• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Mengkritisi Halaqah Fiqih Peradaban

Mengkritisi Halaqah Fiqih Peradaban
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Halaqah substansinya pembahasan pada setiap problem dalam masanya untuk mendapatkan solusi sebagai jalan keluar kebuntuan pada problem itu sendiri, sehingga sudah barang tentu kegiatan ini tidak pernah ada usang dan tidak membosankan oleh para intelektual. 


Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam mengisi satu abad berdirinya Nahdlatul Ulama merencanakan kegiatan halaqah dengan durasi waktu sampai puncak resepsi 1 abad ada 70 titik tempat dan sekitar 250 halaqah, Kegiatan ini prinsipnya bagaimana memantik warga NU untuk lebih kritis menyikapi persolan-persoalan kekinian dorongan untuk selalu menganalisa persoalan, semua persoalan yang menjadi keputusan dan tindakan berdasar maqashid syar'i. 


Dalam dunia pesantren halaqah yang dimaksud bukan merupakan hal baru bahkan sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan. Saking biasanya halaqah menjadi sifat malakah, sekalipun dikemas dengan bentuk dan nama yang berbeda di antaranya ngopi bareng (ngobar), temu bareng (tumbar), bahkan yang lebih eklusif dan terarah dengan materi dan diskripsi yang telah disusun oleh panitia yaitu bahstul masail dengan berbagai macam perangkat ada mubahitsin, moderator, perumus, dan mushahih.


Fiqih Hadzarah


Istilah ini terdiri dari dua kata yang terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih yang mempunyai kesatuan dalam makna, sesuatu yang tersusun dapat dipahami dengan mengetahui makna dari bagian-bagian yang disusun. Kata fiqih secara lughawi (etimologi) adalah mengerti/memahami, sedang makna terminologinya (syar'i) pengetahuan tentang hukum syariat yang diperoleh melalui jalur ijtihad (debatable), maka untuk menghasilkan sebuah produk hukum pada sebuah persoalan harus melalui pembahasan dengan ittifaq.


Maka dibutuhkan ruang pembahasan atau halaqah untuk dapat menghasilkan hukum syariat yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara kualitatif dengan istidzlal yang jelas dengan mengqiyaskan (menganalogikan) dalil Al-Qur'an sunnah qaul ulama yang dikontektualkan dengan keadaan kekinian (muhadzarah). Hadharah yang artinya hadir dalam kekinian atau peradaban yang dapat dipakai dalam masa sekarang, seolah-olah harus mengabaikan masa lalu, padahal masyhur dalam qaidah fiqihiyyah yang dipakai oleh para ulama pendahulu 'Almuhafadzah ala qadimi shalih, wal ahdzu bil jadidil aslah', mengambil pola para pendahulu yang baik bukan berarti kemunduran atau terbelakang, tetapi sebagai bukti adab para santri pengikutnya, lalu tidak mengesampingkan gagasan baru yang lebih baik. Fiqih hadharah bukan merupakan hal baru yang perlu diperdebatkan atau merupakan hal asing bagi para mubahitsin yang tergabung dalam lembaga bahstul masail.


Penguatan Lembaga Bahstu


Pembahasan tentang fiqih atas pengambilan hukum syar'i problematika yang terjadi pada kekinian sudah dimulai dalam ruang khusus yang telah ada di lembaga. Ruang ini tidak saja membahas persoalan ubudiyah mahdhah yang berkisar tentang problematika shalat, puasa, haji, dan lainnya, tetapi persoalan syiyasah (politik) seperti saat awal-awal NU memilih di antara dua pilihan 'Darul Salam' atau 'Darul Islam' (Daulah Islamiyyah). Para ulama sepakat dengan keberadaan umat Islam Indonesia berada dalam Darussalam, sehingga disebut bughat saat melawan keputusan negara.


Atau yang masih hangat dibahas pada Muktamar NU di Lampung tentang pembagian dan status tanah pada warga dan posisi negara dalam mengambil keputusan dengan azas keadilan yang diketahui dengan ihyaul mawat. Tentang komoditas dan juga alat penukaran barang yang viral akhir-akhir ini dengan criptocurrency yang masih belum final karena saking rumitnya untuk dapat diputuskan. Maka, fiqih hadzarah atau fikih kekinian atau peradaban baru yang rencana akan dibahas dalam setiap halaqah (diskusi) merupakan gagasan yang tahsul hasil, atau lebih akan terjadinya tumpang tindih program.


Penutup


Munculnya gagasan untuk mewujudkan masyarakat Islam modern bukan berarti harus mengecilkan. Wadah yang lama dan telah berjalan memecahkan problematika hukum yang diambil dari kitab klasik yang dikaji di setiap pesantren dan telah terbukti mampu menjawab tantangan zaman. Dalam bentuk keputusan bahstul masail yang dapat dijadikan pegangan, sebagai keputusan yang ittifaq dari para alim. Kebiasaan ini terus harus dipacu untuk bersungguh sungguh memberi solusi dalam setiap kebuntuan yang terjadi, hanya yang menjadi catatan Keputusan tersebut dapat dinarasikan dengan bentuk buku yang lebih praktis sebagai pedoman pengambil kebijakan atau telaah bersama. 


Maka, jangan dibiarkan berserakan dan perlunya pengelompokan hasil keputusan bahstul masail dan dijadikan pegangan yang lalu disebut fiqih peradaban. 


H Munib Abdul Muchith, Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng, alumni Pesantren Lirboyo 92 dan alumni Pesantren Al-Itqon Bugen, Kota Semarang


Opini Terbaru