• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Rabu, 24 April 2024

Opini

MUKTAMAR KE-34 NU

NU Layak Jadi Guru Dunia

NU Layak Jadi Guru Dunia
Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) akhir Desember 2021 menyelenggarakan perhelatan akbar, Muktamar ke-34 di Lampung. Terkait itu, mata dunia tertuju ke sana untuk melihat, juga menunggu produk apa yang akan dihasilkan dari lembaga tertinggi jam'yah tersebut. 
NU adalah organisasi sosial keagamaan (diniyah ijtima'iyah) yang memiliki daya tarik dari berbagai sisi sekaligus memiliki relevansi yang up to date. Baik dari aspek sosial, ekonomi, keagamaan, pendidikan maupun politik domestik, dan global. 


Dalam kapasitasnya sebagai ormas sosial keagamaan, NU memiliki peran vital yang luar biasa. Memiliki banyak kelebihan dan kecakapan, termasuk kecakapan problem solving. Sedangkan kelebihan yang sangat khos adalah tidak pernah sakit hati, apalagi mendendam meski beberapa kali didlolimi. Sebaliknya dia tetap menjaga silaturahim, berinteraksi secara positif, menebarkan cinta, kasih sayang dan persatuan. Dan hal hal luhur seperti itu ternyata merupakan sikap dasar yang dititahkan oleh KH Hasyim Asy'ari selaku muassis NU, sebagaimana termakrub dalam Qanun Asasi. 


Sejak lahir sudah didlolimi


Ditilik dari aspek historisnya, NU lahir melalui berbagai proses rasional dan spiritual dengan simbol-simbol ilahiyah yang bisa dipahami dan diinterprerasikan oleh para ulama khos yang mampu membaca dan mendengar 'suara langit'. Karena itu, organisasi ini dilahirkan para ulama shaleh yang selalu berorientasi pada kemaslahatan universal. Dalam banyak hikayah, biasanya orang yang shaleh, jujur dan tanpa pamrih sering diuji dengan perlakuan dusta, ditipu dan 'dihibur' oleh mereka yang serakah dan 'bernafsu'. Mereka khawatir orang-orang shaleh tersebut akan mesdistorsi pengaruh dan kekuasaannya. Tapi, endingnya hikayah tersebut tetap menempatkan orang shaleh sebagai winnernya. NU bisa diibaratkan sebagai anak sholeh. 


NU, bisa dikatakan lahir sebagai reaksi Raja Arab Saudi yang wahabi dan mempraktikkan Islam yang puritan. Berawal dari Komite Hijaz dan selanjutnya terkait dengan Muktamar Dunia Islam, di Makkah. 


Adalah KH Wahab Chasbullah yang bertindak cepat dan cerdas ketika umat Islam bergabung dalam Central Comite Al-Islam (CCI), pada tahun 1921 yang selanjutnya bertransformasi pada Central Comite Chilafah ( CCC), tahun 1925 dan akan mengirim delegasi Muktamar Dunia Islam, di Makkah, tahun 1926 (Choirul Anam (2010 ). Keinginan para ulama shaleh, pendiri NU untuk berangkat ke Muktamar Dunia Islam, di Makkah bersama dengan kelompok modernis domestik Indonesia tidak terlaksana, sebaliknya malah berbuah kekecewaan. Para ulama shaleh tersebut didzalimi dengan alasan hal hal teknis yang direkayasa. Para ulama shaleh tidak kecewa, juga tidak putus asa, tidak pula mendendam. Ada jalan keluar yang mereka temukan. Dan, akhirnya makam Rasul Muhammad tidak dibongkar oleh dinasti Raja Saud yang wahabi. 


Pada awal Kemerdekaan Indonesia, banyak pihak yang mencoba mendlolimi NU, baik ketika di kabinet maupun di parlemen, tetapi masih tetap bisa berkhidmah. Karena kondisi yang sangat dinamis, dia menerapkan politik kooperatif dan non kooperarif, dengan risiko dijustifikasi sebagai sikap yang tidak konsisten dan ambivalen. Dalam kancah politik, NU pernah didzalimi oleh Masyumi dan juga oleh partai yang dipimpin HJ Naro. Meski secara politik memiliki kapital sosial ( asis massa) yang besar, kekuatannya selalu diamputasi dengan cara meminggirkan para elitnya sekaligus memangkas pengaruh kekuasaannya. 


Pada masa rezim orde baru, NU mendapatkan perlakuan yang kurang proporsional. Penguasa yang cenderung hegemonis mempraktikkan cara yang represif dan arogan.  Ruang berkhidmahnya di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial dihadang dengan berbagai kebijakan yang membelenggu. Padahal, NU sudah tidak lagi berkhidmah melalui jalur politik kekuasaan. NU telah keluar dari politik dengan sikap netralitas.


Pada Muktamar ke-29 di Cipasung tahun 1994, NU melalui Ketua Umunnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) didzalimi dengan cara yang sangat vulgar dan kasar. Rezim orde baru tidak saja melakukan intervensi secara masif, tetapi juga mengatur hal-hal teknis yang tidak menjadi domainnya. Bahkan Gus Dur sebagai Ketum PBNU diperlakukan tidak proporsional, ditempatkan pada deretan kursi nomor tiga dari depan, pada acara pembukaan. Perlakuan yang atraktif ini tentunya sangat melukai NU. Tapi, NU seolah membiarkan aksi pendzaliman tersebut berlalu dengan tetap memiliki keyakinan sesuatu yang tidah hak pasti akan berlalu, ketika yang hak datang pada waktunya. 


Pendzaliman yang hampir sama terjadi pada Muktamar ke-28, di Krapyak, Yogyakarta. Gus Dur dihadang dengan isu NGO yang deametral dengan pemerintah. NU dicoba dipecah melalui tangan-tangan internal NU, sehingga pelaksanaan Muktamar sangat dinamis. Gus Dur dengan karakternya yang kuat mampu membawa NU dari badai yang dahsyat. Melalui Muktamar yang memberikan mandat kepadanya, dia menjadi strong leader dengan visi misi yang achievement oriented. 


Saling Serang


Sebagaimana diketahui, NU adalah organisasi yang serba ulama. Mulai dari pendiri sampai pengurusnya para ulama. Karena itu, kesan yang muncul adalah adem ayem, sepi dari intrik dan konflik. "Mosok, ulama gegeran (berantem). Apa kata dunia?".


Asumsi tersebut tidak salah, karena kalau sampai para ulama gegeran, maka konsekuensinya sangat dahsyat. Menurut KH Muchid Muzadi, NU sangat besar bagaikan gajah. Jika gajah kawin saja sudah membuat rusaknya rumput, apalagi kalau berkelahi. Tapi, jangan lupa bahwa NU bukan gajah secara harfiyah. Juga jangan lupa bahwa para ulama NU adalah juga manusia yang memiliki sifat sifat basariyah, termasuk nafsu. Sebagai ulama tentunya memiliki kemampuan di bidang manajemen nafsu. Karena itu kemarahan para ulama NU dalam konteks internal organisasi tidak akan meneteskan darah, paling banter hanya meneteskan air mata. Tidak akan terjadi tindakan anarkhi, paling banter hanya diteriaki. Itu saja biasanya terbatas pada level suporter atau para muhibbin.
 

Sejarah telah mencatat, beberapa kali Muktamar diprediksi akan diwarnai konflik dan perpecahan. Indikasi kemungkinan terjadinya konflik terlihat dari pra Muktamar, juga dinamika pada saat berlangsungnya Muktamar. Pemicunya, ada kalanya sekitar kontestasi kandidat Ketua Umum, ada pula sekitar keputusan organisasi. Sebut saja gegeran yang mewarnai Muktamar di Krapyak, Cipasung, Makasar, dan Jombang. Bahkan, Muktamar Lampung sudah diwarnai hal hal yang membuat miris, termasuk demonstrasi massa dan gugatan ke Pengadilan, meskipun akhirnya ditarik kembali. 


Muktamar di Lampung diprediksi lebih seru dari pada Muktamar NU di Jombang. Isu yang dikembangkan tidak saja isu domestik, tetapi isu global yang sensitif, yaitu sekitar Israel dan Palestina, juga masalah habaib dengan pernak pernik orang Arab. Meski beberapa kali diindikasikan akan mengalami perpecahan, tetapi NU selalu keluar dari masalah tersebut tanpa menimbulkan dendam. Juga tidak terjadi NU kembar atau organisasi pecahan NU, meski pasca-muktamar Jombang muncul komunitas NU garis lurus, NU khittah, dan sebagainya. 


Karena itu dunia perlu belajar kepada NU. Dan memang, sudah beberapa tahun NU telah 'mengajar' menjadi pembimbing, setidaknya teman diskusi sejumlah negara yang sedang dilanda konflik berlarut, seperti Afganistan, Yaman, Palestina, China, Pakistan' dan sejumlah negara lainnya. 


Ajaran dan pola fikir NU (fikrah nahdliyah) sangat relevan diadopsi juga diakomodasi oleh siapapun, lembaga, organisasi' maupun pemerintahan negara. Karena fikrah nahdliyah merupakan sesuatu yang universal sekaligus menjadi public goods. Toleransi, moderat, seimbang, adil, amar makruf nahi munkar yang bil hikmah dan sejenisnya merupakan sikap dasar yang dibutuhkan oleh semua manusia dalam rangka menjaga peradaban yang berkeadaban. 


NU Expert dalam Hal Problem Solving 


NU telah memiliki pengalaman panjang dalam mengatasi masalah internal organisasi. Padahal dia merupakan organisasi keagamaan terbesar di  dunia. Dia memiliki anggota puluhan ribu akademisi dengan setting pendidikan yang beragam, puluhan ribu ulama/kiai, ratusan ribu ustadz/ustadzah, ribuan pejabat, ribuan anggota parlemen di semua tingkatan, ribuan pengusaha, puluhan ribu fakir miskin dan puluhan juta kader. Bahkan memiliki ratusan ribu para militer. 


Fikrah nahdliyyah sekarang ini secara masif juga dikembangkan secara global, dengan mendirikan Pengurus Cabang Istimewa (PCINU) di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Para pengurus PCINU tersebut tentunya memiliki kemampuan akademik yang memadahi sekaligus pengetahuan agama yang rahmatan lil alamiin. 


Kita bangga sekaligus berharap NU menjadi guru untuk dunia, karena kita menghendaki peradaban dunia yang dijiwai nilai-nilai fikrah nahdliyah. Dan tentunya kita berharap Muktmar ke-34 di Lampung mampu menghasilkan sesuatu untuk dunia. 



Mufid Rahmat, Ketua Umum Ikatan keluarga Alumni (IKA) Ansor


Opini Terbaru