• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 29 April 2024

Opini

Mengapa NU Sekadar Diwacanakan Wapres?

Mengapa NU Sekadar Diwacanakan Wapres?
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia, Perkumpulan Nahdlatul ulama (jamiyyah NU) selalu diseret atau terseret dalam setiap pesta demokrasi. Kontestasi pemilihan presiden (pilpres) yang menjadi otoritas partai politik, selalu dikaitkan dg NU dan kader atau tokoh-tokohnya.


Korelasi dan relasi antara partai politik dan NU menjadi diskursus musiman yang nyaris tidak pernah terselesaikan. Tapi ada yang dijadikan konklusi bahwa NU itu seksi bagi partai politik, karena dari aspek kuantitas massa menjadi yang terbesar di Indonesia. Meskipun akhir-akhir ini ada tokoh yang mengatakan, melihat organisasi dari aspek kuantitas kurang relevan. Persoalan mendasar yang mengemuka adalah jika NU dikatakan seksi, mengapa hanya diberi 'job' wakil presiden?. Bukankah sumber daya manusia (human resource) perkumpulan tersebut sangat kompetitif dan 'marketable?'. Bukankah kader dan tokoh tokohnya mampu menjadi menteri, birokrat, profesional, bahkan Presiden Indonesia?.


Banyak Kemungkinan


Banyak definisi tentang politik, tapi tidak semuanya bisa dipergunakan untuk menentukan arah politik. Banyak teori politik, tapi tidak selamanya teori yang ada mampu dipergunakan untuk membaca kemauan politik. Banyak pakar politik, tapi banyak pula pakar politik yang terkapar dalam kontestasi politik.


Politik itu keinginan, tujuan, dan permainan yang subyektif dan kondisional. Politik itu kompetisi, kolaborasi, dan kompromi yang berorientasi pada kepentingan dan kekuasaan. NU bukan partai politik, tapi dia bisa 'dimainkan' dalam domain politik oleh partai politik. Atau dia bisa lebih politik dari pada partai politik. Tapi untuk era sekarang ini, sepertinya dia tidak mau terseret dalam domain politik, karena ingin istiqamah mendigdayakan jamiyah untuk maslahah peradaban global.


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf di banyak kesempatan telah menegaskan sikap netralitas NU dalam politik praktis. Bahkan konstitusi organisasi (AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU) melarang para pengurus (basis struktural), terutama pada level pengurus besar dan pengurus wilayah rangkap jabatan, termasuk rangkap jabatan dengan jabatan politik. Demikian pula Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar mewanti wanti para pengurus di semua level unruk taat terhadap khittah nahdliyah, termasuk yang berkaitan dengan sikap jarak yang sama (equidistant) terhadap partai politik. Juga meminta agar para pengurus tidak membuka lapak sendiri-sendiri menjelang tahun politik.


Sampai saat ini (Juni, 2023) belum ada indikasi para pengurus membuka lapak sendiri-sendiri. Namun desas desus atau isu NU mempersiapkan kadernya dalam kontestasi pemilu Pilpres tidak terbendung lagi, sekalipun hal tersebut telah dibantah oleh PBNU. Berbagai media mainstream dan media sosial ramai membicarakan tokoh dan kader NU yg dipersepsikan akan diusung partai politik menjadi kandidat wakil presiden. Antara lain Prof Mahfud Md, Prof Nazarudin Umar, Khofifah Indar Parawansa, Yenny Wahid, Erick Thohir, Yaqut Cholil Qoumas, dan Muhaimin Iskandar. Mereka secara nasional memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas yang tidak diragukan lagi. Mereka adalah top figur yang mendedikasikan dirinya untuk bangsa dan negara sesuai bidangnya masing-masing, sehingga sangat familier secara nasional.

 
Lalu pertanyaannya, jika seksi dan mumpuni, mengapa mereka diwacanakan hanya sebagai wakil presiden, bukan presiden?. Sebelumnya, sejumlah tokoh juga didapuk oleh partai politik menjadi wakil presiden. Seperti KH Hamzah Haz berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri Ketum PDIP,  KH Hasyim Muzadi perpasangan dengan Megawati Soekarnoputri Ketum PDIP, KH Sholahudin Wahid berpasangan dengan Wiranto Ketum Hanura dan Prof KH Ma'ruf Amin berpasangan dengan Jokowi kader PDIP. 


Untuk menjawab pertanyaan itu tidak mudah. Tapi, setidaknya ada beberapa kemungkinan. 
Pertama, NU bukan partai politik, sedangkan kontestasi Pilpres menjadi domain partai politik. Sehebat apapun NU dan sebesar apapun dia, perlu dimengerti bahwa dia bukan 'tuan rumah', bukan 'owner', tetapi sebagai 'media', sebagai wasilah atau sebagai calon 'pengantin' yang dipinang untuk kepentingan elektoral. Sementara tuan rumah, owner memiliki keinginan untuk mengambil porsi calon presiden. 


Seperti diketahui, sejumlah parpol telah membentuk koalisi meski masih dinamis prosesnya. Ada yang kolaboratif-integratif, yang melibatkan parpol pendukung pemerintah dan parpol oposisi. Ada juga koalisi 'sepersusuan' yang terdiri dari sejumlah parpol pendukung pemerintah. Dari sejumlah koalisi tersebut, mayoritas mengusulkan ketua umumnya menjadi kandidat presiden, kecuali PDI-P, yang mengusung Ganjar Pranowo. Dari sini terlihat bahwa capres menjadi milik ketua umum parpol. Biar terkesan demokratis, melalui forum internal parpol, ketum ditetapkan sebagai mandataris partai dalam kontestasi pilpres. Dan tradisinya, parpol besar yang berpeluang besar menjadi kandidat presiden, sedangkankan parpol papan tengah menjadi kandidat wapres.

 
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sepertinya kurang relevan dikaitkan dengan dinamika politik nasional sekarang ini. Gus Dur memiliki keunggulan figural dan ditopang oleh momentum arus reformasi juga memiliki partai politik walaupun tidak dominan. Kondisi seperti itu tidak ada sekarang ini. Kedua, misalkan ada kader potensial NU di dalam parpol, termasuk top leadernya parpol, tetapi dirasa tidak memiliki daya ungkit yang kuat atau memiliki resistensi dan hal-hal problematik lainnya. Apalagi kader potensial tersebut bertengger di parpol papan bawah yang hanya berpeluang menjadi kandidat wakil presiden. 


Meski demikian perlu disadari, bahwa politik itu tidak hitam putih, tidak matematis, tidak teoritis, dan tidak dogmatis. Semuanya bisa terjadi, semuanya masuk kalkulasi dan pertimbangan, internal maupun eksternal, bahkan termasuk warna rambut dan kerut dahi. Mungkin kader dan tokoh potensial NU akan diberi karpet merah menuju jabatan presiden ketika rakyat memanggilnya kembali. Itu artinya ketika itu kondisi politik domestik kita dalam kondisi critical. Mengapa demikian?,  karena perkumpulan (jamiyyah) NU tampil sebagai pemersatu dan perekat bangsa yang selalu berorientasi pada kepentingan bangsa, bukan kepentingan politik kekuasaan. Sehingga Ketum PBNU, Gus Yahya di acara halal bihalal, di UIN Walisongo Semarang (12/4/2023) menegaskan, jangan khawatir terhadap sikap politik NU dengan netralitasnya. Jika negara dalam keadaan bahaya, tanpa diminta NU akan tampil di shof pertama untuk menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia.


Mufid Rahmat, aktivis NU tinggal di Boyolali


Opini Terbaru