• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 25 April 2024

Opini

Pergumulan Nilai Lama dan Baru di Lingkungan NU

Pergumulan Nilai Lama dan Baru di Lingkungan NU
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Dari Kiai Zainal Arifin dari gurunya KH Nawawi Chudlori bahwa khidmah pada jamiyah atau perkumpulan NU harus memenuhi tiga syarat. Pertama, dengan niat yang baik. Kedua, dengan mematuhi peraturan. Dan ketiga, dengan ikhlas dan istiqamah.


Karena itu khidmah di NU memang tidak mudah. Jika bukan berjiwa santri maka akan sulit berkhidmah. Berjiwa santri, artinya nilai-nilai santri telah masuk dalam kepribadiannya, bukan semata-mata berstatus santri. Santri memiliki makna yang luas, bukan semata-mata merupakan status sebagai kaum terpelajar muslim di kalangan ahlussunnah wal jamaah (aswaja), melainkan mereka yang mampu menjalankan tiga kebaikan sebagai satu kesatuan, yakni Iman, Islam dan Ihsan.


Sebagai perkumpulan ulama dan para pengikutnya, NU bertujuan untuk mengamalkan ajaran Islam aswaja. Substansi aswaja adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya. Mengikuti Nabi Saw adalah mengikuti Al-Qur'an dan hadits, sedangan mengikuti para sahabat Nabi berarti mengikuti ijma dan qiyas sebagai manhaj dalam pemahaman aswaja.


Para santri diajarkan oleh para kiai agar memahami dan menerapkan Al-Qur'an dan sunnah serta ijma dan qiyas dalam kehidupannya. Memahami Al-Qur'an dengan ulumul Qur'an, seperti ilmu tajwid, ilmu asbabun nuzul, ilmu tafsir dan sejenisnya. Sedangkan memahami sunnah dengan ulumul hadits, seperti asbabul wurud, musthalah hadits dan sejenisnya. Sedangkan memahami ijma dan qiyas dengan menggunakan ilmu fiqih wa ushuluhu. 


Sudah barang tentu, semua ilmu tersebut ditulis para ulama dengan bahasa Arab, sehingga para santri juga wajib memahami ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan sejenisnya. Jika para santri dapat memahami ilmu-ilmu tersebut dan mengamalkannya, maka ketika sudah kembali ke masyarakatnya disebut kiai. Jadi sebutan kiai pada awalnya hanya khusus untuk seorang yang faqih serta mengamalkan ilmunya. 


Pada awal berdirinya NU, sebutan kiai hanya untuk mereka yang alim al-alamah. Biasanya waktu awal berdirinya NU, mereka berada di jajaran mustasyar, syuriyah dan a'wan. Adapun jajaran tanfidziyah, badan otonom, dan lembaga adalah para santri yang berkhidmah kepada para kiai-nya yang berada pada mustasyar, syuriyah dan a'wan tersebut.


Acapkali para kiai yang mendapatkan amanat Jamiyah NU merasa tidak memenuhi syarat, merasa tidak pantas menduduki tempat di jajaran syuriyah. Hal ini karena syuriyah merupakan pengarah, pembina, dan pengendali jalannya jamiyah. Para santri yang diamanati pada jajaran tanfidziyah, lembaga-lembaga NU, maupun badan otonom NU juga semata-mata berkhidmah kepada para masyayih dan kiai. Meskipun sebagai pelaksana kebijakan para kiai, tanfidziyah, lembaga dan banom perlu memperkuat kapasitas dan bersinergi secara internal dan eksternal. 


Pada ranah perjuangan diniyah atau keagamaan sudah tentu para kiai merupakan ahlinya. Kemudian dalam ranah ijtima'iyah atau kemasyarakatan yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial budaya dan politik, meskipun diwarnai oleh nilai-nilai diniyah, namun acapkali masih terlihat kurang maksimal. Dari sinilah perlunya santri lebih berani dalam mengambil nilai baru yang lebih baik, di samping mempertahankan nilai-nilai lama yang baik. Wallahu a'lam bis shawab


H Mohamad Muzamil, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah
 


Opini Terbaru