• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Perbedaan Pemahaman Islam dan Fiqih Peradaban 

Perbedaan Pemahaman Islam dan Fiqih Peradaban 
Halaqah Fiqih Peradaban (Foto: Ilustrasi/nu online)
Halaqah Fiqih Peradaban (Foto: Ilustrasi/nu online)

Akhir-akhir ini ada beberapa yang sering terdengar istilah Islam wasathiyah, Islam berkemajuan, Islam Nusantara, Islam moderat, Islam liberal, Islam fundamental. Ada juga yang 'Islam' begitu saja tanpa tambahan kata di belakangnya. Hal ini menunjukkan betapa beragamnya pemahaman umat terhadap ajaran agamanya, Islam. Beragamnya pemahaman tersebut merupakan keniscayaan bahwa setiap orang memiliki perbedaan yang bersifat individual. Selain latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.


Ibarat beberapa orang yang sedang ditutup penglihatannya dengan kain kemudian ia diminta untuk meraba gajah yang ada di depannya. Tentu saja dia akan mendefinisikan gajah tersebut sesuai dengan apa yang diraba. Kalau kebetulan ia memegang ekornya maka akan mengatakan bahwa gajah itu kecil panjang. Kalau kebetulan ia memegang telinganya maka ia akan mengatakan bahwa gajah itu agak lebar, dan seterusnya. Hal ini karena orang tersebut sebelum ditutup penglihatannya dengan kain, mereka belum pernah melihat gajah. Namun bagi mereka yang sebelumnya sudah melihat gajah maka dia akan dapat mendefinisikan gajah sebagaimana adanya, meskipun penglihatannya ditutupi kain.


Demikian pula pemahaman umat terhadap ajaran agamanya. Maka bagi mereka yang sejak awal berada dalam lingkungan pendidikan Islam yang komprehensif, ia akan mendapatkan pemahaman yang komprehensif pula. Begitu juga bagi mereka yang belum mendapatkan pendidikan agamanya yang cukup, ia disebut masih awam dalam agama Islam. Karena itu perbedaan pemahaman terhadap Islam masih saja terjadi, karena selain faktor tersebut di atas, juga karena Islam itu sendiri yang menganjurkan agar umatnya mau mengambil pelajaran, mau berpikir, mau memperhatikan, dan mau berdzikir terhadap tanda-tanda kemahabesaran Allah Taala. 


Tanda-tanda kemahabesaran Allah SWT tentu manusia tidak akan dapat menghitungnya, baik tentang penciptaan alam semesta maupun tentang penciptaan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tentang Ilmu Allah SWT diumpamakan seluruh ranting dahan pohon yang ada di seluruh dunia dijadikan sebagai pena, dan seluruh air lautan dijadikan sebagai tintanya, maka tidak akan cukup untuk menuliskan ilmunya Allah SWT. Padahal manusia diberikan ilmu kecuali hanya sedikit. 


Sedikitnya ilmu yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia, manusia telah mampu membuat teknologi beraneka ragam mulai yang sederhana sampai yang canggih, mulai dari hal yang mampu memudahkan kehidupan manusia sampai pada hal yang mampu menghancurkannya seperti bom nuklir. Terlebih jika Allah memberikan semua ilmu-Nya tentu dunia ini akan lebih menyeramkan lagi. Baru diberikan ilmu yang sedikit saja telah banyak manusia yang berbuat semena-mena, dan bahkan ada yang menganggap dirinya sebagai tuhan, apalagi jika diberikan ilmu seluruhnya oleh Alloh SWT, maka tentu kondisinya akan lebih buruk lagi.


Jika tentang ajaran Islam terdapat perbedaan pemahaman di antara umat, maka dalam taraf realitas kehidupan juga terdapat perbedaan-perbedaan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggagas tentang fiqih peradaban. Istilah ini juga memunculkan perbedaan karena relativitas pemahaman itu sendiri. Islam yang berdasarkan wahyu yang diterima Rasulullah Saw melalui Malaikat Jibril as bersifat absolut. Adapun pemahaman umat bersifat relatif. Karena itu umat dituntut untuk bersikap proporsional agar tidak merelatifkan wahyu yang bersifat absolut, dan tidak mengabsolutkan pemahaman yang bersifat relatif. 


Realitas kehidupan umat atau yang disebut dengan peradaban dunia saat ini memang tidak sedang baik-baik saja. Sewaktu-waktu ancaman perang dunia ketiga tidak menutup kemungkinan terjadi. Masih terlihat adanya ketimpangan antara dunia maju dan dunia berkembang. Dan adanya perbedaan kepentingan di antara negara maju sendiri dan juga perbedaan kepentingan dunia berkembang. Dunia maju berkeinginan mendominasi kekuatannya pada negara-negara berkembang.


Karena itu PBNU mengupayakan secara internasional agar mendudukkan persoalan pada tempatnya. Memang diakui adanya perbedaan-perbedaan kepentingan tersebut, namun juga adanya kesamaan-kesamaan kebutuhan umat manusia. Kesamaan kebutuhan ini baik yang bersifat fisiologis maupun psikologis. Untuk itu PBNU melalui ketua umum-nya memperkenankan kembali konsep rahmah atau kasih sayang terhadap sesama umat, sebuah konsep yang bersifat universal. Hal-hal yang berbeda tidak perlu dipaksakan menjadi sama. Dan hal-hal yang sama tidak perlu dipaksakan untuk berbeda.


PBNU dengan berbagai kegiatan seperti Relegion Twenty pada November 2022 lalu di Bali dan Yogyakarta, dan halaqah internasional fiqih peradaban pada 6-7 Februari yang akan datang merupakan upaya untuk menerapkan konsep rahmah yang bersifat universal tersebut dengan berbagai program kerja sama internasional yang riil yang bersifat kemanusiaan maupun upaya memperbaiki perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.


Upaya tersebut juga masih tergantung pada dunia maju, karena hasil pertemuan internasional tersebut sifatnya merupakan komunike bersama di antara para peserta yang diundang secara internasional. Meskipun demikian, Komunike bersama tersebut menjadi penting untuk menyuarakan perlunya persaudaraan yang dibangun atas dasar nilai kemanusiaan dan keadilan bagi semuanya. Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang dikenal dengan istilah PBB diharapkan menjadi lembaga internasional yang memiliki kedikdayaan dalam menciptakan harmonisasi dunia yang dinilai sedang tidak baik-baik saja. Wallahu a'lam bis hsawab.


H Mohamad Muzamil, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, mantan Ketua Korcab PMII Jateng  


Opini Terbaru