan tentang pemahaman sosial kemasyarakatan dan kepentingan yang sangat urgent harus dijauhkan dengan persoalan politik.


Penulis memandang peradaban yang dibicarakan akan bias, kalau sekadar seminar tanpa lebih fokus, atau penekan dengan satu tema tertentu dan rampung, maka berpindah ke tema yang lain dan seterusnya. Maka diskusi ini akan lebih menghasilkan solusi, untuk menjawab persoalan kebangsaan dan kemanusiaan yang terjadi pada saat ini. Kesungguhan untuk mewujudkan tatanan baru yang lebih baik merupakan sebuah terobosan yang sangat mulia dan NU sebagai pemegang otoritas sawadil a'dham sangatlah berkepentingan. Wallahul a'lam bis shawab.


H Munib Abd Muchith, alumni Lirboyo '92, alumni Al-Itqon Semarang, Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng
 


Opini Terbaru