• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Memasuki Abad Kedua, NU Butuh Ulama Serba Bisa

Memasuki Abad Kedua, NU Butuh Ulama Serba Bisa
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Memasuki abad kedua dari kelahiran Jamiyah ulama ahlussunnah wal jamaah ini, Nahdlatul Ulama (NU) menghadapi situasi yang berbeda dari abad pertama kelahirannya pada 1926 Masehi atau 1334 Hijriah atau 100 tahun yang lalu.


Waktu itu kawasan wilayah negeri ini masih dikuasai para penjajah. Aliran pemikiran baru mulai bermunculan mempengaruhi alam pemikiran penduduk pribumi. Pemikiran mayoritas ulama waktu itu sudah mulai dikritisi oleh aliran baru tersebut yang dinilai sebagai takhayul, bid'ah, dan khurafat. Hal ini merupakan pengaruh dari pergeseran tampuk kepemimpinan dari kekhalifahan Turki Utsmani kepada almamlakah al-sa'udiyah di tanah Hijaz pada 1924 dengan Muhammad bin Abdul Wahab yang diberikan mandat oleh Ibnu Sa'ud untuk mengurusi bidang keagamaan. 


Oleh karena itu ulama di negeri ini sangat prihatin, kemudian membentuk komite Hijaz untuk menyampaikan masukan kepada Raja Ibnu Saud agar pemerintah kerajaan tersebut mengijinkan kembali diajarkannya hasil-hasil ijtihad para imam madzhab yang mu'tabar sebagai pedoman umat dalam memahami Al-Qur'an dan al-sunnah Rasulullah Saw, sehingga mempermudah bagi umat dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.


Masukan ulama tersebut sangat penting karena tugas ulama adalah melanjutkan tugas yang diemban oleh para Nabi, yakni menyampaikan ayat-ayat Allah, mencerdaskan umat, mengajarkan kitab, dan hikmah. Waktu itu gerakan Komite Hijaz merupakan gerakan untuk kembali menghidupkan ilmu-ilmu agama (ulumaddin) dengan pendidikan dan dakwah guna mewujudkan kemaslahatan umat dan menghindari mafsadat. Memang gerakan ini tidak lepas dari politik, namun bukan politik praktis merebut kekuasaan, melainkan politik untuk menyatukan umat.


Sebelum terbentuk komite Hijaz, para ulama waktu itu telah membentuk taswirul afkar pada 1916 sebagai forum permusyawaratan alim ulama guna membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi umat. Kemudian tahun 1918 dibentuk Nahdlatul Wathan guna mendidik umat dalam mencintai tanah air, dan Nahdlatut Tujar guna mendidik umat dalam melakukan usaha perdagangan.


Ikhtiar ulama sebelum NU lahir dipandang belum cukup untuk memperkuat barisan ulama dalam menghadapi berbagai arus pemikiran dan propaganda yang menyimpang dari ajaran Islam Aswaja. Kemudian disepakati dibentuk Jamiyyah ulama yang disebut Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu karakter ulama adalah memberikan pemahaman ilmu untuk diamalkan. Dan setiap amal yang dikerjakan berdasarkan ilmu, keikhlasan, kesabaran, dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dengan karakter ini maka ulama juga tidak tega melihat kepayahan umat dalam kehidupannya.


Setelah hampir satu abad berkhidmat, NU sebagai jamiyah ulama membutuhkan kader penerus ulama guna menjalankan risalah para Nabi dan utusan-Nya, khususnya dalam membersamai umat dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat, agar kehidupan umat senantiasa mendapatkan rahmat dari Allah Taala. Karena itu Mustasyar PBNU almarhum almaghfurlah KH Dimyati Rais pernah berpesan bahwa menghidupkan NU harus menghidupkan pesantren. Hal senada juga disampaikan oleh KH Nurul Huda Jazuli bahwa berkhidmat pada NU adalah berkhidmat pada pesantren sebagai lembaga yang menghidupkan ilmu-ilmu agama atau ulumaddin.


Dalam pembukaan Konferensi Besar (Konbes) NU di Jakarta bulan Mei 2022 yang lalu, Mustasyar PBNU KH Musthofa Bisri juga menyampaikan bahwa jamaah dahulu tidak menanyakan dalil kepada para kiainya, karena apa yang dikerjakan oleh ulama terdahulu merupakan implementasi dari dalil-dalil itu. Nah, sekarang ini apakah kiai-kiai mampu menjadi dalil yang mudah dipahami oleh jamaah dalam kehidupan sehari-hari?


Memasuki abad kedua NU, nampak terjadi perubahan di segala bidang kehidupan yang tak terelakkan. Ideologi, ekonomi, politik, dan sosial budaya sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mengantisipasi perubahan tersebut, NU memiliki prinsip yang lentur, yakni menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Guna menjalankan prinsip ini, pesantren juga mengalami perubahan, sehingga terdapat pesantren yang tetap mengajarkan kitab-kitab ulama asssalafu shalih juga mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan membuka program pendidikan kurikulum yang ditetapkan pemerintah.


Persoalan yang dihadapi dalam mengajarkan kedua hal tersebut bukan persoalan mudah, karena pendidikan bukan semata-mata transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga sikap (adab, akhlak yang terpuji, dan pengamalan nilai-nilai Islam), dan keterampilan. Ditambah lagi, sekarang ini sulit ditemui ulama yang memiliki kapasitas ilmu pada semua bidang kehidupan seperti pada generasi ulama terdahulu yang baik. 


Yang ada sekarang adalah spesialisasi disiplin keilmuan tertentu sesuai bidang studinya. Hal ini juga berdampak pada pemahaman umat pada Islam. Katakanlah, mereka yang ahli tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak banyak memahami tentang ilmu-ilmu keislaman. Dan sebaliknya mereka yang ahli dalam ilmu-ilmu keislaman, tidak mahir dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal kedua ilmu tersebut bersifat saling melengkapi dan sama-sama dibutuhkan oleh umat dalam kehidupannya. Barangkali inilah kebutuhan NU dalam memasuki abad kedua, agar mampu eksis berkhidmat kepada umat, bangsa, dan negara. Wallahu a'lam


H Mohamad Muzamil, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah 


Opini Terbaru