• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 19 April 2024

Fragmen

Kisah Kiai Dimyati Kaliwungu Kendal saat Berhaji Pertama Kali

Kisah Kiai Dimyati Kaliwungu Kendal saat Berhaji Pertama Kali
KH Dimyati Rois Kaliwungu Kendal (Dok. NU Online)
KH Dimyati Rois Kaliwungu Kendal (Dok. NU Online)

Tak terasa acara khataman kitab al-Mahalli angkatan kami sudah berlalu beberapa tahun silam (2016). Berbeda dengan khataman kitab-kitab yang lain seperti Alfiyah Ibnu Malik dan Jauharul Maknun, peserta khataman kitab al-Mahalli ini tidak hanya santri yang masih menetap di pesantren, namun juga para alumni.

Kitab al-Mahalli dikaji pasca-santri lulus dari madrasah pesantren. Santri-santri yang mengkaji kitab ini disebut santri takhasus. Biasanya dua tahun kitab ini khatam dibacakan dan empat tahun selesai dimusyawarahkan. Acuan yang digunakan sebagai waktu khataman bukan ketika khatam dibacakan, namun saat selesai dimusyawarahkan.

Lantaran memakan waktu cukup lama dan juga karena program pasca madrasah, tak semua santri satu angkatan bertahan sampai empat tahun. Walaupun demikian, ketika khataman satu angkatan diundang untuk menghadiri, tanpa terkecuali.

Momen khataman ini tentu menjadi sesuatu yang dinanti. Ada rindu yang membuncah selama empat tahun, baik antara guru dan murid maupun teman-teman sejawat, perihal banyak hal seperti ngaji, roan (kerja bakti), dan memasak bersama.

Dari sedemikian banyak itu, ada satu momen yang paling dinantikan di khataman itu dan menjadi daya tarik santri-santri yang sudah di rumah untuk datang. Momen itu tak lain adalah sowan Abah Dim, begitu kami memanggil KH Dimyati Rois Kaliwungu, Kendal.

Setelah semua dipersiapkan tetek bengeknya, dari yang terkecil dan terbesar, hari itu pun tiba. Namun ternyata tak sesuai yang direncanakan, Abah Dim tak bisa hadir lantaran ada acara yang cukup mendadak di luar kota. Salah satu dari guru yang menjadi wali kelas kami, kami memanggilnya Pak Ii', yang menemani belajar dari tingkat dasar sampai lulus tingkat Aliyah juga tak hadir lantaran ayahnya wafat di hari itu.

Acara tetap berlangsung, dan kami pun bersua bersama, melampiaskan rindu yang sudah lama tertahan. Pasca acara, sore hari, kami berkumpul lagi dan membaca tahlil untuk ayah guru kami yang baru wafat itu.

Hari itu kami memilih tak pulang, dan bertekad menunggu kepulangan Abah Dim. Malam itu kami menunggu Abah Dim di depan dalem. Kira-kira, kalau ingatan tak khilaf, Abah Dim tiba menjelang tengah malam. Namun tampaknya beliau sangat lelah lantaran bepergian itu, kami pun bersepakat tanpa kata, memilih tak beranjak dan hanya diam sambil menundukkan wajah.

Abah Dim masuk ke ndalem, dan kami pun melanjutkan menunggu sampai tertidur dan bangun saat waktu Subuh. Setelah shalat Subuh, kami kembali ke depan ndalem dan menunggu beliau. Sekitar jam 7 atau jam 8 pagi, kalau ingatan tak salah, Abah Dim membuka pintu ndalem dan menemui kami dengan tersenyum.

Salah satu wali kelas kami, Pak Atep, membuka pembicaraan dengan menyampaikan kepada beliau bahwa kami adalah santri-santri yang baru khataman kitab al-Mahalli dan, lagi-lagi kalau ingatan tak khilaf, guru kami itu juga mengadu perihal kehidupan santri ketika mulai menetap di rumah.

Abah Dim tersenyum dan mulai membuka pembicaraan. Abah Dim bercerita tentang pertanian, dagang dan saat beliau menunaikan ibadah haji. "Bertani itu (membuat) tenang, tapi tidak selalu membawa uang.  Beda dengan berdagang. Kalau dagang itu selalu membawa uang. Kalau saya keduanya, bertani juga berdagang"

Lalu Abah Dim mengisahkan, saat menunaikan haji untuk pertama kalinya, bersama Umi Tho'ah (istri), dan melakukan tawaf sampai 49 putaran (7x7).

Setelah mengisahkan, Abah Dim mengatakan bahwa dalam melakukan ibadah atau kebaikan yang contohnya merujuk kepada tawaf yang dilaksanakan berdua dengan istri, agar diniatkan pula untuk anak-anaknya kelak, dalam istilah pesantren bertirakat untuk keturunannya sebagai bentuk pendidikan pra-kelahiran.

Pada momen itu, Abah Dim juga perpesan, kalau punya rezeki, kami dianjurkan untuk ziarah ke makam para ulama yang telah wafat seperti Sunan Ampel, Kiai Soleh Darat, Kiai Hamid Pasuruan, dan lain-lain.

Pertemuan itu kemudian ditutup dengan doa dari Abah Dim dan sungkem kami kepadanya, satu-satu secara bergantian. Untuk Abah Dim, Al-Fatihah...

Kontributor: Zaim Ahya


Fragmen Terbaru