Taushiyah

Perbedaan Pendapat tentang Maulid: Tetap Santun dan Jangan Terprovokasi

Rabu, 18 September 2024 | 14:00 WIB

Maulid Nabi Muhammad saw adalah peringatan yang sarat makna bagi umat Islam. Tidak hanya sebagai momentum untuk mengingat kelahiran Rasulullah saw, maulid juga menjadi sarana untuk memperkuat cinta dan penghormatan kita kepada Rasulallah saw. Gus Basith, seorang kiai muda dari Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam Mantenan, Blitar, mengingatkan bahwa peringatan maulid adalah wujud syukur dan cinta umat kepada Rasulullah saw yang tidak sepatutnya diragukan atau dibid’ahkan.


Menurut keterangan Gus Basith, panggilan akrab H M. Shodiqi Basthul Birri. Maulid adalah momen yang sangat istimewa. Menghormati maulid Nabi bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, baik secara material maupun spiritual.


Gus Basith mencontohkan, menghormati kelahiran Nabi Muhammad saw secara material dapat dilakukan dengan bentuk menafkahi keluarga. Menafkahi istri dan putra-putrinya di rumah dapat bernilai ibadah yang lebih baik bila disertakan dengan niat penghormatan terhadap maulid nabi. Ini menunjukkan bahwa penghormatan kepada Nabi Muhammad saw bisa dimanifestasikan dalam aktivitas sehari-hari.


“Panjenengan dihitung ibadah bila menafkahi istri disertai niat hurmat maulid. Panjenengan membahagiakan anak diniatkan hurmat maulid. Panjenengan memberikan uang saku yang lebih dari biasanya dengan niat hurmat maulid, itu sudah hasil,” tutur Gus Basith.


Selain secara material, menghormati kelahiran Nabi Muhammad saw juga dapat dilakukan dalam kegiatan spiritual, seperti lebih semangat mendirikan shalat dhuha, rawatib, atau tahajud karena melakukannya di bulan kelahiran Nabi saw.


“Atau menghormati maulid nabi selain dengan harta benda juga bisa dilakukan dengan menunaikan ibadah apa saja, baik konsisten dalam mendirikan salat duha, rawatib, maupun tahajud, dalam bentuk hurmat maulid Nabi Muhammad Saw. Itu sudah berhasil,” terang Gus Basith.


Namun, di tengah semarak perayaan maulid, suara-suara yang mempertanyakan keabsahannya sering kali muncul hingga diklaim sebagai bid’ah munkarrah. Gus Basith meberikan respons dalam hal ini, bahwa perayaan maulid ditujukan untuk tetap mengenang dan mencintai Nabi Muhammad saw. di tengah zaman yang semakin jauh dari masa kehidupan beliau.


“Jenengan jangan sampai terprovokasi dengan oknum-oknum yang mengklaim maulid itu bid’ah munkarrah, tidak usah terpengaruh dengan oknum-oknum yang berdalih bahwa maulid tidak dilakukan pada zaman sahabat. Karena, cinta para sahabat melebihi cinta kita kepada Nabi,” tutur Gus Basith.


Peringatan maulid nabi adalah salah satu bentuk kecintaan umat kepada Rasulullah saw. Sahabat dan tabi’in pada masa lampau memang tidak melakukan perayaan maulid karena mereka hidup pada zaman ketika Nabi masih dikenal secara langsung dan tidak ada hadis palsu. Namun, seiring berjalannya waktu, peringatan maulid menjadi penting untuk mengenang dan memupuk kecintaan umat kepada Nabi di tengah jarak zaman yang semakin jauh.


“Justru kita harus kreatif. Dahulu sahabat hidup semasa dengan Nabi, sehingga mereka mampu mengenal Nabi dengan lebih baik. Nabi pada zaman tabi’in juga masih dikenal dengan baik, sehingga tidak ada pemalsuan hadis pada masa itu. Tetapi seiring perkembangan zaman, kita makin jauh dari zaman tersebut. Maka, penting mengadakan maulid, agar kita tetap ingat dan tetap kenal dengan Kanjeng Nabi,” ungkap Gus Basith.


“Sahabat kenal persis siapa Nabi, karenanya tidak melakukan maulid. Tetapi, akhir-akhir ini maulid disyi’ah-syi’ahkan, maulid dituduh bid’ah munkarrah. Kenapa begitu? Kita ini niat menghormati kelahirane Kanjeng Nabi,” imbuhnya.


Gus Basith membawakan salah satu kisah yang menjadi landasan penting dalam merayakan maulid, yaitu Abu Lahab. Paman Nabi yang kafir ini mendapat keringanan siksa setiap hari Senin karena pernah bersuka cita atas kelahiran Rasulullah. Pertanyaannya, jika seorang kafir yang mati dalam keadaan musyrik saja mendapat manfaat dari kegembiraan atas kelahiran Nabi, maka bagaimana mungkin seorang muslim yang beriman dan mencintai Rasulullah akan dianggap salah ketika memperingati maulid dengan penuh cinta dan penghormatan.


“Abu Lahab saja siksanya diliburkan tiap hari Senin. Karena apa? Karena pernah gembira akan kelahiran Nabi Saw. Itu Abu Lahab yang kafir, yang kematiannya dalam keadaan musyrik. Tentu berbeda halnya dengan pecinta Nabi, umatnya Nabi, beriman dan memeluk Islam, dan mengadakan maulid yang diniatkan cinta kepada Nabi. Maka, tidak mungkin kelak dihisab sebagai amal yang buruk,” tandas Gus Basith.


Cerita yang serupa juga disebutkan dalam kitab I’anah ath-Thalibin, yaitu tentang pemuda Basrah yang dipandang hina oleh masyarakat sekitarnya karena perbuatan-perbuatan buruknya. Namun, ia justru diangkat sebagai waliyullah dan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah berkat mengagungkan maulid Nabi tiap Rabi’ul Awal tiba.


(وحكي) أنه كان في زمان أمير المؤمنين هارون الرشيد شاب في البصرة مسرف على نفسه وكان أهل البلد ينظرون إليه بعين التحقير لأجل أفعاله الخبيثة، غير أنه كان إذا قدم شهر ربيع الأول غسل ثيابه وتعطر وتجمل وعمل وليمة واستقرأ فيها مولد النبي صلى الله عليه وسلم ودام على هذا الحال زمانا طويلا، ثم لما مات سمع أهل البلد هاتفا يقول: احضروا يا أهل البصرة واشهدوا جنازة ولي من أولياء الله فإنه عزيز عندي، فحضر أهل البلد جنازته ودفنوه، فرأوه في المنام وهو يرفل في حلل سندس واستبرق، فقيل له بم نلت هذه الفضيلة؟ قال بتعظيم مولد النبي صلى الله عليه وسلم


Artinya: Diriwayatkan bahwa pada masa Amirul Mukminin Harun al-Rasyid, ada seorang pemuda di Basrah yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri. Penduduk kota memandang pemuda tersebut dengan pandangan hina karena perbuatan-perbuatan dosanya. Namun, ketika bulan Rabiul Awal tiba, pemuda tersebut mencuci pakaiannya, memakai wewangian, berhias, mengadakan jamuan, dan membaca maulid Nabi Saw. Hal ini terus dilakukannya selama bertahun-tahun. Kemudian, ketika ajal menjemputnya, penduduk kota Basrah mendengar suara gaib berbunyi, “Wahai penduduk Basrah, hadirlah dan saksikanlah pemakaman seorang waliyullah, karena dia sangat mulia di sisi-Ku.” 


Seketika itu penduduk kota menghadiri pemakamannya dan menguburkannya. Kemudian, mereka melihat pemuda tersebut mengenakan pakaian sutra halus dan sutra tebal dalam mimpi. Lalu, dikatakan kepadanya, “Sebab apa kamu memperoleh kemuliaan ini?” Pemuda itu menjawab, “Sebab mengagungkan maulid Nabi Saw (lihat: I’anah ath-Thalibin, Juz 3, hlm. 365).”  


Tuduhan-tuduhan maulid akan kebid’ahannya tidaklah tepat. Gus Basith mengimbau agar tidak mudah terhasut oleh kelompok yang memandang maulid sebagai bid’ah munkarah dan kelompok yang menuduh syi’ah. Bersamaan dengan hal tersebut, beliau mendorong jemaah istighatsahnya agar tetap berpegang teguh pada ajaran para masyayikh dan ulama salaf demi keselamatan bersama.


“Jenengan jangan terlena dengan aliran-aliran itu. Cukup bagi kita gondelan dengan ajaran para masyayikh dan para guru, semoga dengan begitu selalu diberikan keselamatan. Tidak usah ikut-ikut pengajian yang seperti itu, yang mengklaim tahlilan bid’ah, dan seterusnya. Sebaliknya, berpengangan pada ajaran para masyayikh, para ulamanya Nahdlatul Ulama,” pungkasnya.