• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Selasa, 30 April 2024

Opini

Memasuki Abad Kedua NU yang Kaku

Memasuki Abad Kedua NU yang Kaku
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Tidak ada kekuatan yang melebihi kekuatan Allah Swt, tidak ada digdaya yang mampu menandingi kedigdayaan Allah, kalimat thayyibah yang merasuk dalam sendi kehidupan dan langkah kaki untuk merubah paradigma otoriter menjadi kebersamaan dan kesamaan dalam berhidmah terhadap jamiyah peninggalan para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang mendeklarasikan dirinya sebagai jamiyah terbesar di dunia dan terbanyak warganya.


Otoritarian kewenangan adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Kewenangan biasanya dihubungkan dengan kekuasaan. Penggunaan kewenangan secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektivitas organisasi. ( wikipedia) 


Sebuah momok besar sebagai organisasi modern yang menjunjung tinggi kesamaan (almusyawwah). Dapat disinyalir sebagai penghambat kemajuan organisasi/perkumpulan sehingga semua dibungkam untuk hanya melakukan instruksi dari atasan. Otoriter ini membunuh kreativitas dan inovasi untuk berkemajuan, sehingga terkesan kaku dan menakutkan.


Feodalisme dalam Dunia Modern


Penyeragaman dalam pola pikir dan kebijakan adalah sebuah keniscayaan yang ada, sebab pada dasarnya manusia diciptakan dengan berbeda-beda. Dalam alam demokrasi sistem dan gaya fiodalisme adalah kemunduran dan memasung kebebasan berpendapat dan berekpresi. Mengelola organisasi bukan sekadar menyatukan menjalankan tugas, berbeda dengan birokrasi yang punya hirarkhi dan imbalan gaji yang jelas dengan golongan yang telah ditentukan dalam kepegawaian, tetapi lebih dari itu semua karena lebih cenderung memainkan seni komunikasi. Bahkan lebih spesifik sebagai diregent memainkan instrumen musik sehingga berbunyi dengan indah dan dapat dinikmati oleh warga atau anggotanya, Sehingga dalam keterbatasan anggaran semua lembaga dapat berjalan tanpa ada tekanan dan instruksi. 





Instruksional yang cenderung menekan pada semua komponen dan perangkat organisasi merupakan  sebuah ironi dalam berorganisasi. Dapat dikesankan penguasa feodalisme yang siap memberi ancaman dan sanksi, acap kali berorganisasi dengan gaya instruksional dapat diidentifikasi sebagai organisasi yes man dan akan menjadi ancaman dan bom waktu pada akhirnya.


Mengaca Budaya Bahstul Masail


Dalam dunia pesantren perbedaan bukan momok atau sebuah pembangkangan, tetapi sebagai perbendaharaan masalah untuk mencari solusi dalam kebuntuan hukum. Musyawarah adalah kesetaraan yang berarti semua sama punya hak suara punya pendapat. Dengan berbagai bentuk ekspresi yang berbeda medorator sebagai pemimpin sebagai dirigent dan menyimpulkan sementara, tanpa dipengaruhi dengan egoisme adalah moderator yang andal.


Dan model berorganisasi yang modern inilah sebagai top model pada zaman demokrasi atau zaman kekinian. Bukan top down, tapi bottom up yang dengan mendorong warga untuk beeekspresi dan pendapat sesuai dengan koridor yang menjadi kisi-kisinya. Kebiasaan bahsul masail yang dibudayakan di pesantren ini menjadikan para kiai dalam memimpin ormas terbesar ini menjadi langgeng dan berwibawa. Kebersamaan dalan kesetaraan dan menghormati pendapat orang lain sebuah solusi ormas modern, bukan penekan dan ancaman yang menjadi bentuk kewibawaan organisasi.


Penutup


Kepiawaian para masyayikh mengelola Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri tegak dan semakin digdaya salah satu bukti kehebatan dan kesungguhan dalam berkomitmen membangun dan mencerdaskan umat di samping penuh dengan keikhlasan karena Allah. Menghindari gesekan berbeda pendapat sebuah prinsip kebersamaan sehingga terkesan jamiyah ini dengan sebutan tradisional yang terkesan tampil sak titahe.


Bagaimana sikap Mbah Kiai As'ad saat menolak menjabat sebagai rais aam, kemudian Mbah Mahrus Ali dan Mbah Ali Maksum yang dipaksa untuk siap memimpin nahkoda ormas terbesar ini. Ini sebuah teladan bagi generasi penerus agar melihat jabatan sebagai amanah bukan prestisius atau sekadar menambah pendapatan. Jangan jadikan perbedaan sebagai pembangkangan tetapi dan perbedaan pendapat bukan berarti beda pendapatan yang akan menjadi musuh dan saling menjatuhkan. Wallahu a'lam bis shawab


KH Munib Abd Muchith, Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng, alumni Pesantren Lirboyo '92 dan Al-Itqon Bugen, Kota Semarang


Opini Terbaru