• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 26 April 2024

Fragmen

Inilah Sejarah Hari Santri yang Diperingati Tiap Tanggal 22 Oktober

Inilah Sejarah Hari Santri yang Diperingati Tiap Tanggal 22 Oktober
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri. Hal ini berawal dari usulan masyarakat pesantren sebagai momentum untuk mengingat, mengenang, dan meneladani kaum santri yang telah berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia. Usulan tersebut pada mulanya menuai polemik, banyak yang setuju, ada pula yang menolaknya. 


Beragam alasan penolakan muncul, mulai dari kekhawatiran polarisasi, hingga ketakutan akan adanya perpecahan karena ketiadaan pengakuan bagi selain santri. Namun, Presiden Joko Widodo pada akhirnya memutuskan untuk menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. 


Hal itu dilakukan melalui penandatanganan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri pada 15 Oktober 2015 silam. Keputusan presiden tersebut didasari tiga pertimbangan. Pertama, ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mengisi kemerdekaan. 


Kedua, keputusan tersebut diambil untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa, perlu ditetapkan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober. Ketiga, tanggal 22 Oktober tersebut diperingati merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.


Hal ini sejalan dengan tiga alasan pentingnya penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri yang disampaikan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofar Rozin. Ia menjelaskan bahwa tanggal tersebut mengingatkan pada Resolusi Jihad yang dicetuskan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, sebuah ketetapan yang menggerakkan massa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 


“Pertama, Hari Santri pada 22 Oktober, menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 Nopember 1945,” ungkap Gus Rozien sebagaimana dilansir dari NU Online.


Kedua lanjutnya, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kiai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (wilayah Islam) pada Muktamar Ke-11 NU di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. 


“Sepuluh tahun berdirinya NU dan sembilan tahun sebelum kemerdekaan, kiai-santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Ini konsep yang luar biasa,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah itu. 


Dirinya menjelaskan bahwa pentingnya 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri karena kelompok santri dan kiai-kiai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Para kiai dan santri selaluh berada di garda depan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila. Pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan,” jelas Gus Rozin. 


Dengan demikian, Gus Rozin menambahkan, Hari Santri bukan lagi sebagai usulan ataupun permintaan dari kelompok pesantren. “Ini wujud dari hak negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri. Kontribusi pesantren kepada negara ini, sudah tidak terhitung lagi,” tegas Rozin. 


Pada mulanya, Hari Santri diusulkan oleh ratusan santri Pondok Pesantren Babussalam, Desa Banjarejo, Malang, Jawa Timur, Jumat, (27/6/2014), saat menerima kunjungan Joko Widodo sebagai calon presiden. Pada kesempatan tersebut, Jokowi menandatangani komitmennya untuk menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri. Ia pun menegaskan akan memperjuangkannya. 


Namun pada perkembangannya, PBNU mengusulkan agar 22 Oktober yang ditetapkan sebagai Hari Santri, bukan 1 Muharram. Hal itu dilatari peristiwa sejarah Resolusi Jihad. Di usia yang baru menginjak dua bulan merdeka, Indonesia kembali diserang oleh Sekutu yang hendak merebut kemerdekaan dari tangan bangsa Indonesia. Demi mempertahankannya, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad. Dikutip dari Fatwa dan Resolusi Jihad karya KH Ng Agus Sunyoto, fatwa tersebut berisi tiga poin penting, yakni sebagai berikut. 

 
  1. Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun bagi orang fakir
  2. Hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid.
  3. Hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh. (*)


Makna Santri


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata 'santri' setidaknya mengandung dua makna. Arti pertama adalah orang yang mendalami agama Islam, dan pemaknaan kedua adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh. Santri selama ini digunakan untuk menyebut kaum atau orang-orang yang sedang atau pernah memperdalam ajaran agama Islam di pondok pesantren. 


Kata 'pesantren' oleh sebagian kalangan diyakini sebagai asal-usul tercetusnya istilah 'santri.' Kendati begitu, ada cukup banyak pendapat yang memaparkan kemungkinan sejarah atau asal usul kata 'santri'. Bahkan, tidak sedikit ahli yang meyakini bahwa tradisi nyantri sudah ada sejak sebelum ajaran Islam masuk ke Nusantara, atau dengan kata lain pada masa Hindu dan Buddha. 


Dikutip dari tirto.id salah satu versi mengenai asal usul istilah 'santri' berasal dari bahasa Sanskerta. Istilah 'santri' diambil dari salah satu kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu sastri yang artinya 'melek huruf' atau 'bisa membaca'. Versi ini terhubung dengan pendapat C.C. Berg yang menyebut istilah 'santri' berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti 'orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu'. 


Sanskerta merupakan bahasa liturgis dalam agama Hindu, Buddha, dan ajaran Jainisme, serta salah satu dari 23 bahasa resmi di India. Sanskerta pernah digunakan di Nusantara pada masa Hindu dan Buddha yang berlangsung sejak abad ke-2 Masehi hingga menjelang abad ke-16 seiring runtuhnya Kerajaan Majapahit. Ada pula yang mengaitkan asal usul istilah 'santri' dengan kata-kata dalam bahasa Inggris, yaitu sun (matahari) dan three (tiga), menjadi tiga matahari. Dinukil dari tulisan Aris Adi Leksono bertajuk 'Revitalisasi Karakter Santri di Era Milenial' dalam NU Online, maksud tiga matahari itu adalah tiga keharusan yang harus dimiliki oleh seorang santri, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. 


Istilah 'santri' bisa pula dimaknai dengan arti 'jagalah tiga hal', sebagaimana yang tertulis di buku Sejarah Pergerakan Nasional (2015) karya Fajriudin Muttaqin dan kawan-kawan, yaitu menjaga 'ketaatan kepada Allah, menjaga ketaatan kepada Rasul-Nya, dan menjaga hubungan dengan para pemimpin'. 


Dari bahasa Arab, asal usul istilah 'santri' juga bisa ditelaah. Kata 'santri' terdiri dari empat huruf Arab, yakni sin, nun, ta’, dan ro’ yang masing-masing mengandung makna tersendiri dan hendaknya tercermin dalam sikap seorang santri, demikian dikutip dari buku Kiai Juga Manusia: Mengurai Plus Minus Pesantren (2009). 


Menurut ulama dari Pandeglang, Banten, KH Abdullah Dimyathy, huruf sin merujuk pada satrul al ‘awroh atau 'menutup aurat'; huruf nun berasal dari istilah na’ibul ulama yang berarti 'wakil dari ulama'; huruf ta’ dari tarkul al-ma’ashi atau 'meninggalkan kemaksiatan'; serta huruf ‘ro dari ra’isul ummah alias 'pemimpin umat'. Sedangkan dalam pandangan KHMA Sahal Mahfudz, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2014, kata 'santri' berasal dari bahasa Arab yakni santaro yang berarti 'menutup'.


Santri adalah orang yang belajar, bukan justru menutup. Maka, dikutip dari jurnal Ulul Albab (2014) seorang santri mustahil santaro. KH Ma’ruf Amin saat menjabat sebagai Rais Aam PBNU menegaskan, sebutan santri bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang berada di pondok pesantren dan bisa mengaji kitab. Namun, santri adalah orang-orang yang meneladani para kiai. 


“Santri adalah orang-orang yang ikut kiai, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan kiai, manut [patuh] kepada kiai. Itu dianggap sebagai santri walaupun dia tidak bisa baca kitab, tapi dia mengikuti perjuangan para santri,” papar Ma’ruf Amin.


Interpretasi makna santri yang hampir serupa juga dipaparkan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Menurut dia, santri adalah umat yang menerima ajaran-ajaran Islam dari para kiai. Para kiai itu belajar Islam dari guru-gurunya yang terhubung sampai Nabi Muhammad. Said Aqil Siroj menambahkan, santri menerima Islam dan menyebarkannya dengan pendekatan budaya yang berakhlakul karimah, bergaul dengan sesama dengan baik. Santri juga menghormati budaya, bahkan menjadikannya sebagai infrastruktur agama, kecuali budaya yang bertentangan ajaran Islam. 


“Santri itu jelas, adalah orang-orang yang menindaklanjuti dakwah dengan budaya seperti yang dilakukan Wali Songo. Dakwah seperti itu yang jelas ampuh, efektif,” tandas Kiai Said Agil. (*)


Fragmen Terbaru