• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

MUKTAMAR KE-34 NU

Menakar Format Pemilihan Ketua Umum PBNU pada Muktamar Ke-34 NU

Menakar Format Pemilihan Ketua Umum PBNU pada Muktamar Ke-34 NU
foto ilustrasi
foto ilustrasi

Dalam setiap Muktamar Nahdlatul Ulama (NU), persoalan kandidat ketua umum menjadi berita utama. Ironisnya, hal tersebut dibumbui dengan isu perundungan, kompetisi yang tidak sehat, kampanye hitam, saling menjatuhkan dan lain-lain menjadi hiasan berita dan menjatuhkan marwah organisasi. 


Kemudian kandidat Ketua Umum PBNU menawarkan program, yang mestinya program kerja sebagai acuan Garis Besar Haluan Organisasi dibahas di tingkat komisi. Siapapun yang diberi mandat, harus bersedia melaksanakannya.


Jika tidak sanggup, dia harus menolak mendapatkan amanat. Jika bersedia menerima amanat, evaluasinya adalah berapa persen amanat itu dijalankan? Jika lebih banyak yang bolong, berarti tidak bisa pegang amanat organisasi.


Pertanyaannya adalah kenapa yang seru justru pemilihan ketua umum tanfidziyah, yang statusnya sebagai pelaksana. Bukan terjadi di tingkat syuriyah sebagai pemimpin tertinggi organisasi.


Pemimpin Tertinggi


Rais Aam Syuriyah adalah pemimpin tertinggi yang dipilih oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) terdiri dari 9 ulama terkemuka yang selama ini aman dan tidak ada yang saling mencalonkan. Kesembilan ulama bukan representasi daerah seperti tim formatur, tapi kedalaman ilmu, zuhud, wira'i, dan lain sebagainya.


Dalam sejarah NU, tidak pernah ada calon Rais Am Syuriyah. Tetapi yang ada adalah 'diminta', bukan mencalonkan diri meskipun banyak juga saling mundur, karena 'merasa' belum pantas menduduki jabatan itu seperti etika menjadi imam shalat ala tradisi NU.


Oleh karena itu, penulis memiliki beberapa pertimbangan, agar dalam proses Muktamar NU ini:

  1. Tidak saling merendahkan dan menjatuhkan
  2. Tidak ada model karantina peserta seperti pemilihan ketua partai.
  3. Tidak ada kunjungan dadakan, kasak kusuk, dan serangan fajar.
  4. Tidak ada yang merasa menang dan kalah (menang tanpa ngasorake).
  5. Setelah muktamar, tidak saling menyingkirkan sehingga berpotensi menjadi oposan dan kelompok sakit hati.
  6. Tidak ada pihak ketiga yang ikut bermain dalam bentuk apapun.
  7. Tidak ada 'Sengkuni' yang ikut memperkeruh dengan mengobral berita kebencian
  8. NU merdeka dan mandiri serta tidak tersandera oleh kepentingan Buto kulon dan Buto wetan (kapitalisme vs sosialisme)
  9. Para pembenci NU tidak punya panggung.
  10. Jajaran syuriyah dan tanfidziyah tidak saling membangun hegemoni dan adu kuat.


Maka, Rais Am dan Ketua Umum PBNU diserahkan saja pemilihannya kepada Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) satu paket sebagaimana kriteria di AD/ART. Karena maslahah dalam membangun marwah organisasi harus diutamakan.

 

المصلحة في حماية جمعية نهضة العلماء مقدمة على المفسدة 

 


"Maslahah dalam menjaga (marwah) NU lebih didahulukan dari pada mafsadah (karena ego personal),"


Semoga pikiran ini, sesuai dengan hasil istikharah para kiai sepuh, jelang Muktamar ke-34 di Lampung. Amin.

 

KH Abdullah Faishol, Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sukoharjo


Opini Terbaru