• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 25 April 2024

Opini

Dilema Rangkap Jabatan antara NU dan MUI

Dilema Rangkap Jabatan antara NU dan MUI
KH Mitachul Akhyar saat ini jabat sebagai Rais Aam PBNU dan ketua Umum MUI (Foto: Dok)
KH Mitachul Akhyar saat ini jabat sebagai Rais Aam PBNU dan ketua Umum MUI (Foto: Dok)

Perhelatan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Lampung telah selesai dilaksanakan dengan penuh kedamaian, keadaban politik, dan kesejukan pada 22-24 Desember 2021 kemarin. Forum tertinggi NU itu menghasilkan sejumlah keputusan, salah satunya yakni ditetapkannya kembali KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam PBNU oleh 9 kiai anggota Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) dan terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).


Muktamar diakhiri dengan happy ending, tetapi ada garapan yang harus segera dipenuhi yaitu penyusunan kabinet yang menjadi tanggang jawab berdua, sehingga tidak menjadi ruang hampa dengan bunyi keras tapi pelaksanaan program nol besar. Banyak harapan wari Nahdliyin agar kepengurusan PBNU diisi oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas mumpuni sesuai dengan tantangan zaman, khususnya memasuki abad kedua NU.


Antara Komitmen dan Mempertahankan


Ketika juru bicara AHWA KH Zainal Abidin Azzain mengumumkan kesepakatan 9 kiai mengumukakan keputusannya ada catatan yang harus dipenuhi oleh Rais Aam Kiai Miftah adalah tidak diperkenankannya rangkap jabatan pada organisasi lain. Secara maknawi 9 kiai berharap agar Kiai Miftah melepas jabatan Ketua Umum MUI yang dijabatnya belum genap 1 tahun, komitmen itu dijawab dengan sami'na Waatha'na. Setelah reformasi berturut-turut Ketua Umum MUI dikomandani oleh para Kiai NU yang nota bene organisasi keagamaan yang mempunyai basis masa yang terbanyak dan sudah sepantasnya memimpin MUI yang waktu pendirianya oleh orde baru menjadi stempel kebijakan pemerintah.


Seperti buah simalakama, satu sisi mempertahankan komitmen keluar dari Ketua Umum MUI mewujudkan harapan dari AHWA agar lebih terkonsentrasi berkhidmah di NU sebagai Rais Aam PBNU dengan segudang kerjaan yang harus terselesaikan selama satu periode. Tetapi mempertahankan kedudukan sebagai Ketua Umum MUI untuk mengendalikan radikalisasi di tubuh MUI bagian dari kewajiban sebagai warga negara, maka keluar dari MUI sebuah keputusan yang berat.


Tindakan Kompromi


Tiap organisasi mempunyai aturan atau anggaran rumah tangga sebagai pijakan untuk melangkah dan ketetapan kumpulan tersebut, ikhtiarnya satu penyelesaian dalam berbagai macam kericuhan dan gesekan kepentingan. NU sebagai organisasi yang punya basis masa yang jelas dan terbesar, keberadaan MUI bagi NU seperti wujuduhu kaadamihi. Karena bukan organisasi induk tetapi perkumpulan dari organisasi ulama tersendiri yang di dirikan oleh Pemerintah Orde Baru, tanpa MUI NU masih akan berdiri tegak di bawah kendali para kiai. Keberadaannya NU di MUI sangat strategis di dalam organisasi tersebut. Tanpa NU organisasi ini akan menjadi pincang, nilai tawar yang terbaik KH Miftachul Akhyar mundur dan menugaskan kepada KH Said Aqil Siroj untuk memimpin MUI dengan diadakan Musyawarah Luar biasa, yang harus di ajukan lewat para anggota perkumpulan tersebut.


Penutup


Komitmen adalah bentuk amanah yang dipikul untuk di laksanakan dengan tanpa mengabaikan risiko, agar perjalanan yang dipikul sedikit mengurangi beban. Sampai pada akhirnya berkhidmah adalah pengabdian yang tulus tanpa ada beban yang mengganjal, happy, dan fun-fun saja. Wacana yang berkembang untuk mempertahankan Ketua Umum MUI adalah jebakan bagi KH Miftah tanpa mengindahkan sebuah komitmen, maka sangat ironi mengawali perjalanan Kiai Miftachul Akhyar untuk berbuat melanggar komitmen. Penulis hanya sekadar menawarkan bukan memaksakan tapi sebuah solusi yang solutif. Wallahu a'lam

 


H Munif Abd Muchit, alumni Lirboyo 92, alumni PP Al-Iqon Bugen Semarang, dan Wakil Katib PWNU Jateng 


Opini Terbaru