• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 19 April 2024

Opini

Menyoal Kongres Ulama Perempuan Indonesia

Menyoal Kongres Ulama Perempuan Indonesia
Foto: Ilustrasi (istimewa)
Foto: Ilustrasi (istimewa)

Tahun politik memang sangat menyita perhatian, maraknya pembicaraan tentang sangat naifnya memakai simbul-simbul keagamaan yang kemudian disebut politik identitas, maka bermunculan perkumpulan dadakan yang menjadi simbul perlawanan identitas-identitas tertentu untuk mudah diidentifikasi ini kelompok ini, itu kelompok itu dan di antaranya adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). 


KUPI adalah kongres ulama perempuan Indonesia yang tradisional. Para penggagasnya berlatar belakang pesantren Islam tradisional. Penulis mencoba untuk mengkritisi pada penggagas perkumpulan ini, ulama adalah bentuk jama dari alim, jama taksir ini tidak mengenal mudzakar atau muanas. Tetapi semua orang alim, tidak adanya dikotomi perempuan laki-laki, penulis sangat memahami para muasiss KUPI, apalagi konggres yang kedua diselenggarakan di pesantren di mana pengasuhnya adalah aktivis partai tertentu dan Pengurus Pusat RMINU. Yang menarik adalah meski istilahnya adalah ulama perempuan, beberapa tokohnya adalah laki-laki yang kebanyakan di luar struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) seolah-olah sebagai panggung. 


Feminisme Liberal


Penulis menduga-duga, KUPI adalah sebuah usaha untuk mendialogkan Islam dan feminisme yang lumayan berhasil. Kalau menurut penilaian penulis bisa disebut dengan tahsilul hasil, diskusi yang panjang menggali argumen-argumen keagamaan dalam berbagai khazanah literatur Islam tradisional. Untuk menemukan dasar-dasar bagi prinsip kesetaraan mampu di wujudkan, tetapi memang bukan keniscayaan  hidup pada era transformasi, karena tanpa dilembagakan atau didiskusikan dalam forum kajian untuk mencari solusi kebuntuan. Kesataraan sebagai bentuk dinamisnya makhluq hidup, namun demikian gerakan ini berhasil untuk menepis anggapan baik di kalangan feminis garis keras yang menyepelekan agama khususnya Islam dan juga di kalangan Muslim garis keras yang merendahkan, bahkan mengharamkan feminisme. 


Akan tetapi, sejauh yang bisa diamati isu yang diperbincangkan oleh para pegiat KUPI masih fokus hanya dalam isu-isu keagamaan yang sifatnya kultural. Pemikiran-pemikiran kritis yang berkembang, terbatas pada kritik wacana agama. Para pegiat KUPI berhasil membongkar berbagai tafsir keaagamaan bias gender yang selama ini menjadi legitimasi bagi praktik sosial yang tidak setara. Karena ushul fiqihnya kuat, penguasaan fiqihnya mendalam, juga kajian tafsir dan haditsnya, mereka melahirkan tafsir-tafsir keagamaan yang lebih kreatif.   


Dari segi tertentu, tafsir keagamaan yang lebih kreatif itu dekat dengan gagasan para feminis liberal. Tujuan pokoknya adalah bagaimana merobohkan patriarki dalam segala bentuknya, khususnya di bidang keagamaan. Bersamaan dengan itu, motivasi-motivasi psikologis sering digelorakan agar perempuan harus maju, sekolah tinggi-tinggi biar mandiri, biar setara seperti perempuan kelas menengah lainnya adalah sebuah usaha penting yang dibutuhkan oleh zaman. 


Motivasi yang digelorakan menjadi sebuah cambuk yang bukan hanya memacu gerak cepat, tetapi cambuk yang melukai fenimesme bagi para bu nyai dan jauh meninggalkan kodrat kewanitaan yang menjadi pendamping hidup para kiai dalam mengemban perjuangan memahamkan aqidah ahlussunah wal jamaah. Bahkan, gerakan ini bisa disebut kemajon dan dapat membelenggu ruang gerak perjuangan para kiai, karena setidaknya harus membagi fungsi kepala rumah tangga yang disandangnya. 


Melawan Patriarki


Perempuan yang selama ini menjadi simbul kelembutan mampu mendidik anak menjadi sukses dan tangguh sehingga bisa disebut dengan ummu madrasatul ula (ibu adalah sekolah awal), tidak lagi bisa menyandang gelar itu karena mulai terkikis dengan  gerakan kemajon, sehingga perempuan lebih sering keluar untuk memposisikan sebagai pergerakan, sementara anak yang masih membutuhkan bimbingan sebagai barang titipan dan hanya dititipkan dengan para pembantu atau PAUD penitipan anak. 


Pokok permasalahannya, apa itu patriarki? Bagaimana ia bisa mewujud dalam segala bentuknya itu? Apakah ia berupa makhluk bernama laki-laki atau sikap moral yang buruk bernama arogansi? Selanjutnya munculnya KDRT. 


Patriarki yang selama ini disematkan pada para lelaki, rasanya tidak adil sebab ada istilah yang berkembang di kalangan para kiai yang sangat menghargai fungsi perempuan dengan sebutan ikatan suami takut istri (ISTI). Bisa saja patriarki ini dimiliki oleh para bu nyai, dengan memasung dan membatasi pergerakan sehingga arogansi perempuan muncul secara sengaja dilakukan, begitu pula sebaliknya. 


Menurut fiqih klasik yang selanjutnya disebut konservatif mampu memberikan solusi dengan membagi tugas fungsi masing-masing sehingga mampu mengharmonisasi keluarga, yaitu ada hak ada kewajiban masing-masing, laki-laki bertanggung jawab semua, perempuan membantu apa bila terjadi kekurangan, bukan kesetaraan yang kemajon. 


Penutup


Kapitalisme yang mewabah pada semua sektor kehidupan penting kiranya KUPI masuk ke belantara kapitalisme. Yang dimaksud bukan hanya kapitalisme sebagai sistem ekonomi, melainkan apa yang oleh Nancy Fraser disebut 'tatanan sosial yang terlembagakan' mulai dari negara, ruang publik, hingga pengasuhan anak. Hal yang saya sebut terakhir ini sangat krusial karena menentukan arah dan wajah generasi mendatang. 


Penulis membayangkan para pegiat KUPI mendiskusikan tentang pekerjaan, termasuk pekerjaan pengasuhan anak yang semakin sulit di era kapitalisme neoliberal. Karena semakin sulitnya sebab sekarang baik laik-laki maupun perempuan semakin keras untuk mengumpulkan cuan yang berarti semakin sering dan lama meninggalkan rumah, tetapi hanya segelintir orang saja yang mendapatkan kesejahteraan yang layak cukup untuk membayar asisten rumah tanagga dengan gaji standar UMR. Bagi sebagian besar pekerja, waktu mereka habis di tempat kerja, termasuk di depan laptop bagi para buruh akademis, sehingga hampir tidak ada waktu yang cukup untuk mengasuh anak dan menikmati hidup. 


Kegelisahan ini ditangkap oleh para kaum konservatif dengan cara yang berlebihan. Alih-alih mengkritisi kapitalisme yang membuat keluarga tidak lagi bermakna, lalu memvonis haram, dan seterusnya. Sikap konservatif ini yang tidak disukai oleh kaum feminisme liberal, maka pentingnya para pegiat KUPI bukan sekadar temu minum KOPI. 


KH Munib Abd Muchith, Alumni Lirboyo '92, Alumni Al Itqon Bugen Semarang, Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng


Opini Terbaru