• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Feminisme, Islam, dan NU

Feminisme, Islam, dan NU
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Pernyataan KH Yahya Cholil Staquf Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) soal feminisme, menuai kontroversi. Menurutnya, fatayat dan Muslimat NU tidak usah ikut ikutan feminisme. Ikut saja bagaimana agama kita membicarakan tentang perempuan.


Pernyataan Kiai Yahya itu sangat penting dan mengandung pesan yang substansial dan merupakan tanggung jawabnya sebagai Ketua Umum PBNU untuk memberikan arahan kepada Fatayat, Muslimat dan tentu saja organ kepemudaan kemahasiswaan NU. Dalam membincangkan soal perempuan lebih baik kita mengikuti bagaimana Rasulullah para sahabat dan para ulama membicarakannya.


Mempelajari Islam dan kedudukan perempuan dalam Islam dengan perspektif feminis atau gender dan Islam tidak sama dengan membicarakan bagaimana salafus sholeh membicarakan tentang perempuan. Materinya memang Islam, tapi perspektif dan rantai sanadnya berbeda.


Membicarakan dalam perspektif ulama dan salafus sholeh akan mengantarkan kita pada pengagungan Nabi Muhammad SAW, cinta orang orang shaleh, pengagungan Allah, kecintaan pada Al-Qur'an dan kecintaan pada akhlak mulia dan tujuan hidup yaitu ibadah kepada Allah dan kemanfaatan pada  semesta. Dengan kata lain, membicarakan Islam dan gender tidak otomatis sesuai dengan tradisi kita selama perspektif yang kita gunakan perspektif feminis, bukan perspektif para shalihin.


Dalam tradisi kita ridha isteri terletak pada ridha suami dan ini sudah patutnya diterima begitu saja tidak perlu diarti artikan yang lain, karena akan menjadi penghalang untuk memperoleh kebaikan dalam berumah tangga. Tidak perlu juga menuntut melakukan suami melakukan hal serupa, mendapat ridha isterinya, biarlah itu menjadi urusan suami dengan Allah SWT. Bila ia orang yang shaleh tentu kemuliaanya akan ditentukan seberapa baiknya dia pada isterinya.


Demikian juga kepemimpinan dalam rumah tangga, laki-laki adalah kepala rumah tangga. Di manapun ada perkumpulan dua orang atau lebih ketua atau kepalanya pasti seorang saja. Tidak ada perkumpulan yang kepalanya dua orang karena itu akan menimbulkan kekacauan. Musyawarah tentu saja musyawarah tapi bagaimana keputusan kepala rumah tangga itulah yang tentunya harus ditaati. Janganlah menghindari riwayat-riwayat tentang kewajiban taat pada suami karena di situlah peluang diperoleh rahmat Allah Swt dalam berumah tangga.


Biarlah perempuan pesantren bicara dari perspektif, sejarah, tradisi, dan kepentinganya sendiri tidak perlu diajari tentang perspektif gender. Ada seorang bu nyai mendirikan perguruan tinggi agar santri santri perempuannya yang hafal Al-Qur'an bisa kuliah dan dihargai di masyarakat. Ini menjadi contoh para Bu Nyai mengetahui dan berpesan memenuhi kebutuhan perempuan. Biarlah perempuan menjadi ahli ilmu tentang Islam secara keseluruhan bukan tentang ayat-ayat gender saja. Sehingga ia mampu memahami berbagai persoalan keagamaan keseluruhan, juga mampu berkontruksi dalam menyelesaikan persoalan dan kebutuhan sosial dan ekonomi perempuan


Kebanggaan pada Tradisi dan Agama Sendiri


Kita tidak perlu bangga dengan perspektif dari luar, kita harus bangga dengan khasanah dan tradisi kita sendiri sebagai muslim. Perempuan muslim tidak perlu menutup diri, belajar sesuatu dari luar yang bisa bermanfaat. Yang penting bisa mendudukkan pada tempat dan proporsinya. Boleh saja mempelajari gender atau feminisme, yang penting itu satu batu bata saja dalam bangunan rumah pengetahuan keagamaan kita. Fokus kita tetap pengagungan kepada Al-Qur'an, kepada Kanjeng Nabi, sunnah dan khasanah tradisi kita yang sangat kaya, dan menyimpan mutiara yang sangat berharga.


Janganlah kita berprasangka bahwa Quran dipenuhi prasangka misoginis, karena itu akan menjauhkan pada Al-Quran. Jangan berprasangka sunnah nabi dipenuhi prasangka misoginis karena itu akan membuat kita terputus dengan nabi Muhammad SAW,  Jangan berprasangka tradisi ilmu kita dipenuhi prasangka misoginis, prasangka hanya menjauhkan kita dari tradisi kita. Kita fokus pada pengagungan Nabi Muhammad SAW seperti dicontohkan para ulama kita dalam pengagungan nabi seperti dalam shalawat-shalawat dan kita maulid agar tidak terhalang kita dari anugerah yang besar yaitu berrabitah qalbiyah dengan Nabi Muhammad SAW. Ini adalah kebutuhan pokok.


Kalau perempuan tercerabut dari Al-Qur'an dari nabi dari tradisi bahkan dari agamanya sendiri apa yang dimiliki oleh perempuan? Ini akan membuat perempuan lemah. Jadi dahulukan Al-Qur'an, Rasulullah SAW juga para ulama kita dari kalangan ahlussunnah waljamaah bagaimana beliau-beliau menerangkan agama ini termasuk termasuk mendudukkan dan bicara tentang perempuan. Bicaralah tentang keagungan Al-Quran tentang Nabi Muhammad, jangan mendekonstruksi keduanya yg membuat kita rugi besar. Bicaralah tetang ikhlas, syukur, sabar, tauhid, tafsir fiqih, juga bagaimana perempuan bisa berkiprah dan bermanfaat berkontribusi sebesar besarnya untuk alam semesta.


Berkiblatlah kepada orang-orang shaleh agar bisa mewarisi ilmu dan sanad ruhaniyah mereka. Bicaralah tentang Mbah Cholil Bangkalan, Mbah Hasyim Asy'ari, juga perempuan perempuan shaleh kita seperti Bu Nyai Sholehah isteri dari Kiai Hasyim Wahid, dan seterusnya masih banyak lagi. Tentu saja berkiblatlah kepada Sayyidah Fatimah RA yang menjadi pemimpin perempuan surga, dan juga Sayyidah Khadijah yang diberkati, sehingga mencintai keduanya dan bisa berabitah dengan keduanya. Bukan hanya perempuan, kita laki-laki juga memerlukan cahaya Sayyidah Fatimah bercahaya dalam rumah kita melalui istri-istri dan anak-anak kita.


Dengan dihiasi keagungan Al-Qur'an, cahaya Muhammad SAW, dukungan berkah aulia, berkait (berrabitah) dengan Nabi Muhmmad SAW dan orang shaleh laki-laki atau perempuan yang sudah wafat dan tentu saja yang masih hidup saat ini. Berkiprahlah di mana saja, menjadilah apa saja yang berguna, dan menjadilah cahaya alam semesta di dunia dan akhirat.


Demikianlah refleksi saya atas kegiatan muslimat di desa saya dengan mengaji kitab Tadhkirotul Hadromiyah, kitab yang bicara tentang fiqih dan tasawuf yang harus dikuasai perempuan, dan kegiatan rutin berratib, maulid, hadrah basaudan, juga haul Sayyidah Fatimah dan Sayyidah hadijah sangat bermanfaat bagi muslimat di desa saya di Mijen Kota Semarang. Wallahu a'lam bis shawab. (*)


Moh Yasir Alimi, Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah


Opini Terbaru